Tribunners
Upaya Pemerintah Mencegah Aksi Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022 menunjukkan, sekitar 34,51 persen siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual
Oleh: Sam Edy Yuswanto - Penulis Lepas, Bermukim di Kebumen, Jawa Tengah
BERAGAM aksi kekerasan yang selama ini terjadi di lingkungan sekolah memang harus segera dihentikan. Harus segera dicarikan jalan keluarnya agar aksi-aksi kekerasan tersebut tidak terulang kembali. Adalah sebuah ironi ketika lembaga pendidikan diwarnai dengan aksi kekerasan oleh sejumlah pihak yang tak bertanggung jawab.
Saya merasa yakin setiap manusia dewasa telah memahami dampak buruk dari aksi kekerasan. Misalnya, cacat fisik, hilangnya rasa percaya diri, ketakutan berlebihan, dan rasa trauma yang begitu mendalam yang dialami oleh mereka: anak-anak korban tindak kekerasan.
Kabar menyejukkan datang dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait pentingnya memberantas aksi kekerasan yang biasa terjadi di lingkungan pendidikan. Sebagaimana diungkap Romanti (itjen.kemdikbud.go.id, 8/8/2023) mempertimbangkan pengesahan payung hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, secara resmi meluncurkan Merdeka Belajar ke-25: Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Peraturan ini dibuat dengan tujuan yang jelas untuk mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis, sambil memberikan prioritas pada perspektif korban (Romanti, itjen.kemdikbud.go.id, 8/8/2023).
Berbagai aksi kekerasan atau perundungan yang terjadi di lingkungan pendidikan memang meresahkan sejumlah pihak, khususnya para korban yang kemungkinan merasa ketakutan dan tak berani melaporkan kejadian yang dialaminya. Bisa jadi mereka takut diancam ketika nekat melaporkan kepada guru atau pihak sekolah. Bisa jadi pula, laporannya nanti hanya dianggap angin lalu alias tidak digubris oleh pihak sekolah.
Inilah yang menjadi PR besar pihak sekolah dan pemerintah, agar berusaha mensterilkan lingkungan sekolah dari beragam aksi perundungan dan kekerasan, baik yang dilakukan oleh para peserta didik maupun para pendidik itu sendiri, misalnya para guru, atau orang-orang yang bekerja di sekolah seperti tukang kebun atau satpam. Pihak sekolah harus berani menindak tegas kepada para pelaku kekerasan, tanpa pandang bulu.
Lingkungan sekolah yang diwarnai aksi kekerasan, tentu akan menjadi lingkungan yang tidak nyaman bahkan sangat mengerikan. Beragam potensi anak yang harusnya digali dan dikembangkan bisa terkubur dalam-dalam dengan munculnya orang-orang yang gemar berbuat onar. Berbeda ceritanya bila lingkungan pendidikan aman dari aksi kekerasan, maka anak-anak pun akan merasa nyaman dibuatnya, terlebih bila program-program sekolah dilaksanakan dengan penuh kegembiraan dan keceriaan.
Ekosistem sekolah yang baik dan kondusif dapat mendorong peserta didik mengembangkan potensi terbaiknya. Oleh karenanya sekolah diharapkan menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk peserta didik menimba ilmu (ditpsd.kemdikbud.go.id, 30/5/2022).
Upaya Kemendikbudristek dalam melakukan pencegahan aksi kekerasan di lingkungan pendidikan memang sangat tepat dan harus dilakukan secara terus-menerus setiap tahun, dengan pengawasan dan evaluasi yang berkelanjutan. Artinya, pemberantasan kekerasan tersebut harus benar-benar dilakukan, bukan sekadar wacana atau peraturan belaka.
Anak-anak yang terdampak kekerasan di satuan pendidikan tidak sedikit jumlahnya. Hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022 menunjukkan, sekitar 34,51 persen siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, diikuti oleh 26,9 persen (1 dari 4) yang berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) menghadapi potensi perundungan (Romanti, itjen.kemdikbud.go.id, 8/8/2023).
Saya sangat yakin, data-data hasil survei tersebut akan terus bertambah bila aksi-aksi kekerasan di satuan pendidikan tidak segera diberantas hingga ke akar-akarnya. Tentu saja, untuk memberantas beragam aksi kekerasan tersebut harus melibatkan kerja sama dari banyak pihak. Tidak cukup kita hanya mengandalkan kebijakan dari Kemendikbudristek saja. Tetapi juga harus didukung oleh masyarakat sekitar, para wali murid, guru, orang-orang yang bekerja di lingkungan sekolah, dan tentunya pihak korban, yakni anak yang menjadi pelaku kekerasan, agar berani bersuara. Berani melaporkan pelaku tindak kekerasan kepada guru, pihak sekolah, orang tua, atau masyarakat sekitar. Tujuannya jelas, agar anak mendapat perlindungan dan para pelaku kekerasan segera ditindak tegas.
Orang-orang yang kebetulan menyaksikan tindak kekerasan di sekolah juga harus berani bersuara. Jangan hanya diam dan menganggap hal itu adalah sesuatu yang lumrah. Misalnya teman-teman siswa yang mendapat perlakuan buruk, harus berani melaporkan kepada pihak sekolah, guru, wali murid atau warga sekitar. Tujuannya tentu saja untuk membantu menyelamatkan para korban, dan para pelaku kekerasan tersebut sesegera mungkin ditangkap dan diadili. Tanpa adanya kerja sama dari berbagai pihak, rasanya agak sulit untuk mengungkap dan memberantas aksi kekerasan di lingkungan pendidikan. (*)
| Mengenal Batik: Edukasi Budaya untuk Anak Usia Dini |
|
|---|
| Sektor Pariwisata dan Kemampuan Berbahasa Asing dalam Penguatan Ekonomi Wilayah |
|
|---|
| Roh Baru untuk Pendidikan Agama Islam |
|
|---|
| Transformasi Digital di Babel: Mencetak SDM Cerdas atau Sekadar Pengguna Teknologi? |
|
|---|
| Arsitek Transformasi: Kepemimpinan Transformatif dalam Membangun Ekosistem Digital Bangka Belitung |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.