Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah
Alasan Penambang Liar Sering Jual Bijih Timah ke Smelter Dibanding PT Timah: Lebih Cepat Dapat Uang
Dungkap Acau, ia justru lebih sering menjual biji timah ilegal ke perusahaan smelter swasta ketimbang perusahaan milik negara tersebut.
Penulis: Vigestha Repit Dwi Yarda | Editor: fitriadi
BANGKAPOS.COM-- Terungkap alasan penambang liar lebih sering menjual bijih timah ilegal ke perusahaan smelter swasta ketimbang di PT Timah.
Kasus korupsi di PT Timah terus bergulir hingga hari ini.
Seorang penambang liar di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah Tbk, Liu Asak alias Acau mengungkap alasannya soal penjualan biji timah.
Dungkap Acau, ia justru lebih sering menjual biji timah ilegal ke perusahaan smelter swasta ketimbang perusahaan milik negara tersebut.
Lantaran jika langsung dijual ke smelter, Acau bisa memperoleh pundi-pundi uang secara cepat untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya.
Hal itu diungkapkannya ketika hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moies Cs di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (9/9/2024).
Selain itu, dikatakannya jika menjual bijih-bijih timah tersebut dijual ke PT Timah maka dirinya harus melewati beberapa prosedur.
"Soalnya kalau kita ngirim ke PT Timah mesti ada prosedur pak, harus ikut. Maksudnya gini kita harus lobi, keringin, tonasenya juga harus (disesuaikan). Kalau kita butuh uang, mau cepet, gaji operasional," ujarnya.
"Kita yang di lapangan kalau kita butuh cepet ya kita jual, soalnya pembeli banyak," sambungnya.
Salah satu smelter swasta yang menjadi tujuan penjualan bijih timah Liu yakni PT Refined Bangka Tin (RBT).
PT RBT sendiri diketahui merupakan perusahaan yang dibantu oleh terdakwa Harvey Moies untuk bekerjasama dengan PT Timah Tbk.
Baca juga: Bos Timah Swasta di Bangka Raup Untung Fantastis dari Menambang di Wilayah IUP PT Timah
Acau pun mengaku pernah bertemu dengan kaki tangan dari PT RBT bernama Wendri.
Hanya saja saat itu Acau mengaku tak mempedulikan kemana lagi bijih timah itu dikirim Wendri setelah selesai melakukan jual beli.
"Kalau timah itu sudah dijemput kita gak ada urusan lagi timah itu mau dijual kemana," pungkasnya.
Sebagai informasi, dalam perkara ini Harvey Moeis secara garis besar didakwa atas perbuatannya mengkoordinir uang pengamanan penambangan timah ilegal.
Atas perbuatannya, dia dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP terkait dugaan korupsi.
Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Smelter berubah dari IUJP ke SHP
Diketahui perusahaan smelter berubah dari Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) menjadi program Sisa Hasil Pengolahan (SHP).
Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan Kepala Bidang Perizinan dan Pelaporan (P2P) PT Timah Budi Hatari.
Budi menyebut kemitraan dengan perusahaan smelter berubah dari IUJP menjadi SHP.
Hal itu disampaikan Budi saat memberikan kesaksian dalam persidangan perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).
Budi diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Reza Pahlevi, Emil Emindra, dan MB Gunawan.
Budi mengatakan kemitraan perusahaan smelter PT Timah hanya ada PT Refined Bangka Tin pada 2018 silam.
Kemudian bertambah dengan bergabungnya CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
"Jadi bentuk kerja sama smelter itu prinsipnya adalah semua material itu harus berasal dari IUP PT Timah. Semua itu berasal dari Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP). Kemudian pasir yang dihasilkan oleh PT Timah diserahkan ke smelter yang kita sewa untuk dilebur menjadi barang setengah jadi. Itu konsep awalnya," jelas Budi di persidangan.
Kemudian jaksa menanyakan bagaimana fakta yang berjalan.
"Fakta yang terjadi justru kami rapat dipanggil oleh Direktur Operasi Produksi (PT Timah) Alwin Albar untuk membuat SOP terkait dengan mitra borongan pengangkut sisa hasil pengolahan," kata Budi.
"Di situ saya dengan kepala P2P sempat mempertanyakan hal tersebut kepada Direktur Operasi (Alwin Albar) karena tidak sesuai dengan konsep awal. Bahwa jasa pertambangan berubah menjadi sisa hasil pengolahan," terangnya.
Kemudian jaksa menanyakan itu saja apakah ada hal lain yang diubah dalam SOP tersebut dan dalam bentuk apa diterbitkan.
"Jadi prinsipnya PT Timah membuat mitra pengangkutan untuk mengangkut material sisa hasil pengelolaan yang akan menjadi supply ke smelter yang disewa untuk dilebur," kata Budi.
"Prosesnya adalah kita menyiapkan apa-apa yang perlu disiapkan. Karena dalam pelaksanaannya akan dikeluarkan Surat Perintah Kerja (SPK) oleh unit produksi," jelasnya.
Namun, kata Budi, dalam pembuatan itu dirinya juga mempertanyakan siapa-siapa mitra-mitra yang akan menjadi mitra pengangkutan.
"Terus terang saat itu kita tidak ada rencana sama sekali dalam divisi P2P untuk membuat mitra borongan. Karena kita saat itu sudah punya mitra jasa borongan, kita pikir itu cukup," tegasnya.
Jadi ditambah lagi dengan sebutan mitra pengangkutan, tanya jaksa di persidangan.
"Itu yang diminta Pak Alwin karena beliau mengatakan mitra-mitra ini akan menyuplai ke smelter," kata Budi.
"Jadi sudah dikatakan Alwin Albar SOP ini sebelum diterbitkan. Sudah diketahui ada yang bakal menjadi mitra pengangkutan," jelas jaksa.
"Betul," jawab Budi.
Seperti diketahui dalam perkara ini Helena telah didakwa oleh Jaksa dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-1 KUHP terkait dugaan korupsi.
Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.
(Bangkapos.com/Vigestha Repit/Tribunnews)
Perjalanan Kasus Bos Timah Bangka Hendry Lie Hingga Tetap Divonis 14 Tahun dan Bayar Rp 1,05 T |
![]() |
---|
Peran Fandy Lingga Adik Bos Timah Bangka Hendry Lie Dalam Kasus Korupsi Timah, Dituntut 5 Tahun |
![]() |
---|
Profil Riza Pahlevi Eks Dirut Timah yang Tetap Jalani Hukuman 20 Tahun Penjara, Kasasinya Ditolak MA |
![]() |
---|
Helena Lim Tetap Dihukum 10 Tahun Penjara dalam Korupsi Timah Rp 300 Triliun |
![]() |
---|
Kasasi Harvey Moeis Ditolak MA, Suami Sandra Dewi Tetap Jalani Hukuman 20 Tahun Penjara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.