Tribunners
‘Hoegeng’ dan Muruah Pemolisian Sipil
Publik tetap menyimpan optimisme dan menaruh harapan besar bahwa spirit reformasi Polri akan terus berjalan, terlepas cepat atau lamban prosesnya
Misalnya ada kasus demonstran mahasiswa yang mengalami kekerasan hingga kritis oleh oknum kepolisian, bahkan ada sejumlah jurnalis yang melakukan tugas reportase justru sampai cedera parah (Jawapos, 21, 22 & 25 Maret 2025; Kompas, 22/3/2025).
Belum lagi, berbagai kasus salah tangkap dan korban extrajudicial killing yang kerap terjadi (lihat YLBHI, 2019 & 2022-2023) bisa mencerminkan betapa lemahnya kapasitas investigatif dan kualitas kerja intelijen kepolisian kita. Ini tentunya tidak hanya merugikan supremasi hukum, tetapi juga berimplikasi pada lemahnya akuntabilitas kelembagaan Polri dan performa demokrasi kita.
Jika dihitung-hitung, diskursus reformasi Polri sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, setidaknya sudah lebih dari 20 tahun. Lalu muncul beragam kritik ketidakpuasan publik atas kinerja kepolisian dalam beberapa tahun terakhir di tengah terus menurunnya citra dan kredibilitas kepolisian kita. Aspirasi publik pun terus berkembang yang menghendaki adanya perbaikan dan percepatan kualitas reformasi Polri, apalagi dengan porsi alokasi APBN yang sebegitu besar untuk Kepolisian RI yaitu mencapai Rp106 triliun (Kompas, 12/2/2025) atau nomor terbesar kedua setelah Kementerian Pertahanan pasca-penyesuaian kembali efisiensi anggaran.
Padahal, momentum tersebut juga bertepatan dengan makin melemahnya indeks nilai dan praktik berdemokrasi kita. Sebagaimana hasil kajian riset LP3ES yang menemukan betapa suram dan terjerembapnya demokrasi Indonesia salah satunya diikuti oleh makin menguatnya posisi polisi (Amnesti Internasional, 2020), sementara pada waktu bersamaan citra kepolisian kita terus mengalami penurunan.
Hal tersebut juga terkonfirmasi dari hasil riset Thomas Power (2020) yang mengungkapkan betapa jeblok dan merosotnya demokrasi kita dalam beberapa tahun belakangan. Bahkan rilis terbaru hasil lembaga riset Economist Intelligence Unit (EIU) di London mencatat Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2024 yang lalu turun tiga peringkat dan masuk kategorisasi negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy).
Tagline dan citra polisi yang melindungi, mengayomi, serta melayani masyarakat terus memunculkan ironi dan skeptisisme publik akibat makin merosotnya citra popularitas kelembagaan. Termasuk salah satunya jika mengacu pada Laporan Tahunan Komnas Hak Asasi Manusia Tahun 2020-2023, memperlihatkan posisi lembaga Kepolisian RI sebagai lembaga yang paling banyak diadukan publik terkait dugaan pelanggaran HAM. Berbagai kasus problematis yang dipotret dalam kajian tersebut yaitu akibat adanya praktik penanganan hukum yang tidak sesuai prosedur, tindakan penangkapan pelaku kejahatan yang tidak taat aturan, termasuk banyak tindakan kekerasan atau penyiksaan terhadap tersangka saat pemeriksaan. Selain itu, juga muncul tindakan kriminalisasi terhadap warga sipil, serta penyalahgunaan pemakaian senjata api ketika bertugas.
Fenomena merosotnya citra dan popularitas pemolisian publik dalam beberapa tahun terakhir memang tak berdiri sendiri. Tak juga semata-mata soal krisis etika dan dekadensi moral ‘oknum-oknum’ kepolisian kita. Bahkan, pengalaman di banyak negara maju yang demokrasinya telah berkembang stabil sekalipun, justru juga pernah mengalami fase-fase ‘suram’ terkait kultur dan praktik kepolisian mereka. Salah satu faktor pemicunya adalah bagaimana struktur politik dan hukum yang buruk justru acapkali menjadikan polisi terjebak di dalam ekosistem yang tidak sehat dan menyulitkan posisi mereka dalam menegakkan aturan hukum yang tegas, mendisiplinkan para oknum anggotanya yang korup, bertindak melawan hukum, atau bahkan mencederai nilai-nilai publik. Sebagaimana dikemukakan Erwin Partogi Pasaribu (Opini Kompas, 12/12/2024) bahwa jika pun polisi bukan organ politik, namun tindakan polisi dalam beberapa hal sangat tampak dipengaruhi oleh kehendak negara (baik DPR maupun Presiden).
Tantangan reformasi Polri tentunya tak sekadar problem struktural atau lemahnya rancang bangun tata kelola institusi kepolisian, namun juga ada problem kultural dan instrumental yang mesti diatensi secara serius. Tentu bukanlah perkara mudah untuk membongkar kultur dan praktik-praktik buruk selama ini yang sama sekali tidak mencerminkan institusi kepolisian sebagai institusi yang modern, demokratis, responsif- humanis, transparan, serta akuntabel.
Berbagai ikhtiar untuk memperbaiki citra popularitas sekaligus profesionalitas kepolisian terus dilakukan, termasuk salah satunya bagaimana model dan mekanisme pengawasan yang kuat. Walaupun, secara moral-politik, pengawasan yang ada selama ini masih dianggap problematis dan limitatif karena masih terbatasnya partisipasi publik bermakna dalam mengawasi kerja-kerja profesional kepolisian. Fungsi lembaga Kompolnas sebagai representasi publik selama ini kerap dianggap belum cukup memadai melakukan pengawasan karena dianggap terlalu normatif, tidak cermat dan bahkan kerap melakukan pembelaan terhadap kasus penyimpangan (LBH Jakarta dalam Tempo, 15/8/2022), sebagaimana tampak misalnya dalam kasus Ferdi Sambo cs beberapa waktu yang lalu.
Oleh karena itulah mengapa diperlukan betul spirit keteladanan dari setiap individu kepolisian, termasuk elite pimpinan di seluruh sektor kepolisian itu sendiri agar bisa jadi sosok contoh dan teladan yang patut diguru dan ditiru oleh semua jajaran di bawahnya. Bahkan, beberapa sosok jenderal di kepolisian daerah sudah jauh-jauh hari menginisiasi spirit keteladanan tersebut.
Beberapa di antara mereka misalnya ada dua sosok Kapolda Babel yang dalam dua tahun terakhir bisa jadi role model, misalnya ada sosok Irjen (Pol) Tornagogo Sihombing (2023), dan juga Irjen (Pol) Hendro Pandowo (2024- sekarang) yang begitu serius menggelorakan pentingnya sosok dan model kepolisian yang religius, punya sensitivitas sosial yang tinggi, hidup bersahaja, dan tidak suka hidup hedon dan pamer kemewahan di tengah-tengah warganya yang tak sedikit sebenarnya justru hidup susah menderita.
Akhirnya, tentu publik tetap menyimpan optimisme dan menaruh harapan besar bahwa spirit reformasi Polri akan terus berjalan, terlepas cepat atau lamban prosesnya, yang pasti publik akan selalu menantikan institusi Polri terus berikhtiar memperbaiki diri, dan insyaallah akan segera mendapatkan kembali kepercayaan yang luas dan dicintai publik warganya. Harapannya tentu setiap anggota Polisi mampu jadi teladan terbaik, baik di lingkungan keluarga, tetangga, dan tentunya di lembaga tempatnya mengabdi.
Perlulah ditiru sosok Hoegeng; polisi inspiratif, melegenda dan begitu dirindukan sosoknya hingga hari ini karena integritas serta kebersahajaan hidupnya yang rela hidup susah dan melarat ketimbang harus menerima suap gratifikasi, tawaran fasilitas kenyamanan, apalagi sekadar memperkaya diri sendiri. Bayangkan saja, semasa menjabat sebagai Kapolri (1968-1971), Jenderal Hoegeng masih berkenan ikut mengatur lalu lintas warga di perempatan jalan. Al-Fatihah untuk Hoegeng Iman Santoso. (*)
Rendy Hamzah
Hoegeng Iman Santoso
Tornagogo Sihombing
Hendro Pandowo
Universitas Bangka Belitung
Polda Babel
Memacu Pangkalpinang sebagai Kota Jasa, Perdagangan, dan Pariwisata |
![]() |
---|
200 Triliun untuk Bank BUMN: Dalam Persfektif Ekonomi Islam Benarkah Menjadi Solusi? |
![]() |
---|
Perundungan di Sekolah, Antara Konflik Wajar dan Kekerasan Terselubung |
![]() |
---|
Dari Timah ke Talenta: Membangun SDM Bangka Belitung |
![]() |
---|
Di Balik Trauma, Ada Tumbuh: Menelusuri Faktor yang Mendorong Perawat Bangkit |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.