Tribunners

Mencermati Desain Sistem Pajak Indonesia

Transparansi dalam peraturan pajak dan penggunaan pendapatan pajak penting untuk mencegah korupsi dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Ridho Ilahi - Fungsional Statistisi Badan Pusat Statistik 

Oleh: Ridho Ilahi - Fungsional Statistisi Badan Pusat Statistik

KETIDAKPASTIAN pasar keuangan global serta situasi geopolitik yang terjadi berbarengan isu perubahan iklim mengakibatkan awan gelap dalam perekonomian Indonesia. Saat ini, dunia sedang menghadapi kombinasi stagflasi 1970 dan krisis utang global 2008 yang tidak hanya mengancam negara maju, tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan respons The Fed dengan menaikkan suku bunga acuan yang berdampak pada penguatan dolar Amerika Serikat dan melemahnya rupiah.


Menariknya, di tengah perlambatan ekonomi global, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2023 mencapai 5,17 persen (yoy), meningkat dari pertumbuhan triwulan sebelumnya tercatat 5,04 persen (yoy). Sinergisitas stimulus fiskal pemerintah dan makroprudensial Bank Indonesia mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sisi permintaan maupun lapangan usaha.

Tantangan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia kian berat di tengah moderasi perolehan pajak. Aktivitas ekonomi yang terus membaik, kenaikan harga komoditas yang masih tinggi, serta implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan membuat penerimaan pajak pada Januari 2023 tumbuh 48,6 persen. Namun, pada Februari 2023, penerimaan pajak turun menjadi 40,35 persen, berlanjut pada Maret 2023 dan April 2023, masing-masing sebesar 33,78 persen dan 21,29 persen. Sinyal tren deselerasi patut kita waspadai karena angka pertumbuhan penerimaan pajak pada April 2023 jauh lebih rendah dibanding April 2022 yang mencapai 51,49 persen.

Keputusan untuk mengurangi tarif pajak, memberikan insentif perpajakan, serta mengubah regulasi perpajakan bisa juga menjadi penyebab tren deselerasi ini. Padahal di sisi lain, pemangkasan pajak dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Menariknya, praktik penghindaran pajak dan evasi pajak oleh perusahaan dan individu dapat memperparah turunnya penerimaan pajak. Aturan perpajakan yang kurang ketat serta celah dalam sistem perpajakan Indonesia memungkinkan untuk menghindari kewajiban pajak secara ilegal.

Selain itu, perubahan perdagangan internasional dalam hal perubahan tarif dan perjanjian perdagangan bisa menurunkan volume perdagangan dan harga barang ekspor sehingga penerimaan pajak ikut turun. Yang perlu diwaspadai juga adalah penurunan angka kelahiran atau penuaan populasi berakibat turunnya jumlah pendapatan yang diterima pemerintah dari pajak penghasilan dan pajak konsumsi. Tren deselerasi penerimaan pajak perlu mendapat perhatian serius pemerintah karena dapat mengganggu pembiayaan program dan layanan publik.

Koneksi Politik dan Ekonomi Internasional

Penelitian menunjukkan perusahaan yang dimiliki pemerintah dan berkoneksi politik mempunyai tingkat penghindaran pajak yang lebih rendah jika dibandingkan perusahaan yang tidak dimiliki pemerintah (Zhang, Li, & Jian, 2012). Perusahaan berkoneksi politik memperoleh perlindungan politik untuk menghindari pajak serta memperoleh informasi terkini terkait perubahan peraturan perpajakan. Koneksi politik sering terjadi di Indonesia dengan menempatkan pihak yang memiliki kedekatan dengan pemerintah sehingga memiliki koneksi terhadap struktur organisasi perusahaan seperti komisaris dan direksi (Fisman, 2001).

Dari sisi ekonomi internasional, era Deglobalisasi berbarengan konflik Rusia-Ukraina membawa Indonesia menuju babak baru, yaitu era inflasi dan suku bunga tinggi. Negara-negara maju mulai memanfaatkan mitigasi perubahan iklim dan instrumen fiskal untuk menarik investasi sehingga menghambat ekonomi Indonesia. Awalnya, Amerika memberikan subsidi besar-besaran untuk industri yang berhubungan dengan perubahan iklim melalui Inflation Reduction Act. Kemudian, Uni Eropa membalas dengan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism, berupa kenaikan tinggi tarif bea masuk terhadap barang emisi karbon.

Akibatnya, gencatan fiskal antara Uni Eropa dan Amerika berdampak pada kinerja ekspor Indonesia. Kinerja ekspor Indonesia yang terkontraksi pada bulan April hingga Agustus 2023 turut mendeselerasi penerimaan pajak. Padahal, setoran pajak Indonesia banyak bersumber dari kinerja ekspor serta fluktuasi harga komoditas.

Solusi Kebijakan

Agar tren deselerasi pajak tidak terus terjadi, upaya peningkatan basis pajak serta desain pajak harus terus digali. Desain sistem pajak harus cukup fleksibel untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam politik dan ekonomi internasional. Kebijakan pajak yang kaku tidak akan mampu merespons dengan efektif setiap perubahan dalam perdagangan internasional, aliran modal, maupun perubahan norma internasional.

Kolaborasi antara negara-negara dalam hal harmonisasi pajak internasional dapat membantu mengurangi ketidakpastian dan potensi konflik pajak. Sistem pajak juga harus mampu mempertimbangkan daya saing ekonomi nasional di pasar global. Tarif pajak yang tinggi dapat menghalangi investasi asing dan pertumbuhan ekonomi, sedangkan tarif pajak yang terlalu rendah dapat mengurangi pendapatan negara.

Tidak hanya itu, desain pajak harus mempertimbangkan aspek-aspek keadilan sosial dan distribusi pendapatan. Tarif pajak progresif tinggi bagi pendapatan tinggi, sementara itu pajak konsumsi yang diterapkan harus lebih merata. Desain pajak harus menginternalisasi biaya eksternal, seperti dampak lingkungan untuk menjawab konteks isu-isu global seperti perubahan iklim. Transparansi dalam peraturan pajak dan penggunaan pendapatan pajak penting untuk mencegah korupsi dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Sistem pajak harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan agar tetap relevan dan efektif dalam menghadapi perubahan ekonomi dan politik internasional. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved