Tribunners

Penyiar Radio Lokal: Wajah Humanis Pemerintah

Pelayanan publik yang humanis lahir bukan dari slogan, melainkan dari kehadiran yang konsisten dan kesediaan mendengar.

Editor: suhendri
Dokumentasi Abu Bakar
Abu Bakar, S.I.Kom. - Pemerhati Komunikasi Publik dan Media Daerah 

Oleh: Abu Bakar, S.I.Kom. - Pemerhati Komunikasi Publik dan Media Daerah

MALAM itu, di sebuah studio kecil di Pangkalpinang, seorang penyiar yang pendengar kenal sebagai Bujang Kudul menekan tombol on air. Suaranya mengalir tenang memecah malam: “Selamat malam Bangka Belitung. Tema kite malam ini: Biar dak jadi sarang nyamuk, kolong bekas timah dijadikan ape pradik?”

Satu lagu mengisi udara, lalu telepon berdering masuk. Ada buruh timah dari Belinyu, petani sawit di Labuh, nelayan bagan di Mentok, petani karet di Ranggung, dan peternak sapi di Lampur. Suara-suara dari berbagai
pelosok saling menyambung, membentuk percakapan hangat tentang kolong-kolong bekas tambang yang menunggu masa depan baru.

Studio kecil itu berubah menjadi ruang publik paling hidup malam itu. Di balik mikrofon, Bujang Kudul merasakan kepuasan yang sederhana namun penting: mengubah persoalan pascatambang yang kerap teknis menjadi percakapan egaliter yang memudahkan warga memahami konteks kebijakan. Di sana, pada momen yang tampak sederhana itulah sesungguhnya kepercayaan sedang dirawat.

Pelayanan publik yang humanis lahir bukan dari slogan, melainkan dari kehadiran yang konsisten dan kesediaan mendengar. Penyiar radio publik lokal memperlihatkan sisi pemerintahan yang sering tak tampak dalam struktur birokrasi—kemampuan membaca denyut kebutuhan warga, menjembatani keresahan, dan menyajikan informasi secara kredibel namun ramah. Mereka mengisi celah yang tidak dapat dipenuhi oleh mesin administrasi: celah kedekatan.

Dalam literatur komunikasi, Everett Rogers dan Shoemaker menyebut figur semacam ini sebagai opinion leader: orang-orang yang berpengaruh bukan karena jabatan, tetapi karena kredibilitas dan keterlibatan sehari-hari. Mereka memengaruhi penerimaan publik terhadap kebijakan karena mampu menerjemahkan bahasa teknokratis menjadi percakapan yang dapat dipahami warga. Di tengah agenda pembangunan daerah seperti ekonomi biru, hilirisasi timah, transformasi pertanian, dan perluasan layanan dasar, sosok seperti ini sesungguhnya merupakan aset strategis.

Namun selama ini, peran mereka kerap dilihat sebatas penyampai informasi. Padahal, talenta komunikasi yang mereka miliki—ketepatan memilih diksi, kepekaan terhadap emosi publik, dan kemampuan menjaga keaslian cerita—adalah fondasi penting bagi pemerintahan yang ingin mendekatkan diri kepada warganya.

Ketika pemerintah ingin menghadirkan narasi yang lebih manusiawi, kisah-kisah yang mereka dengar setiap hari sudah menjadi modal berharga: cerita petani kecil, nelayan yang bergulat dengan cuaca, pedagang pasar tradisional, atau warga pelosok yang tak tersentuh pemberitaan.

Jika pengalaman sehari-hari itu diolah menjadi konten publik—baik berupa berita humanis, video pendek edukasi, maupun percakapan radio yang terstruktur—maka wajah warga akan tampil lebih dominan. Dan ketika wajah warga tampil, wajah pemerintah pun tampil lebih dekat. Pemerintah tidak lagi dipandang sebagai institusi yang jauh, tetapi sebagai tetangga yang ikut mendengar.

Kekhawatiran bahwa membuka ruang bagi warga akan mengurangi popularitas pemimpin hanyalah bayangan lama yang tak relevan. Kepemimpinan yang memberi ruang justru lebih kokoh, karena ia bertumpu pada legitimasi sosial yang dibangun melalui dialog.

Steve Jobs pernah mengatakan bahwa penutur cerita adalah manusia paling berpengaruh. Para penyiar radio lokal telah menjalankan peran itu jauh sebelum kutipan tersebut populer: menjaga kewarasan publik, menghubungkan harapan warga dengan arah kebijakan, dan memastikan suara-suara kecil tetap terdengar.

Kini, ketika Bangka Belitung memasuki era kepemimpinan baru, terdapat momentum penting untuk melihat penyiar radio—khususnya mereka yang bekerja di Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) di daerah —sebagai mitra strategis. Radio bukan sekadar media. Ia adalah rumah adab. Di ruang siaran itulah warga belajar menyampaikan pendapat secara santun; di sanalah keharmonisan Melayu–Tionghoa tumbuh tanpa perlu retorika berlebih. Keakraban itu dibangun bukan oleh kampanye, tetapi oleh percakapan yang terjadi setiap hari.

Pemerintah daerah memiliki peluang untuk menata ulang wajah pelayanannya: menghadirkan gaya komunikasi kebijakan yang lebih terbuka, empatik, dan partisipatif. Ini bukan sekadar strategi komunikasi publik, melainkan refleksi dari nilai kepemimpinan itu sendiri. Pemerintahan yang humanis dimulai dari teladan untuk mendengar sebelum berbicara, merangkul sebelum mengarahkan.

Perubahan besar sering kali berawal dari hal yang tampak sepele—dari suara penyiar yang setiap malam mengudara, membangun jembatan kecil yang memperbaiki hubungan antara pemerintah dan rakyatnya. Jembatan kecil itulah yang, bila dirawat, dapat menjadi fondasi bagi kepercayaan publik yang lebih kuat.

Akhirnya, para pemimpin baru Bangka Belitung memikul tanggung jawab sejarah. Mereka akan dikenang bukan oleh seberapa besar panggung yang mereka bangun, melainkan oleh seberapa dalam mereka menghargai suara warganya. Kita tidak memerlukan drama atau pencitraan berlebih. Yang dibutuhkan adalah ruang bagi warga untuk ikut melukis sejarah pemerintahannya. Dari suara-suara kecil itulah wajah paling humanis dari sebuah kepemimpinan lahir. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved