Opini

Jalan ke Pendidikan Harus Terus jadi Inspirasi dan Spiritualitas

Murtadha Muthahhari mensinyalir bahwa salah satu fitrah manusia adalah pendidik bagi dirinya sendiri. Ada dua perspektif yang dipakai

Editor: Hendra
ISTIMEWA
Masmuni Mahatma, Ketua Tanfidziyah PWNU Babel dan Kabiro AAKK UIN Imam Bonjol Padang 

JALAN (KE) PENDIDIKAN

Oleh Masmuni Mahatma
Ketua Tanfidziyah PWNU Babel dan Kabiro AAKK UIN Imam Bonjol Padang

Murtadha Muthahhari mensinyalir bahwa salah satu fitrah manusia adalah pendidik bagi dirinya sendiri. Ada dua perspektif yang dipakai dalam konteks ini. Pertama, manusia dikategorikan makhluk yang telah memiliki “anugerah” lebih produktif dan sering kali dinamis ketimbang makhluk lain di muka bumi.

Kedua, manusia adalah jenis maujud yang bebas merdeka dan selalu memiliki kehendak atau kemauan (1996 : 37-39). Terlebih, lanjut Muthahhari, manusia sama sekali berbeda dengan hewan yang terus didik orang lain. Di sini letak momentum dan ruang ideal dimana Allah sedari awal telah “mengamanahkan” akal (pikiran) kepada manusia.

Dalam pandangan Ibn Miskawaih (1998 : 41-42), mansusia merupakan konsep yang elastis, “maujud” yang kompleks, persona yang memesona, dan makhluk sosial yang teramat potensial. Jauh di balik itu, terang Miskawaih, manusa sejatinya adalah makhluk Pilihan Tuhan.

Keberadaan manusia ditentukan oleh cara berpikirnya, pola mendesain, seni menjahit, dan mengartikulasi tarikan maupun tanjakan realitas kehidupan. Dari dan untuk cara pikirnya, manusia diandalkan mampu mengenali fenomena sekaligus realitas dengan penuh kesadaran dan kemaslahatan.

Sehingga ia terus memiliki kepekaan terhadap syarat-syarat substansial untuk mengaktualisasikan sosio-kehidupan pada takaran mikro, makro, parsial dan juga universal. 

Pikiran, seperti kata Sang Buddha, adalah pelopor dari segala sesuatu. Pikiran ialah pemimpin dan pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikuti, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Tetapi jika seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, kebahagiaan akan mengikuti bagai bayang-bayang tak pernah meninggalkan bendanya (2001 : 5).

Melekat dan mempunyai urgensitas esensial sedemikian nyata. Ini senapas dengan persepktif Ibn Miskawaih, bahwa manusia bisa berbahagia tergantung dari pola berpikir yang diejawantahkan seturut berkehidupan. Sehingga Pikiran manusia, kata Miskawaih, adalah kunci “eksistensinya” sendiri dan menentukan arah kebajikan yang ditransformasikan (Ibn Miskawaih, 1998 : 42).

Perilaku Manusia

Jauh di era lampau, Sang Filosof Besar, Plato, telah menancapkan sentuhan paradigmatik bahwa perilaku manusia rata-rata mengalir dari tarikan keinginan, emosi, dan konstruksi pengetahuan (pikiran) yang dimiliki. Melalui ketiga alur dan jalur ini, masih kata Plato, eksistensi setiap manusia akan terus bertumbuh, berkembang, hingga mengalami pasang surutnya.

Terutama dalam konteks pengetahuan, sebagaimana perspektif Ibn Miskawaih di atas, senantiasa lekat atau identik dengan kualitas daya pikir yang dimiliki. Untuk mengasah daya aktif pikiran dan energi pengetahuan, manusia dianjurkan mesti mempelajari sekaligus menempuh rute sosial akademik. 

Dalam tradisi filsafat, sering kali terdengar bahwa manusia termasuk jenis homo sapiens. Makhluk berakal budi. Salah satu keunggulan manusia dibandingkan makhluk lain yang sama-sama diciptakan Tuhan. Dari akal budi, eksistensi dan martabat manusia akan selalu terjaga dan digjaya.

Namun demikian, akal budi bukan semata berkait dengan pikiran atau pengetahuan. Akal budi itu tidak bisa dipisahkan pula dari perilaku, tindakan, aktualisasi dari pikiran (pengetahuan) yang dipunyai manusia. Persis seperti ditegaskan Plato, filsafat saja tidak sekadar berkait dengan pikiran (pengetahuan), akan tetapi erat kaitanya dengan pola maupun mentalitas memaknai dan menggapai kehidupan dengan etik.

Berangkat dari kesadaran Platonik ini, perilaku manusia patut dikenali, diteliti, ditelaah, dan diinternalisasi berbasis pikiran (pengetahuan). Sehingga daya pikir dan energi pengetahuan manusia berakal budi, akan tertata dan terarah. Stabil untuk terus menerus menakar eksistensi dan mampu mengawal spirit etik berkemanusiaan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved