Tribunners
HUT Ke-10: Santri, Kiai, dan Pesantren
Pesantren tidak hanya melahirkan orang orang berilmu, tetapi juga pribadi yang berjiwa sosial, cinta tanah air, dan berakhlak mulia
Perspektif sejarah, Nurcholish Madjid, (1997: 3) menyebut bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, namun ia mengandung makna keaslian Indonesia (indigenuos). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Buddha sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.
Selain itu Amin Abdullah (1995: 30) menyatakan bahwa lembaga pesantren merupakan karya budaya yang besifat indigenous (asli) Indonesia, ataukah model kelembagaan Islam yang diimpor dari Mesir seperti yang diisyaratkan oleh Martin Van Bruinessen, tidak menjadi soal, yang jelas bahwa peran kelembagaan pesantren dalam meneruskan tradisi keilmuan Islam (klasik) sangatlah besar.
Zamachsyari Dhopier (1984: 3) menambahkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam yang sejak ratusan tahun yang lalu menjadi tempat belajar, memahami dan mengamalkan ajaran agama sebagai pedoman hidup dengan titik tekan aspek moralitas telah menjadi bagian dari sistem kehidupan umat Islam yang telah mengalami penyesuaian dan perkembangan.
Abdurrahman Wahid (2001: 19) mendefenisikan pondok secara teknis yaitu tempat di mana santri tinggal. Menurut Mahmud Yunus (1996: 231) mendefenisikan pondok sebagai tempat santri belajar agama Islam. Adapun Abdurrahman Mas’ud (2004: 25) mendefenisikan pondok yaitu; Refers to a place where the santri devotes most of his arrange her time, to live in acquire knowledge”.
Apa pun definisinya tentang santri, kiai dan pesantren dengan segala keunikannya itu tetaplah menjadi menarik bagi kalangan masyarakat Indonesia. Pesantren sebagai centrum aktivitas santri dan kiai memiiki relasi dan relevansi yang kuat dengan masyarakat secara luas. Sebagaimana yang terjadi di Pulau Bangka, bersuku Melayu, beragama Islam dengan kepatuhan menjalankan agama dan keyakinannya menjadi asbab ketertarikan masyarakat untuk menjadi santri di berbagai pesantren. Beberapa hal yang menjadi indikasinya sebagaimana berikut:
Pertama, ada pengaruh tradisi pola Islam tradisional masyarakat Bangka Belitung dalam sistem keyakinan, ibadah, tasawuf, dan adat sehingga memperkuat motivasi dan kemauan untuk memperdalam ilmu agama Islam. Kedua, pengaruh tradisi belajar masyarakat Bangka Belitung melalui lembaga ngaji duduk yang telah berlangsung lama sampai sekarang masih eksis dilakukan.
Ketiga, adanya ikatan emosional dan sosial keagamaan masyarakat Bangka Belitung yang kuat serta sikap ta’zhim (penghormatan) terhadap keluhuran budi guru-guru yang mengajar telah menempati hati masyarakat. Keempat, masyarakat senantiasa melestarikan sanad keilmuan atau jaringan intelektual dengan guru-guru yang belajar di kota suci Makkah dan Timur Tengah sehingga kuat semangat mereka untuk tetap menuntut ilmu agama.
Kelima, bahwa kiprah pimpinan, ustaz, santri, dan alumni pada bidang sosial keagamaan di tengah masyarakat telah menarik hati orang tua dan menjadi suri teladan bagi anak-anak sehingga menjadi daya tarik untuk masuk ke pesantren. Keenam, sikap kemandirian, kesederhanaan, tanggung jawab, ibadah, semangat, toleransi, sabar, patuh, sikap menghormati dan budaya saling tolong menolong dari para santri menjadi faktor penting pemikat masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren.
Ketujuh, prestasi santri dan output lulusan pesantren yang berkualitas dapat bersaing dengan pesantren di luar provinsi ini menjadi tolok ukur masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di pesantren. Kedelapan, penerapan sistem pendidikan pondok pesantren baik tradisional, modern dan atau kombinasi menjadi pilihan dan alternatif bagi orang tua.
Kesembilan, adanya kepercayaan masyarakat bahwa pondok pesantren di Bangka Belitung adalah salah satu tempat yang tepat bagi anak-anak mereka untuk menuntut ilmu agama Islam serta sebagai benteng penguatan akidah, akhlak, dan perilaku terpuji. Kesepuluh, adanya keyakinan masyarakat bahwa lingkungan pondok pesantren menjadi tempat yang lebih aman untuk pendidikan akhlak, menjaga sikap dan tingkah laku anak yang jauh dari kenakalan, narkoba dan lain-lain.
Terakhir bahwa santri, kiai, dan pesantren ibarat tiga mata rantai yang tak terpisahkan dalam bangunan peradaban Islam di Nusantara. Santri adalah penimba ilmu dan penjaga adab, kiai adalah guru, teladan, dan penuntun rohani, sedangkan pesantren menjadi ruang suci tempat ilmu, akhlak, dan tradisi diwariskan secara turun-temurun. Kini, tantangan zaman senantiasa berubah, tetapi nilai yang dijunjung tetaplah sama yaitu keikhlasan dalam belajar, ketulusan dalam mengajar, dan kesederhanaan dalam hidup. Pesantren tidak hanya melahirkan orang orang berilmu, tetapi juga pribadi yang berjiwa sosial, cinta tanah air, dan berakhlak mulia. (*)
| Pembangunan Smelter Timah Babel: Klaim 70 Persen Tenaga Lokal, Manajemen SDM atau Sekadar Angka? |
|
|---|
| Renungan HUT Ke-25 Bangka Belitung |
|
|---|
| Menelisik Eksistensi De Tobs Band Toboali dalam Perkembangan Musik Babel |
|
|---|
| Refleksi Sejarah 317 Tahun Toboali dalam Trilogi 3H "Hekaban, Hekawan, Heberuyot" |
|
|---|
| Merdeka dengan Iman, Maju dengan Ilmu, Beradab dengan Teknologi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.