Resonansi

Hai, Modar Aku

Pengakuan kepala daerah yang terjaring OTT KPK, praktek itu mereka lakoni demi mengembalikan modal pemilihan secara cepat.

Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Bangkapos.com
Ade Mayasanto, Editor In Chief Bangka Pos dan Pos Belitung 

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.

Editor in Chief

Bangka Pos/Pos Belitung


1981, ketika itu di dalam ambulans tergolek sosok tubuh gemuk.

Perempuan bergelimang perhiasan emas, mendadak pingsan lantaran mendengar kabar sang putra mengalami kecelakaan.

Para medis sigap. Kompak datang menyambut kehadiran perempuan tersebut dan langsung membawanya ke ruang periksa.

Tanpa basa basi, mereka bergerak cepat. Mungkin sudah terbiasa dalam tugas melayani pasien.

Tak lama berselang, datang sopir helicak. Ia membawa seorang pasien berbalut kain sarung.

Pasien ini terus menerus menjerit kesakitan lantaran seluruh badan melepuh akibat pangkalan bensin ecerannya meledak.

Kali ini hanya suster cantik yang datang.

Berbeda perlakuan dengan pasien yang bergelimang perhiasan, suster ini justru memilih bertanya banyak hal soal data pasien.

Pertanyaan suster ini dijawab diiringi jerit kesakitan.

Tak kunjung membawa pasien ke ruang periksa, suster lalu menyarankan pasien ke loket pembayaran demi ongkos pengobatan.

Saran suster bertepuk sebelah tangan. Pasien berkain sarung ini tak membawa uang.

Suster tetap ngotot diiringi tatapan mata melotot. Ia mempersilakan sang bapak tunggu di muka saja.

"Hai, modar aku," jawab pria berkain sarung. 

Begitulah kira-kira lirik Iwan Fals dalam lagunya berjudul Ambulan Zig Zag.

Dirilis 1981, lagu Ambulan Zig Zag merupakan satu dari sepuluh lagu Iwan Fals di album Sarjana Muda.

Namun, tulisan ini bukan menyoroti soal kisah perlakuan berbeda tenaga medis ke pasien.

Tulisan ini hanya ingin mencuil kalimat sang bapak bersarung kain. Hai, Modar Aku.

Sedikit pragmatis, mungkin ya. Tapi begini narasinya kenapa Hai Modar Aku menjadi seksi untuk dibahas.

Hal ini berangkat dari kesaksian sejawat diskusi di warung kopi beberapa waktu lalu.

Saat itu, seorang berbadan tegap dengan kepala plontos meluapkan emosi. Padahal, baru saja ia menyesap air berwarna hitam pekat di sebuah gelas.

"Baru juga daftar. Masa sudah diminta bantingan dana survei bersama," ucapnya.

"Emang, diminta berapa?" tanya pria lain yang berada di hadapan si pria plontos.

"Ratusan juta," timpal pria lain, yang sepertinya rekan si plontos.

Diam-diam, telinga yang mendengar pembicaraan mulai mengirim pesan singkat ke otak ini. Mencoba mencari tahu ihwal isi pembicaraan, rupanya si plontos merupakan sosok yang berada di daftar telepon seluler.

Rasanya, si plontos ini juga dikenal banyak orang. Mencoba mendekat melalui kata salam, akhirnya ikut larut dalam pembicaraan padat dan panjang dengan mereka.

Tentu tak pantas bila kemudian isi pembicaraan diulas rinci. Tapi, tenang narasi akan dibeberkan versi berbeda.

Masih ingat pernyataan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Giri Suprapdiono pada Rabu, 22 Juli 2020? Pasti, jawabnya enggak, atau bila tak ingin dibilang kuper, biasanya dijawab samar-samar.

Sekali lagi, tenang saja. Coba diingatkan memori itu melalui kata-kata. Saat itu, Giri dalam diskusi virtual menyebut bahwa biaya politik di Indonesia terlalu mahal. Imbasnya, korupsi di Indonesia masih saja ada.

Ia mengemukakan, dalam gelaran pilkada, seorang calon kepala daerah bisa menghabiskan biaya sebesar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.

Rinciannya, untuk seorang bupati atau wali kota, dana yang mesti dikeluarkan adalah Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar.

Sedangkan untuk level pilkada gubernur berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar per pemilihan.

Giri lalu mengatakan, kepala daerah yang berhasil duduk di pemerintahan bakal berupaya mengembalikan modal yang dikeluarkan saat pemilihan.

Hitungan Giri, bila hanya mengandalkan gaji, kepala daerah tidak akan cepat mengembalikan modal pemilihan.

Contoh saja, seorang bupati mendapat gaji Rp 6,5 juta setiap bulan.

Pendapatan bupati akan ditambah dengan upah pungut pajak yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD).

Bila PAD suatu daerah di bawah Rp 2,5 triliun, bupati mendapat tambahan pendapatan enam kali gaji.

Jika besaran PAD antara Rp 2,5 triliun - Rp 7,5 triliun, bupati dapat tambahan delapan kali gaji.

Kalau PAD mencapai lebih dari Rp 7,5 triliun, maka bupati bakal mendapat 10 kali gaji.

Nah, coba dikali kemudian selama setahun lalu dikali lima tahun sesuai masa jabatan kepala daerah. Kemungkinan yang diperoleh masih di bawah Rp 20 miliar.

Nah kedua, menurut Giri demi menutup kekurangan, jalan yang biasa dilakukan adalah korupsi, atau bisa juga jual beli jabatan birokrasi.

Cara-cara itu, kata Giri, bersumber dari pengakuan para kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan OTT KPK.

Pengakuan kepala daerah yang terjaring OTT KPK, praktek itu mereka lakoni demi mengembalikan modal pemilihan secara cepat.

Lalu apa hubungan pernyataan Giri, biaya survei si Plontos dan Hai Modar Aku?

Banyak jawaban. Ada yang bilang untuk mengetahui kisaran popularitas dan elektabilitas kandidat. Ada yang bilang demi organisasi. Ada juga yang bilang urusan hierarki dan birokrasi soal pemilihan.

Jadi perlu diatur, bukan semata jual tampang. Soalnya kemudian: siapa yang mengatur? Siapa yang diatur? Hai, Modar(l) Aku. (*)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved