Tribunners
Timah dan Upaya Menambal Kedaulatan Negara yang Bocor di Laut
Negara yang hadir di laut bukan hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menambal kebocoran sejarah
Oleh: Bahjatul Murtasidin - Dosen di Program Studi Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
DALIL transisi energi yang ramah lingkungan telah membuat dunia berlomba mencari mineral kritis untuk menopang industri hijau dan timah adalah salah satu mineral kritis itu. Dalam lanskap global yang baru ini, timah tidak lagi dimaknai hanya sekadar komoditas tambang, tetapi bagian tak terpisahkan dari infrastruktur masa depan karena timah menjadi bahan dasar untuk komponen mikroelektronik yang menopang teknologi hijau, panel surya, dan bahkan sebagai penyuplai baterai kendaraan listrik. Konsekuensi atas kondisi itu adalah permintaan terhadap timah secara global yang terus melonjak.
Namun ironinya, di saat dunia menatap timah sebagai aset masa depan, Indonesia masih berkutat pada persoalan domestik yang belum selesai. Persoalan itu terkonfirmasi dalam Musyawarah Nasional (Munas) VI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang lalu, dengan penuh semangat Presiden Prabowo Subianto menyinggung persolan timah di Kepulauan Bangka Belitung (yang notabenenya sebagai penyuplai 90 persen kebutuhan timah di Indonesia). Mulai dari aktivitas illegal mining, potensi kebocoran yang timbul sampai dengan keberhasilan menutup 1000 tambang timah ilegal dalam jangka waktu yang belum genap satu bulan.
Bukan hanya berhenti sebatas itu, Presiden Prabowo juga berkomitmen untuk tetap melakukan operasi penutupan tambang timah ilegal ini sampai Desember 2025 dan tetap dilanjutkan pada tahun 2026. Aksi konkret yang dilakukan ini tentu mengubah anggapan yang selama ini berkembang, bahwa negara hadir tetapi tidak terlihat perannya karena kebocoran timah dan persoalan turunannya tetap saja terjadi.
Ketika Presiden Prabowo menegaskan komitmennya untuk menghentikan tambang timah ilegal di Bangka Belitung, banyak pihak yang melihatnya bukan sekadar kebijakan penegakan hukum, bukan pula oskestrasi politik, melainkan sebuah simbol atas hadirnya kembali negara di wilayah yang telah lama ditinggalkan oleh keadilan dan wibawanya.
Selama lebih dari tiga dekade, Bangka Belitung penghasil timah terbesar kedua di dunia ini hidup dalam paradoks: kekayaan alam (timah) melimpah, tetapi masyarakat (terutama pesisir) hidup di tengah konflik sosial, ketimpangan kesejahteraan dan kerusakan lingkungan. Aktivitas tambang ilegal telah menjadi semacam “negara bayangan”, yang menciptakan jejaring ekonomi gelap yang kuat, membentuk budaya ketergantungan baru di masyarakat, dan menembus batas birokrasi. Dalam kondisi ini, negara (seolah telah) kehilangan kendali atas sumber daya strategisnya sendiri.
Karena itu, langkah Presiden Prabowo yang menertibkan tambang ilegal pada dasarnya bukan hanya menyangkut soal ekonomi, tetapi restorasi atas otoritas negara yang sah. Presiden Prabowo menandai lembaran baru tentang negara yang (mulai) berani menegakkan kedaulatan sumber daya di hadapan para aktor yang selama ini mempermainkan negara (hukum) demi keuntungan pribadi.
Laut sebagai ruang yang bocor
Tak ada yang tahu kapan laut di Bangka Belitung menjelma sebagai ruang yang bocor. Bocor bukan hanya karena akibat (lumpur tambang) yang mencemarinya, melainkan karena kealpaan atau hilangnya kendali negara atas sumber daya yang terkandung di dalamnya.
Hampir setiap hari suara mesin tambang terdengar seperti denyut nadi (ekonomi) yang tak pernah berhenti. Di balik kebisingan mesin itu, pasir timah ditambang dari dasar laut menuju pelabuhan-pelabuhan kecil, lalu hilang tanpa jejak dalam rantai pasok global. Hasilnya tidak lagi mengalir ke kas negara, melainkan ke jejaring ekonomi gelap yang sulit dilacak.
Jika dahulu laut menjadi sumber kehidupan, kini perlahan berubah menjadi arena ketidakpastian. Nelayan kehilangan ruang tangkap, ekosistem rusak, dan konflik sosial muncul di mana-mana. Negara, dalam pandangan mereka, hadir hanya dalam bentuk papan nama kantor dan operasi sesaat, tidak sebagai pelindung, pengatur, apalagi pengayom. Namun kini arah itu tampaknya mulai bergeser. Ketika Presiden Prabowo secara tegas menyampaikan komitmennya untuk menghentikan tambang timah ilegal di Bangka Belitung, banyak orang yang menafsirkan langkah itu sebagai kode dan tanda kembalinya wibawa negara di laut yang telah lama dibiarkan bocor.
Negara yang kembali ke laut
Komitmen untuk menertibkan tambang timah ilegal membawa makna yang lebih dalam dari sekadar kebijakan administratif. Di baliknya ada pesan simbolik: bahwa negara tak lagi bisa membiarkan laut menjadi ruang tanpa penjaga. Bangka Belitung bukan hanya penghasil timah, tetapi juga cermin bagaimana negara memperlakukan kekayaannya sendiri. Selama dua dekade, tambang ilegal tumbuh menjadi semacam “negara bayangan”. Ia punya aturan sendiri, aktor sendiri, bahkan loyalitas sosial yang terkadang lebih kuat daripada kepercayaan masyarakat pada negara.
Ketika negara absen, masyarakat menciptakan sistem ekonominya sendiri, kadang dengan risiko besar terhadap hukum dan lingkungan. Kehadiran Prabowo dalam konteks ini bisa dibaca sebagai upaya merebut kembali ruang yang telah lama dikuasai kepentingan non-negara. Laut tidak boleh lagi menjadi “ruang bocor” tempat kekuasaan menguap dan tanggung jawab negara tenggelam. Dengan menertibkan tambang ilegal, negara menegaskan kembali kedaulatan ekologisnya, bahwa sumber daya bukan hanya soal siapa yang menambang, tetapi untuk siapa hasilnya dikelola.
Harapan dari pesisir

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.