Wawancara Eksklusif

Blak-blakan WPR di Bangka Belitung, Algafry Berdoa Prosesnya Dimudahkan Karena Timah Masih Idola

Bupati Bangka Tengah, Algafry Rahman telah berusaha mengupayakan kejelasan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di kabupaten yang dipimpinnya.

Penulis: Arya Bima Mahendra | Editor: M Ismunadi
Bangkapos.com/Dokumentasi
Wawancara eksklusif Bupati Bangka Tengah Algarfy Rahman dengan Editor In Chief Bangka Pos Group Ade Mayasanto di Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (1/4/2024). 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Bupati Bangka Tengah, Algafry Rahman telah berusaha mengupayakan kejelasan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di kabupaten yang dipimpinnya.

Dia menegaskan WPR menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat agar dapat beraktivitas secara legal.

Hanya saja Algafry tak memungkiri masih ada beberapa kendala dan hal tersebut sudah disampaikannya dalam RDP yang dihadiri Plt Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, dan beberapa undangan lainnya.
 
Sehubungan dengan RDP yang membahas WPR tersebut, berikut kutipan wawancara Algafry Rahman  bersama Editor In Chief Bangka Pos Group, Ade Mayasanto, Senin (1/4).
 
Saya juga baca, soal ketidakjelasan dokumen pengelolaan, ada juga masalah soal orang yang nantinya akan mengelola itu. Salah satunya permasalahan finansial, saya baca itu sekitar Rp6 miliar untuk yang ada di rekening, seperti apa itu maksudnya?

Ini yang saya ingin diskusi lebih lanjut itu sebenarnya. Di dalam finansial itu sebenarnya siapa. Kalau kita duduk bersama, dengan perbankan misalnya, perbankan mana yang mampu memberikan kontribusi keuangan kepada masyarakat, seberapa besar misalnya. Atau kalau dia bentuk koperasi, koperasi itu seberapa besar keuangan mereka, kalau bicara untuk keuangan. Sedangkan terkait peralatan juga belum tau ini, di dalam IPR itu seharusnya dijelaskan ini mau pakai apa alat ini, apakah pakai escavator, apa main semprot doang.
 
Jadi memang belum jelas konsep untuk WPR dan IPR ini?

Menurut saya sampai hari ini belum ada kejelasan.
 
Ketika belum ada dijelaskan, apa yang bisa dilakukan Pemkab kepada masyarakat Bangka Tengah agar mereka minimal bersabar dulu?

Sementara memang kita harus menunggu. Kalau menurut informasi saya, Pak Dirjen Minerba saat ini sedang mengatur regulasinya, dikasih waktu tempo 2 bulan untuk menindaklanjuti apa yang kami sampaikan, menurut yang saya denger begitu.
 
Betulkah ketika ada WPR, harus ada kajian eksplorasi dulu sebelum dieksploitasi?

Sejujurnya kalau kami ini sudah melakukan itu. Jadi syarat untuk ditentukan WPR itu salah satunya memang kita sudah tau muatannya apa, minimal gambaran apakah itu pasir, apakah timah, apakah tanah liat, granit, itu sudah terperinci semua. Jadi ketika saya mengusulkan 6000-an hektar (WPR-red) itu, masing-masing wilayah itu sudah ada potensi-potensi yang kami ketahui.
 
Kemudian yang 13 blok kemarin, kira-kira potensi apa yang bisa didapatkan, boleh dijabarkan?

Kurang lebih ada pasir, timah, juga ada nonlogam yang lainnya disitu kurang lebih. Tapi yang pasti disitu pasir, timah, granit.

Wawancara eksklusif Bupati Bangka Tengah Algarfy Rahman dengan Editor In Chief Bangka Pos Group Ade Mayasanto di Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (1/4/2024).
Wawancara eksklusif Bupati Bangka Tengah Algarfy Rahman dengan Editor In Chief Bangka Pos Group Ade Mayasanto di Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (1/4/2024). (Bangkapos.com/dokumentasi)

Supaya gampang dibaca rakyat, sebenarnya rakyat itu untuk memiliki IPR, dia butuh modal berapa? Dan kalau boleh tau, dengan konsep 13 blok ini, apakah akan balik modal buat mereka sendiri?

Kalau bicara berapa modal yang diperlukan,  disitu juga kita harus bertanya ini pakai metode yang mana. Kalau masyarakat enggak mungkin pakai teknologi yang canggih-canggih. WPR ini syaratnya harus dikerjakan oleh warga setempat, yang dekat dengan lokasi. Nah setau kami, wilayah itu, saya misalnya menentukan salah satu (WPR-red), di daerah Tanjung Gunung. Setau saya disitu teman-teman saya adalah para nelayan kebanyakan yang beralih profesi sempat jadi penambang. Pertanyaannya, punya enggak mereka duit bermilyar-milyar, enggak ada, sepertinya sulit. Jadi setidak-setidaknya itu tadi, kalau Kementerian ESDM punya program dan mereka turun ke lapangan dan menyaksikan sendiri, kita bisa diskusi, mencari jalan tengahnya, pakai metode apa ini pengerjaannya, alat apa yang kuta gunakan.
 
Sepengetahuan pak Bupati, untuk mengerjakan itu butuh modal berapa besar?

Kalau dia pakai alat sebu mungkin lebih murah. Tapi kan kalau mengerjakan itu, setau saya masyarakat punya metode PIP (Ponton Isap Produksi). Kalau PIP yang digunakan, rata-rata mereka bisa habis uangnya itu puluhan juta modalnya.
 
Apakah itu bisa balik modal dengan puluhan juta tadi?
Kalau estimasi misalnya dia memang penambang, pasti bisa memperkirakan itu untuk bisa tercapai. Kita bicara normatif nya saya ya, kalau itu sudah berjalan, saya yakin teman-teman sudah punya estimasi tersendiri terhadap lokasi tersebut. Jadi kalau saya berada di situ, sebagai penambang juga sebelumnya, saya bisa memperkirakan, saya berani untuk melakukan itu dengan metode yang diizinkan. Misalnya menggunakan PIP, ya tentu perhitungan-perhitungannya ada. Kalau sekian tahun misalnya diberikan, InsyahAllah itu bisa balik modal.
 
Artinya ini menjadi keyakinan bahwa dengan WPR ini adalah jalan untuk Bangka Tengah?

Karena skema yang ada aturan Undang-Undang nya itu. Kalau enggak WPR, WUPK, WPN. Di kami di Bangka Tengah itu, WPR gambarannya, ada yang diberikan WPN, ada yang diberikan WUPK.
 
Berarti ini sebenarnya ada kekayaan alam yang belum bisa dinikmati masyarakat?

Betul. Belum lagi kalau saya bicara tentang eks PT Kobatin. Lokasi eks PT Kobatin itu bagaimana Dirjen Minerba melihatnya, bagaimana menanfaatkannya, pakai pola apa yang harus dilakukan. Karena apa, lokasi eks PT Kobatin itu ada juga berkaitan dengan lokasi-lokasi yang misalnya masuk kawasan (hutan-red). Bagaimana misalnya caranya hutan produksi, boleh tidak (ditambang-red). Itu memang tidak segampang itu, maka saya memaklumi misalnya dari sekian hektar yang diajukan itu, oke kita ambil yang clear aja dulu, yang 890 hektar itu. Kalau yang 890 hektar ini sepertinya di luar eks PT Kobatin.

Jadi sebenarnya lokasi tersebut (890 hektar-red) rata-rata sudsh digali, sudah dikerjakan. Sebenarnya itu enggak salah untuk ditetapkan sebagai WPR, karena Undang-Undang yang sebelumnya yang pembaruan UU Nomor 3 tahun 2020 ini juga menyebutkan kalau wilayahnya sudah dikerjakan (ditambang-red), lebih diprioritas untuk mendapatkan WPR.
 
Pak Bupati juga katanya sempat ketemu dengan Pak Kajati soal konsep koperasi timah. Ini konsepnya seperti apa?

Apa yang disampaikan oleh Pak Kajati itu juga bagian dari bagaimana mengatur regulasi yang baik untuk masyarakat di dakam pengelolaan wilayah penambangan ini. Saya pikir itu sama lah bentuknya, artinya misalnya dari koperasi, rujukannya juga dari UU nomor 3 tahun 2020 tadi, WPR juga bisa jadi salah satunya. Jadi ini bentuk stimulus yang diberikan oleh pak Kajati pada saat itu bahwa beliau ingin membantu bagaimana suoaya masyarakat ini memiliki regulasi yang jelas berkaitan dengan penambangan. Nah kami pada saat itu menyambut baik dan pak Gubernur juga sudah mengeluarkan statmen pada saat itu bahwa lagi diatur bagaimana untuk menciptakan iklim yang positif di dalam pengelolaan penambangan ini melalui koperasi yang akan dibentuk. Saat ini kan memang, termasuk pak Gubernur juga lagi membahas ini. Dan tentu ini juga akan kembali ke izin di kementerian juga, bagaimana proses ini.
 
Mana yang lebih memungkinkan, WPR atau koperasi yang diusulkan pak Kajati?

Halaman
12
Sumber: bangkapos.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved