Tribunners
Fenomena Banyak Guru PPPK Gugat Cerai, Antara Hak Pribadi dan Tanggung Jawab Publik
Perceraian adalah hak pribadi setiap individu. Namun di sisi lain, ASN (PPPK) adalah figur publik yang diharapkan menjadi panutan dalam etika
Oleh: Tonghari - Penggiat Sosial
MUNCUL fenomena baru belakangan ini, banyak guru perempuan yang menggugat cerai suami setelah resmi diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Isu ini sekarang sedang menjadi sorotan di beberapa daerah di Indonesia. Secara umum, alasan utama terjadinya gugat cerai itu karena ketidakcocokan dan kemandirian finansial setelah menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Menimbulkan keprihatinan di tengah masyarakat. Di satu sisi, perceraian adalah hak pribadi setiap individu. Namun di sisi lain, ASN (PPPK) adalah figur publik yang diharapkan menjadi panutan dalam etika dan perilaku sosial.
Yang menjadi sorotan adalah suami-suami ini justru dikenal sebagai sosok yang setia mendampingi istri mereka selama proses panjang perjuangan, baik secara emosional, spiritual, maupun finansial.
Anehnya, perceraian ini terjadi bukan di tengah kondisi krisis, melainkan justru saat kehidupan ekonomi dan sosial mulai membaik. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa momen yang semestinya dirayakan sebagai buah perjuangan bersama malah menjadi awal perpisahan?
Tidak sedikit pemerintah daerah yang mencatat lonjakan angka gugatan cerai yang diajukan oleh ASN dalam beberapa tahun terakhir. Yang menarik, mayoritas gugatan berasal dari pihak perempuan. Alasan yang mendasari pun beragam: perselingkuhan, ketidakcocokan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya, karena suami sering bermain judi online alias judol sehingga istri yang berprofesi sebagai ASN tidak tahan untuk membayar utang secara terus-menerus. Lalu, karena sering terlibat perselisihan antara suami istri.
Akan tetapi, paling banyak yang menjadi penyebab perceraian kalangan ASN terjadi dikarenakan kurangnya komunikasi. Keduanya saling sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga adanya miskomunikasi antara suami istri. Kesulitan dalam berkomunikasi, baik secara verbal maupun emosional dapat menciptakan jarak antara pasangan dan membuat mereka merasa tidak dipahami.
Sebagai warga negara, ASN tentu memiliki hak yang sama dalam kehidupan pribadi, termasuk hak untuk mengakhiri pernikahan yang tidak sehat. Namun, status mereka sebagai abdi negara membawa tanggung jawab moral dan etik yang lebih besar dibanding masyarakat umum. ASN bukan hanya pelayan publik dalam hal administrasi, tetapi juga menjadi simbol ketertiban sosial.
Sebagai aparatur negara, ASN tidak hanya dituntut profesional secara administratif, tetapi juga harus mencerminkan nilai integritas, tanggung jawab, dan keteladanan sebagaimana tercantum dalam UU ASN Nomor 5 Tahun 2014.
Hal ini tercermin dalam peraturan kepegawaian. Berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 1990, setiap ASN yang hendak bercerai wajib mengajukan izin atau setidaknya memberitahukan kepada atasan. Tujuannya bukan untuk mencampuri urusan rumah tangga, melainkan untuk menjaga tata tertib organisasi dan mencegah dampak negatif terhadap kinerja pegawai.
Realitas sosial dan beban ganda
Tak bisa dimungkiri, kehidupan ASN masa kini dihadapkan pada tekanan sosial dan ekonomi yang kompleks. Tuntutan profesional yang tinggi, beban kerja yang berat, serta ketimpangan peran gender dalam rumah tangga sering kali menjadi pemicu retaknya hubungan suami istri.
Dalam kasus pegawai perempuan, kemandirian ekonomi justru menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberi kebebasan. Di sisi lain, menimbulkan konflik dalam rumah tangga yang masih kental dengan budaya patriarkis.
Selain itu, perkembangan media sosial, gaya hidup konsumtif, dan mudahnya akses terhadap hubungan di luar pernikahan memperburuk keadaan. Pegawai yang seharusnya menjadi teladan justru terjerumus dalam konflik moral yang berdampak luas.
Pemerintah tidak bisa hanya bersikap reaktif dengan menjatuhkan sanksi administratif bagi ASN atau PPPK yang bercerai tanpa izin. Perlu pendekatan yang lebih progresif dan humanis. Misalnya, dengan menyediakan layanan konseling keluarga, bimbingan rohani, serta forum diskusi internal tentang etika rumah tangga dan kehidupan sosial pegawai.
| Membangun Ekonomi Hijau yang Tangguh: Strategi ESG untuk Keberlanjutan di Bangka Belitung |
|
|---|
| Buku Catatan Kasus Siswa |
|
|---|
| Membangun Ekosistem Sekolah Inklusif yang Berkeadilan: Refleksi atas Praktik di SDN 4 Koba |
|
|---|
| Peran Strategis Humas dalam Mem-branding PTKIN di Era Digital |
|
|---|
| Penyiar Radio Lokal: Wajah Humanis Pemerintah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20250720_Tonghari.jpg)