Berita Bangka

Ribuan Hektar Kebun Lada di Babel Hilang Berganti Lahan Sawit, 9 Juta Hektar Sawit Belum Bayar Pajak

Artikel ini membahas tentang alasan kenapa Kebun lada di Bangka Belitung menurun, sehingga petani beralih ke kebun sawit

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Ist
Seorang warga memetik buah lada di kebun lada milik Suhami di Desa Perlang Kecamatan Koba, Bangka Tengah 

BANGKAPOS.COM--Ribuan hektare kebun lada di Bangka Belitung 'hilang'.

Setidaknya demikian jika berdasarkan data dari Dinas Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bangka Belitung.

Data menunjukkan bahwa keberadaan kebun lada di Bangka Belitung saat ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumya.

Berdasarkan data, luas lahan tanaman lada belum menghasilkan di Babel pada tahun 2021, 18.463 hektar dengan total luas lahan lada 49.464 hektar.

Sedangkan pada tahun 2022, tanaman lada belum menghasilkan di Babel 15.705 hektar dengan total luas lahan lada 44.548 hektar.

Sedangkan untuk produksi lada juga terjadi penurunan yakni 27.166, ton pada 2021 turun menjadi 26.408 ton pada 2023 atau turun sebanyak 757,77 ton.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian dan Ketahanan pangan Provinsi Bangka Belitung Aprilogra S.TP., M.Si mengakui lahan dan produksi lada Bangka Belitung saat ini terus menurun dibandingkan beberapa tahun terakhir.

Dia menyebut, dari total tiga komoditi unggulan Bangka Belitung, perkebunan sawit saat ini menjadi komoditi tertinggi yang banyak ditanam atau dibudidaya oleh para petani ketimbang lada.

"Untuk komoditi lada kita sendiri saat ini memang menurun, hal ini juga bisa dilihat dari data luas lahan tanaman lada dan produksi lada sekarang turun dibandingkan tahun sebelumnya (2021). Semulanya lada ini menjadi komoditi unggulan utama para petani sekarang para petani beralih ke sawit yang menjadi komoditi tertinggi, diikuti lada, karet, dan kopi," ungkap Aprilogra kepada Bangkapos.com Senin, (15/5/2023).

Potret Desta Jumena (58), saat panen sawit di kebunnya beberapa waktu lalu
Potret Desta Jumena (58), saat panen sawit di kebunnya beberapa waktu lalu ((Ist/Dok. Pribadi Desta))

Dia mengungkapkan, menurunnya minat para petani untuk bercocok tanam lada dikarenakan beberapa kendala seperti harga lada murah, biaya perawat tinggi, dan banyaknya tanaman lada yang terkena penyakit.

Terkait ini, Dinas Pertanian berupaya melakukan beberapa program seperti rehabilitasi tanaman lada dan intensifikasi lada.

"Ada tiga center penghasil lada di Babel, yakni Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Barat, dam Belitung. Dimana untuk program rehabilitasi tanaman lada ini dilakukan di Basel seluas 100 hektar karena memang penghasil lada paling banyak, sedangkan untuk kegiatan intensifikasi ini dilakukan di Basel 75 Hektar, dan Belitung 100 hektar, upaya ini kita lakukan untuk mempertahan lada kita (Babel) jangan sampai kalah dengan vietman yang bibit awalnya dari kita," kata Aprilogra.

Dia mengatakan, saat ini pihaknya juga ingin mengajukan label bibit sambung melada yang menjadi inovasi agar tanaman lada agar mengurangi resiko kematian pada tanaman lada yang disebabkan oleh busuk pangkal batang.

Pihaknya juga turut melakukan beberapa edukasi dan sosialisasi kepada para petani agar komoditi Lada Muntok White Paper Bangka Belitung bisa terus terjaga.

"Secara pribadi mungkin para petani kita sudah mencoba untuk menyambungkan bibit lada dengan melada yang menjadi bagian bawah lada. Beberapa petani yang mencoba ini hasilnya lebih baik mengurangi resiko busuk pangkal batang dan ada juga yang sudah berbunga. Mungkin untuk pribadi sambung bibit melada ini bisa dilakukan olah para petani dan kita juga akan mengajukan agar bibit melada ini ada labelnya, sehingga bisa dianggarkan ke petani agar mempertahankan produksi lada Babel kita tetap terjaga," bebernya.

Beralih ke Sawit

Komoditi lada yang sebelumnya menjadi tanaman para petani di Bangka Belitung kini kian menurun eksistensinya.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, luas lahan tanaman lada belum menghasilkan di Bangka Belitung pada tahun 2021, 18.463 hektar dengan total luas lahan lada 49.464 hektar.

Sedangkan pada tahun 2022, tanaman lada belum menghasilkan di Bangka Belitung 15.705 hektar dengan total luas lahan lada 44.548 hektar.

Menurunnya minat petani untuk bercocok tanam lada ini karenakan hasil yang didapatkan tidak sepadan dengan biaya ataupun tenaga yang dikeluarkan.

"Dulu-dulu memang saya bercocok tanam lada, tetapi sekarang ini tidak lagi. Karena dari segi biaya lumayan tinggi, belum perawatannya harus lebih diperhatikan, dan sekarang juga banyak bibit yang mati, harga juga murah, beda dengan dulu. Jadi kalau hitung-hitung sekarang saya mending pilih sawit karena perawatannya mudah, terus harganya juga terbilang memadai untuk biaya tanam hingga perawatannya," ungkap Samsul petani yang saat ini memilih bercocok tanaman sawit, Senin (15/5/2023).

Saat ditanya apakah ia akan kembali bercocok tanam lada, dia mengungkapkan bisa saja jika harga dan kendala-kendala penyakit yang menyerang lada bisa teratasi.

"Kalau harga lada sebanding dengan biaya perawatan dan kendala penyakit ini teratasi, memungkinkan untuk tanam lada lagi, tapi kalau kondisinya seperti sekarang mending beralih ke sawit atau tanaman kaya singkong," ucapnya. 

Senada dengan Samsul, Mukrin petani asal Bangka Selatan juga mulai beralih bercocok tanam sawit ketimbang lada.

Dia mengungkapkan, keuntungan dari bercocok tanaman lada ini sangat tipis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan harga lada yang tinggi.

"Kalau dulu meski harganya gak begitu tinggi tapi panennya banyak. Beda dengan sekrang, udah hasil panennya sedikit, harganya murah dan perawatannya cukup rumit jadi tidak sebanding. Mending nanam sawit hasilnya lumayan," ujar Mukrin.

Dia berharap, harga lada ini bisa kembali menguat dan tinggi, sehingga bisa memotivasi para petani untuk kembali bercocok tanam lada.

"Harapannya lada ini harhanya bisa Rp100.000 ke atas, jadi istilahnya biaya perawatannya sebanding dengan hasil yang didapat petani," ungkap Mukrin. 

9 Juta hektar Sawit tak bayar pajak

Wakil Ketua DPR RI Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Abdul Muhaimin Iskandar mendukung Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusut temuan 9 juta hektar (ha) perkebunan sawit yang belum membayar pajak.

Hal tersebut diketahui dari temuan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan dari hasil audit yang dilakukan.

“Temuan Pak Luhut ini saya kira harus ditelusuri betul oleh DJP, usut sampai tuntas. Lahan sawit seluas 9 juta ha ini sangat luas. Kalau mereka belum bayar pajak, tentu negara dirugikan,” katanya di Jakarta, Rabu (10/5/2023).

Pria yang akrab disapa Gus Imin itu mengatakan, semua stakeholder terkait harus duduk bersama dan menelusuri siapa yang menunggak pajak dan harus menindak tegas sesuai aturan jika ditemukan pelanggaran.

“Koordinasi antarkementerian dan lembaga perlu dilakukan untuk menelusuri keabsahan pengusaha yang tidak bayar pajak dan menggali sudah berapa lama tidak membayar pajak,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Lebih lanjut, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengapresiasi hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dari laporan Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS).

Gus Imin menyebutkan, data tersebut dapat dijadikan acuan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia.

“Hasil audit BPKP dan BPDKS saya kira cukup menjadi acuan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit kita. Mestinya lahan sawit yang luas itu menjadi potensi pajak yang cukup besar,” terangnya.

Sebelumnya Menko Luhut mengaku geram karena 9 juta ha lahan sawit di Indonesia tidak membayar pajak. Hal ini terungkap dari audit yang dilakukan BPKP terhadap hasil laporan BPDKS.

 “Dari 16,8 juta ha itu ternyata tidak semuanya membayar pajak. Hanya 7,3 juta ha yang bayar pajak. Sekarang kita kejar itu,” tegasnya dalam seminar yang digelar Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jakarta beberapa waktu lalu.

Ketua Pengarah Satgas Tata Kelola Industri Sawit itu mengaku sudah melaporkan hal tersebut ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Luhut mengusulkan, penarikan pajak perusahaan sawit dilakukan dengan cara sederhana, misalnya menggunakan cara militer.

“Saya bilang ke Presiden Jokowi, enggak usah dibawa ke legal, penalti saja karena ini melanggar aturan. Jadi, perusahaan sawit kena penalti, ditentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berapa nilai penaltinya,” jelasnya.(*)

(Bangkapos.com/Sela Agustika/Zulkodri/Kompas.com)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved