Berita Pangkalpinang

Tahun 2023, Produksi Cabai Rawit Lokal di Bangka Belitung 5,119.99 Ton, Berharap Pasokan Stabil

Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Bangka Belitung menunjukan angka yang cukup stabil.

|
Editor: nurhayati
Bangkapos.com/Adi Saputra
Kebun cabai milik petani lokal di daerah Tuatunu, Pangkalpinang. 

BANGKAPOS.COM, BANGKA --  Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Bangka Belitung menunjukan angka yang cukup stabil terhadap produksi cabai lokal sepanjang tahun 2023.

Berdasarkan rinciannya, produksi cabai rawit lokal berada diangka 5,119.99 ton dari 5,190.80 ton kebutuhan masyarakat selama tahun 2023, atau 98,63 persen mencukupi kebutuhan masyarakat.

Sedangkan cabai merah berada diangka 7,018.28 ton dari 5,098.88 ton kebutuhan masyarakat, atau surplus 137,64 persen mencukupi kebutuhan masyarakat.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bangka Belitung, Edi Romdhoni menjelaskan kebutuhan komoditi cabai di Bangka Belitung masih terbilang stabil walaupun terkadang terjadi lonjakan harga.

Namun begitu dirinya menjelaskan tidak harus untuk berpaku pada data yang ada.

Menurutnya yang menjadi kepentingan utama dalam komoditi cabai adalah dengan bagaimana mempertahankan pasokan cabai agar tetap terus tersedia di tiap bulannya.

"Data satu tahun kalau kita tarik, kemudian dijumlahkan dengan kebutuhan penduduk, itu cukup, artinya cabai itu surplus. Tetapi apa artinya surplus kalau munculnya panen itu di bulan tertentu. Kita harus pahami dinamikanya di situ," kata Edi kepada Bangkapos.com (16/1/2024).

Hal ini pada dasarnya juga tak terlepas dari waktu proses tanam yang membutuhkan cukup banyak waktu hingga 3 bulan, sehingga selama masa tanam tersebut berkemungkinan membuat stok cabai lokal pada musim tanam menjadi sedikit atau sangat berkurang.

"Proses tanam cabai juga kan kita tahu tidak cepat. Butuh waktu setidaknya sampai 3 bulan biasanya. Jadi sembari kita menunggu musim panen, bulan-bulan sebelumnya otomatis stok kita berkurang," jelas Edi.

Selain itu menurutnya mengembangkan tanaman cabai bukanlah semudah mengembangkan tanaman lain.

"Kita harus tahu, cabai ini komoditi yang sifatnya tidak tahan ya. Cabai ini ketika dipanen, tidak lebih dari seminggu akan rusak, jika penyimpanannya tidak baik. Jadinya ini harus terus direproduksi. Belum lagi biaya perawatannya yang mahal, itu juga jadi kendala di daerah kita" ungkap Edi.

Dari berbagai hal tersebut, akibatnya menjadikan daerah Bangka Belitung perlu untuk mengimpor pasokan cabai/pangan dari daerah luar. Sayangnya jika berbicara profit, tentu menurutnya distribusi impor ini akan membuat kenaikan dari harga cabai/pangan yang ada di pasar.

"Tentunya jika pasokan stok cabai lokal kita sedikit, mau tidak mau kita harus impor pangan dari daerah lain. Namun ya itu, biaya impornya tidak murah, belum lagi kita daerah kepulauan, pastinya biaya distribusi barang yang dikeluarkan cukup tinggi. Maka dari itu harga yang keluar di pasar juga tidak murah," jelasnya.

Untuk itu menurut Edi, perlu bagi pemerintah, masyarakat, petani, dan semua elemen yang berkaitan untuk bersama-sama mengkoordinasikan waktu tanam cabai agar didapatkan alur yang jelas dalam mengondisikan stok cabai di tiap bulannya.

"Yang menjadi tantangan kita adalah tidak mudah untuk membuat komunitas cabai itu saling komunikasi agar masa panennya terkontrol. Koordinasi di situ yang sangat penting. Perlu keterlibatan semua pihak ya, baik dari instansi, lembaga, atau masyarakat itu sendiri," jelas Edi.

(Bangkapos.com/Gogo Prayoga) 

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved