Permasalahan Klasik Dari Pembangunan Indonesia, Prof Bustami: Kita Masih Belum Punya Nilai Peradaban

Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan global yang kian kompleks dan semakin dinamis. 

Penulis: Gogo Prayoga | Editor: M Ismunadi
Bangkapos.com/Gogo Prayoga
Prof Dr Bustami Rahman M.Sc, rektor pertama Universitas Bangka Belitung (UBB), saat bincang-bincang dengan Bangkapos.com di kediamannya, Jumat (14/6/2024). 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan global yang kian kompleks dan semakin dinamis. 

Sayangnya, tantangan tersebut tampak tak diimbangi dari sikap masyarakat Indonesia yang jauh dari kata maju. 

Dimana masih banyak ditemukan, masyarakat Indonesia yang bersikap tidak jujur, pemalas, hingga menyalahgunakan kekuasaannya demi untuk mencapai kepentingan pribadi semata. 

"Permasalahan pada masyarakat Indonesia kita ini pada dasarnya kompleks ya. Banyak karakter kurang baik yang kita dapati pada masyarakat kita sendiri," kata Prof Dr Bustami Rahman M.Sc, rektor pertama Universitas Bangka Belitung (UBB), saat bincang-bincang dengan Bangkapos.com di kediamannya, Jumat (14/6/2024).

Prof Bustami mencontoh, banyak karakter buruk yang sebenarnya dapat diamati dari sebagian masyarakat Indonesia.

Salah satunya adalah pada saat masa menjelang pemilu saat ini. Dimana sering terjadi transaksi tawar menawar kepentingan yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan segelintir pihak. 

"Di Amerika juga ada orang yang memberikan dana untuk calon presiden, tapi dia mau lihat programnya dulu apa. Misalnya, si A jadi calon presiden, saya jadi pengusahanya. Saya selaku yang ingin menyumbang dana, nanya dulu nih sama si A, apa saja yang si A ingin bangun semisal ia terpilih. Setelah diskusi rupanya sesuai dengan saya, bisa menguntungkan saya, bisa menguntungkan rakyat. Kalau benar begitu, jelas saya bantu si A," jelas pria kelahiran Belinyu, 24 April 1951 itu.

Sementara itu, di Indonesia, kondisi tersebut justru berbanding terbalik dimana baik dari si pemimpin maupun pengusaha hanya fokus untuk mencari keuntungan masing-masing tanpa terpikir kepentingan untuk masyarakat. 

"Kalau di sini (Indonesia-red) kan tidak. Di sini pengusahanya nanya, calon pemimpin butuh berapa dan lain-lain. Terus si calon pemimpin nanya si pengusaha maunya apa, maunya si pengusaha kalau ada proyek, serahinnya ke mereka. Itu kan yang rusak di Indonesia ini, tidak boleh seperti itu," ujar alumni Universitas Gadjah Mada tersebut. 

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah kultur Indonesia memang begitu adanya atau ada campur tangan dari pihak lain dalam merusak nilai-nilai tersebut. 

Menjelaskan hal tersebut, Prof Bustami mengatakan, waktu Indonesia dijajah Belanda, demikian Malaysia dan Singapura yang dijajah Inggris, ternyata memiliki perbedaan. 

"Malaysia dan Singapura selepas dijajah atau diberikan kemerdekaannya oleh Inggris, mereka tetap ambil nilai-nilai peradaban yang diturunkan Inggris semasa penjajahan tadi. Dan nilai-nilai itu nilai-nilai baik, seperti disiplin, jujur, rajin, kerja keras, semuanya baik," kata Prof Bustami. 

Lanjut Prof Bustami, nilai-nilai peradaban Belanda juga sebenarnya begitu. Mereka juga menerapkan nilai yang kurang lebih sama pada waktu zaman penjajahan di Indonesia dulu.

"Cuma kenapa kemudian nilai-nilai peradaban tadi hilang, karena kemerdekaan kita itu kita rebut dengan paksa. Karena semangat perjuangan sekaligus kebencian kita terhadap Belanda tadi, kita ingin semua yang tentang Belanda itu hilang, termasuk dengan nilai-nilai peradabannya tadi. Bahkan ada topi Belanda pun kita tolak waktu itu," imbuh Prof Bustami. 

Oleh karena itu, kata Prof Bustami, dibuangnya nilai-nilai peradaban tersebut, membuat Indonesia terpaksa harus membangun kembali nilai-nilai peradabannya dari nol pasca kemerdekaan, dan itu rupanya tidak semudah yang dibayangkan. 

"Balik lah lagi kita ke zaman hutan. Bukan berarti nilai-nilai kita jelek, tapi dalam pertumbuhannya itu belum cukup umur. Dibandingkan eropa, mereka sudah ratusan tahun membangun nilai-nilai peradaban tadi. Sedangkan kita waktu baru merdeka, sekolah baru dimulai, baru ada sedikit, masyarakat juga masih belum banyak yang punya pola pikir pendidikan, punya mental peradaban. Makanya banyak terjadi gesekan selama kita menjalankan pemerintahan," ujar Prof Bustami. 

Hematnya, perjuangan Indonesia dalam mengusir penjajah rupanya menjadi pisau bermata dua. Di sisi lain membangun nasionalisme, namun di lain sisi ikut membuang nilai-nilai peradaban yang seharusnya menjadi pondasi untuk Indonesia berkembang. 

"Memang bagus kita mengusir penjajahan tadi, nasionalisme kita terangkat. Di sisi lain, mereka juga salah karena mengekploitasi kekayaan kita. Tapi dari sudut Civilization (peradaban) sejujurnya itu agak disayangkan, karena nilai-nilai peradaban tadi jadi tidak diturunkan ke kita," tukasnya. 

Waktu demi waktu berlalu, namun kata Prof Bustami, Indonesia masih menjadi negara bingung yang tidak tahu bagaimana ingin membangun peradabannya. 

"Begitu juga waktu kita reformasi, orang berpikir ini langkah awal untuk kita kembali bangun peradaban. Tapi aslinya kita masih bingung, karena kita tidak membuat apa-apa kecuali kita cuma mau merdeka dari tekanan politik Soeharto waktu itu," tambahnya. 

Akibat dari situasi yang tak kunjung selesai ini, kata Prof Bustami, akhirnya kian melanggengkan karakteristik masyarakat Indonesia yang jauh dari nilai peradaban, khususnya untuk menjadi masyarakat maju. 

Karakteristik yang kurang baik tersebut, pada akhirnya menjalar ke semua elemen masyarakat dan mengakar di setiap proses aktivitas yang masyarakat Indonesia lakukan. 

"Karena peradaban kita tidak berkembang ini, akhirnya impact-nya pada masalah disiplin, masalah kejujuran, korupsi merajalela, kebijakan banyak berubah seenak hati, intinya banyak karakter yang sebenarnya kita ketinggalan jauh dari mereka negara-negara maju. Sedangkan karakter jelek-jelek ini terus kita pertahankan," kata Prof Bustami. 

Tak hanya itu, kondisi ini juga membuat perekonomian Indonesia sering mengalami involusi atau pembangunan yang sering turun naik hingga terjadi krisis tak terkendali. 

"Pembangunan kita juga sering involusi, maksudnya ekonominya sering turun naik. Tahun 66 jatuh, naik lagi, tahun 74 jatuh lagi, terus naik lagi, terus tahun 98 jatuh lagi. Jadi bagaimana kita mau membangun peradaban kalau situasi kita sering begitu," ujarnya. 

Ia mengungkapkan, kondisi tersebut justru tidak terjadi di negara tetangga. Hal ini karena mereka sudah memiliki nilai peradaban yang cukup kuat untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan tersebut. 

"Di Singapura dan Malaysia, tidak terjadi pertumbuhan pembangunan yang patah-patah tadi. Mereka justru in line, terus dan perlahan merangkak naik. Karena peradaban masyarakat sudah cukup kuat untuk melaksanakan pemerintahan yang baik," ungkapnya. 

Meski memiliki segudang permasalahan, namun Prof Bustami percaya Indonesia masih bisa bangkit dan membangun nilai-nilai peradaban yang ingin dicapai. 

Salah satunya adalah dengan mengembalikan wewenang MPR sebagai badan tertinggi negara sekaligus menjadi pelaksana untuk pemilu ke depan. 

"Mulailah kita kembali untuk step back, yang ringan-ringan saja dulu. Misalnya, MPR balik ke posisi semula dengan mengamandemen UUD 1945 yang murni. Jadi memegang prinsip supaya pemilu berada di tingkat MPR, bukan di tingkat rakyat lagi. Karena secara SDM, kita belum siap untuk jadi negara demokrasi. Sedangkan demokrasi itu untuk negara yang SDM-nya sudah maju," ungkap Prof Bustami. 

Prof Bustami menjelaskan, masih belum siapnya SDM Indonesia untuk menjalankan demokrasi, karena tak terlepas dari ketiadaan SDM Indonesia untuk memiliki nilai-nilai peradaban tersebut. 

Selain itu, masih sedikitnya masyarakat dengan latar pendidikan tinggi, juga ikut memberikan pengaruh terhadap kualitas dari demokrasi yamg dijalankan di Indonesia saat ini. 

"Bagaimana kita melihat SDM suatu negara itu maju atau tidak, kita lihat dari tingkat pendidikannya, lihat APK-nya. Indonesia itu baru 31 persen. Kita lihat Malaysia, sudah di atas 60, Singapura sudah di atas 70, Korea Selatan justru 98 persen. Dari situ saja kita bisa melihat, untuk mengukur anak itu terdidik atau tidak, mudah terpengaruhi atau tidak dengan uang pemilu, sedikit lebihnya kita bisa lihat dari situ," terang Prof Bustami. (Bangkapos.com/Gogo Prayoga)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved