Opini

Pulang Sebagai Sarjana

gelar sarjana itu tidak didapat secara gratis. Bukan juga “hadiah” cuma-cuma dari kampus yang selama ini ia jadikan “rumah” menempa diri secara ..

Istimewa/ Masmuni Mahatma
Masmuni Mahatma, Ketua Tanfidziyah PWNU Kep. Babel dan Kabiro AAKK UIN Imam Bonjol Padang 

Oleh: Masmuni Mahatma, Ketua Tanfidziyah PWNU Kep. Babel dan Kabiro AAKK UIN Imam Bonjol Padang

DI hari kedua pelaksanaan wisuda ke-94 UIN Imam Bonjol Padang, 28 Oktober 2025, Rayno Oktavery, Fakultas Syariah, Prodi Hukum Keluarga, yang didapuk menyampaikan pesan kesan atasnama perwakilan wisudawan, dengan lantang menyatakan, “mari semua pulang layaknya sebagai sarjana. Ya, kita harus pulang sepatutnya sarjana.” Pesan ini cukup menukik dan optimistik. Rayno sepertinya bahagia menyandang gelar sarjana. Tidak ada keraguan dalam diri Rayno, bahwa sarjana adalah tetap sarjana. Title kualitatif-akademik yang diimpikan banyak mahasiswa. 

Tampak sekali Rayno sadar gelar sarjana itu tidak didapat secara gratis. Bukan juga “hadiah” cuma-cuma dari kampus yang selama ini ia jadikan “rumah” menempa diri secara akademik. Gelar sarjana ini, kata Rayno, selaku bagian dari yang baru dilantik oleh Rektor, sejatinya merupakan pusaka yang diraih melalui kejuangan penuh lika-liku, suka duka, dan keringat hidup sedemikian kental. Apalagi, tegas Rayno, di kampus UIN Imam Bonjol ini, dosen-dosen tidak semata membedah mata kuliah bersamanya, melainkan juga memberikan sentuhan, nasihat, dan edukasi etik sebisa yang mereka lakukan. Tapi, lanjut Rayno, semua itu sangat berharga.

Selintas, Rayno bertekad mengajak sahabat-sahabat yang mulai jadi alumni UIN Imam Bonjol Padang ini agar senantiasa memaknai dan menginternalisasi apa yang didapat selama masa studi sebagai “bekal bergizi” untuk pulang tanpa ragu. Dari bekal ini mereka mesti mengukur suhu diri dan tensi (pengetahuan) akademik. Sehingga tidak salah langkah membaur di tengah-tengah masyarakat. Terlebih bekal yang dimiliki belum tentu paket komplit dari aspek materi, teknis, dan substansi. Ini baru tangga awal pengembangan kapasitas diri dalam konteks budaya akademik. Wajar di akhir paparannya, Rayno masih berharap kepada Rektor agar ada kesempatan lanjut S2 sampai selesai.

Menjadi Sarjana

Dalam pengertian sederhana dan lumrah, sarjana merupakan predikat yang dilekatkan pada tiap-tiap diri yang telah lulus menjalani program (studi) akademik di sebuah lembaga pendidikan tinggi. Mereka menempuh kejuangan dan ujian dengan tahapan-tahapan formal-ilmiah. Ada pula yang menegaskan sarjana itu title akademik yang diberikan terhadap pribadi yang dipandang memiliki kemampuan, kecakapan, keahlian suatu bidang pengetahuan tertentu secara teoritis dan berbasis riset. Meskipun menurut sebagian besar pendidik, kecakapan dan keahlian teoritik mereka masih taraf dasar dalam perspektif ilmiah. 

Untuk menjadi sarjana, siapa pun terlebih dahulu mesti mengikuti proses administratif dan kualitatif akademik. Menjalani dan menyelami perkuliahan secara teratur serta terukur. Bukan ujug-ujug. Beradaptasi dengan semangat dan orientasi kultur sekaligus hirarki “ilmiah.” Jenjang sarjana dasar atau Strata 1 (S1) tentu berbeda dengan jenjang magister (S2) maupun jenjang doktoral (S3). Bukan hanya tentang ranah masa perkuliahan, melainkan juga dalam konteks materi, substansi, dan strategi pengembangan disiplin ilmu pengetahuan. Strata 1, seperti dimafhumi, adalah ruang pembekalan awal pengenalan dan pemompaan disiplin ilmu pengetahuan. Kerja teoritik level ini, tak lebih sebagai “adopsi” dan “cerminan.”

Di sisi lain, tak sedikit pemerhati sosial pendidikan mensinyalir, bahwa sarjana bukan sekadar mengikuti semesteran berdasar waktu yang telah ditentukan dan ditetapkan sebuah institusi kemudian diakhiri dengan wisuda. Tahapan ini tampak lebih diwarnai hal-hal administratif, bukan seutuhnya mekanisme substantif. Maka siapa saja yang diwisuda tidak otomatis menjadi manifestasi etik dari cita-cita, orientasi, dan misi luhur kesarjanaan. Namun demikian, meski semata administratif, proses legal ini harus dituntaskan. Sebab ia merupakan salah satu alat ukur normatif yang tidak bisa diabaikan. Tak heran jika mahasiswa-mahasiswi cukup merasakan kejuangan yang tidak pernah ringan dalam konteks ini.

Baju wisuda dan toga, memang hanya simbol. Pemindahan tali berjambul juga simbol. Pelaksanaan acara wisuda pun simbol. Akan tetapi simbol yang memiliki dimensi sakralitas, kapabilitas, kapasitas, dan kualitas terkait kesarjanaan. Simbol integrasi intelektualitas dan kredibilitas. Simbol yang benar-benar akan menjadi konstruksi dari perspektif ilmiah di lingkungan institusi. Simbol yang nilai-nilai luhurnya, melekat dalam akuntabilitas institusi itu sendiri. Simbol yang kelak ikut menentukan apakah sarjana-sarjana yang dilahirkan mampu memberikan kontribusi nyata demi menyuguhkan jalan keluar terhadap kemelut sosial kemasyarakatan. Atau sebaliknya, justru menyisakan beban moral akademik di hadapan publik. 

Tugas Utama

Tugas utama sebagai sarjana atau strata 1 adalah mensyukuri proses. Ini tidak pernah ringan dan instan. Proses selalu mempunyai dinamika sendiri. Namanya juga proses, tidak lurus terus. Sering kali tiba-tiba belok kanan dan kiri, menanjak dan turun, meruncing dan terjal, terasa sesak dan longgar. Itulah proses, penuh warna dan tarikan. Namun mengabaikan proses, tentu tidak dimungkiri bisa-bisa melahirkan problematika yang tak terduga. Dari mensyukuri proses, pola pikir, tipe laku, dan orientasi diri tiap sarjana akan terlihat terutama oleh dirinya sendiri. Sebab proses kadang tidak “membohongi” hasil atau capaian.

Dengan mensyukuri proses, maka corak, mentalitas, karakteristik, dan kualitas intelektualitas maupun moralitas akademik seorang sarjana dapat dicerna sekaligus dikenali. Terlebih sarjana yang ditumbuk, ditempa, dilahirkan, dan didandani di lingkungan institusi berbasis agama seperti Institute Agama Islam Negeri (IAIN) atau Universitas Islam Negeri (UIN). Sebab kepekaan mensyukuri proses, mengindikasikan otoritas imani seorang sarjana terhadap eksistensi diri maupun hidmah atas kedua orang tua dan sanak saudara serta tenaga pendidik yang selama ini “mengasuh” sekaligus “mendampingi” dalam kejuangan akademik. 

Di luar itu, menghitung dan mengukur ulang ketersediaan bekal maupun komitmen intelektualitas masing-masing. Teori-teori yang diselami, digeluti, dan dimesrai sepanjang perkuliahan, tidak akan seluruhnya “harmoni” dengan realitas sosial masyarakat. Tapi bukan berarti tidak mempunyai keterkaitan apalagi manfaat. Hanya perlu menakar tensi dan urgensitas bilamana hendak “dikawinkan” cepat dengan aspirasi dan kebutuhan primer atau keperluan skunder umat. Lebih-lebih, sebagian besar semangat teoritik-akademik juga beranjak dari fenomena dan konstruksi realistik di tengah sosial kehidupan publik. Bukan seratus persen berdiri sendiri. 

Sekira dua hal ini, minimal, dioptimalisasi secara paradigmatik-produktif, siapa saja yang baru diwisuda itu akan pulang sebagai sarjana potensial. Mereka cepat akan dijadikan “rujukan” dan “panutan.” Mereka bisa berdiri dengan kepala tegak dan kaki yang bersahaja. Mereka mampu mengakrabi problematika sosial dengan romantis. Mungkin saja langsung dikategorikan atau dinobatkan layaknya harapan dan “solusi empatik.” Namun sebaliknya, bila hal ini diabaikan, pelan tapi pasti sarjana-sarjana itu akan mendapatkan “ujian kontradiktif.” Mereka akan dicap sebagai “pengobral teori,” tapi tidak memiliki etos menyelami dan memaklumi realitas. Ujungnya, sarjana itu bisa-bisa hanya “frustasi” dan merasa tak berarti. Naudzubillah! (*/E1)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved