Tribunners

Buku Catatan Kasus Siswa

Melalui buku catatan kasus siswa, siswa belajar untuk tidak lagi merundung siswa lainnya.

Editor: suhendri
Istimewa/Dok. Andre Pranata
Andre Pranata - Pendidik di SMPN 2 Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah 

Oleh: Andre Pranata - Pendidik di SMPN 2 Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah

SECARA teori, mungkin sudah banyak sekali yang paham terkait jenis-jenis perundungan atau apa yang disebut dengan perilaku perundungan. Namun secara praktik, kenyataannya tidak seindah teori tentang perundungan. Berita-berita mengenaskan terkait perundungan sudah sangat masif tersiar di segala penjuru negeri. Kasus perundungan justru paling banyak terjadi di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi pusat untuk mencegah perilaku merundung yang dilakukan oleh para penuntut ilmu.

Siswa sering merundung temannya yang memiliki kekurangan, menghardik latar belakang ekonomi, menghina kemampuan berpikir yang level berpikirnya tidak sama, membawa nama-nama orang tua serta mempermasalahkan yang seharusnya tidak penting. Seharusnya “generasi emas” tidak boleh dibangun dengan mentalitas perundung. 

Perilaku merundung itu bisa berasal dari banyak hal dan tempat. Mungkin bisa berasal dari rumah dan orang tua. Anak-anak sering dirundung di rumah karena kemampuan akademiknya yang kurang dari anak yang lain atau dari bentuk fisik yang kurang sempurna. Di lingkungan sosial juga anak-anak mengalami perundungan secara psikis, anak-anak yang fisiknya lebih besar dan lebih “sempurna” sering merundung anak lain yang dianggap memiliki kekurangan.

Hal itu tidak boleh terjadi. Orang tua harusnya menjadi orang pertama menerapkan pendidikan antiperundungan di rumah. Kalau orang tua saja menjadi pelaku perundungan, pasti anaknya juga menjadi pelaku perundungan ke lingkungan sosialnya. Perilaku merundung itu bisa saja menjadi dosa berkelanjutan bagi seseorang.

Selain di rumah, perundungan juga sering dilakukan di sekolah. Bahkan, yang menjadi pelakunya bukan hanya siswa, tetapi gurunya! Sungguh miris sekali jika seorang guru yang digugu dan ditiru menjadi pelaku perundungan terhadap siswa.

Untuk mengatasi dan mencegah perundungan di sekolah, harusnya buku catatan kasus siswa, terutama yang berkaitan dengan perundungan menjadi lampiran wajib yang harus diminta oleh sekolah penerima siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Sekolah sebelumnya juga harus menyiapkan secara lengkap buku catatan kasus siswa. Tujuannya adalah agar pelaku perundungan tidak lagi melancarkan aksinya di jenjang pendidikan berikutnya.

Melalui buku catatan kasus siswa tersebut, siswa yang memiliki rapor merah terkait perundungan dipanggil dan melakukan wawancara yang komprehensif dengan guru bimbingan konseling yang didampingi orang tua. Dengan begitu, jika siswa tersebut mengulangi kembali akan mendapatkan sanksi dan konsekuensi yang sepadan. Selain itu, bisa juga menjadi pertimbangan sekolah di jenjang pendidikan berikutnya untuk menerima pelaku perundungan dengan catatan buruk serta bisa melakukan langkah preventif terkait perilaku perundungan anak-anak.

Melalui buku catatan kasus siswa, siswa belajar untuk tidak lagi merundung siswa lainnya. Kasus perundungan di sekolah sudah dalam kondisi getir, apalagi hukumannya kurang tegas seperti hanya diminta meminta maaf saja. Kalau bisa, buku catatan kasus siswa dibuatkan tautan khusus di website sekolah, yang bisa mengakses hanya yang diberikan akses oleh guru bersangkutan termasuk pihak sekolah di jenjang pendidikan berikutnya. Jangan sampai pula dibuka untuk publik, takutnya menjadi bahan rundungan baru bagi siswa yang usil mengakses tautan tersebut. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved