Resonansi

Barikade Padjadjaran

Kampus tidak lagi tempat menempa idealisme, tapi berburu angka demi lulus cepat dan menyandang predikat baik.

Penulis: Ade Mayasanto | Editor: Fitriadi
Dok. Ade Mayasanto
Ade Mayasanto, Editor in Chief Bangka Pos/Pos Belitung. 

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.

Editor in Chief 
Bangka Pos/Pos Belitung

SEORANG pria berperawakan gemoy duduk di ruang rapat sebuah perusahaan terkemuka di Bangka Belitung.

Dari sorot lampu kantor yang mulai remang-remang, terlihat kemejanya disetrika rapi. Wajahnya pun memantulkan cahaya lampu LED yang tak lagi putih.

Sebuah tas hitam berada di sisi kirinya. Dibuka, lalu tiga lember kertas disodorkan ke tuan rumah. 

"Ini surat tugas saya. Saya periset," katanya ringan.

Tapi di matanya, ada seperti ada sesuatu yang lain. Semacam ada jarak antara dirinya dengan lembaran kertas yang disodorkannya di meja panjang berwarna cokelat.

Ia memperkenalkan diri selaku mantan mahasiswa dari sebuah kampus besar di Bandung.

"Saya baru lulus kuliah," tambahnya kemudian.

Di ujung kalimat itu, ada jeda yang pelan. Ia menyebut kelulusan seperti sebuah pernyataan netral. Bahkan, di balik kemeja yang rapi itu seolah masih menyisakan keyakinan lama yang belum sepenuhnya mati.

Betul saja, ketika riset kecil-kecilan di penghujung pertanyaan, ia menumpahkan cerita panjang perihal dunia kampus yang telah digeluti nyaris lima setengah tahun. Dunia kampus yang mulai senyap dari ruang diskusi yang gaduh, poster ideologi di tembok dan bahkan aroma kopi kemasan di tengah malam panjang. Kini, semua tertata rapi beralih menjadi jadwal zoom dan perburuan nilai IPK.

Mahasiswa sibuk mengejar angka, bukan lagi menata premis mayor dan minor lalu diturunkan menjadi silogisme. Banyak mahasiswa gelisah ketika tidak cum laude, tapi tenang-tenang saja bila tak paham tangis dan kegelisahan masyarakat di luar pagar kampus.

Ketika kampus tidak lagi tempat menempa idealisme, tapi berburu angka demi lulus cepat dan menyandang predikat baik, ironisnya, angka itu tak menjadi pemulus janji kemajuan. Dan pria gemoy tidak satu-satunya. Di luar sana, banyak yang menanggung nasib serupa. 

Beruntung, ia masih diajak menjadi seorang periset. Walau, menjadi periset, baginya, bukan pilihan aman. Periset hanya cara bertahan, menjaga sisa keyakinan bahwa ilmu harus berpihak. Pengetahuan tidak boleh netral atas ketidakadilan.

Di kampus, boleh saja berjejal teori-teori yang disajikan dosen. Tapi, saat berada di jalan, mereka justru menyaksikan korupsi yang tak kunjung reda. Meski berkali-kali pasal konstitusi dan keadilan dibahas saban pagi dan malam di media.

Sumber: bangkapos.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved