Tribunners

HUT Ke-10: Santri, Kiai, dan Pesantren 

Pesantren tidak hanya melahirkan orang orang berilmu, tetapi juga pribadi yang berjiwa sosial, cinta tanah air, dan berakhlak mulia

Editor: suhendri
Dokumentasi Subri Hasan
Dr. Subri Hasan, M.S.I. - Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah IAIN SAS Bangka Belitung 

Oleh: Dr. Subri Hasan, M.S.I. - Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah IAIN SAS Bangka Belitung

SANTRI (Semangat Amal Niat Tulus Rajin Ibadah), begitulah saya membuat kepanjangannya. Sebagai salah seorang yang pernah nyantri (menjadi santri) pada sebuah pesantren modern di Ponorogo, Jawa Timur, tahun 1991-1996, lalu mengabdi di beberapa pondok pesantren mulai tahun 1996-2005, masa tersebut adalah fase di mana saya tidak hanya belajar, namun melakukan riyadhah (berlatih melawan nafsu), bertoleransi, rukun, dan memaknai hidup dengan membersamai santri lain dan para kiai.

Saat-saat tersebut pula saya merasakan bagaimana sosok kiai sebagai sentral kehidupan pesantren. Tidak hanya sekedar itunamun sebagai orang tua, penyejuk jiwa, penuntun doa, pembimbing sipritualitas, penentu arah kebijakan, sekaligus teladan dalam kesederhanaan. Melalui sosoknyalah para santri belajar memakna kata ikhlas, tidak berharap pujian, tepuk tangan atau jempol, bahkan ketika dunia luar mulai berubah oleh teknologi. Santri, kiai, dan pesantren tetap menjaga rohnya dengan kedisiplinan, kesopanan, dan keilmuan yang bersanad.

Memasuki era teknologi, wajah pesantren dan para kiai mulai mengalami transformasi. Jika dahulu pesantren hanya dikenal sebagai tempat tholabul ilmi, mendalami ilmu agama dan kitab kuning, kini pesantren tampil dengan wajah lebih dinamis. Kaum pesantren siap membuka diri terhadap teknologi, pendidikan formal, bahkan literasi digital. Bahkan sejumlah kiai dan santri aktif menulis buku, mengisi podcast, berdakwah di media sosial, hingga menjadi rujukan nasional dalam isu-isu kebangsaan dan keagamaan.

Meskipun demikian pada sisi lain, bahwa roh santri tetap melekat pada dirinya, dan bahkan di tengah perubahan zaman, pesantren tetap menjelma sebagai “rumah peradaban,” tempat di mana ilmu dan adab dipertemukan. Dengan demikian, kita menyadari bersama bahwa kesantrian tidak hanya berhenti saat turun dari masjid. Menjadi santri adalah proses panjang yaitu menjaga hati, memperbaiki niat, beramal ikhlas, menghormati ilmu, dan mencintai guru dan sesama. Bahkan setelah meninggalkan pesantren, roh itu bersemayam dan menyertai setiap langkah.

Semangat SANTRI (Semangat, Amal, Niat Tulus, Rajin Ibadah) tetap menjadi fondasi hingga saat ini. Ketika dunia seakan bergerak tanpa jeda, para santri, kiai, dan pesantren tetap berdiri tegak di garis peradaban sebagai penjaga agama, memaknai ilmu, serta menerangi jalan umat dengan cahaya kesederhanaan dan keikhlasan.

Sekarang ini, posisi santri dalam realitas sosial, pendidikan, dan perkembangan teknologi mengalami transformasi signifikan. Tradisi pesantren yang dahulu identik dengan kehidupan sederhana, disiplin ilmu agama klasik, dan keterpisahan dari dinamika modern, kini tampil lebih terbuka, adaptif, dan responsif terhadap tuntutan zaman. Santri tidak lagi dipahami hanya sebagai penuntut ilmu agama, tetapi sebagai generasi pembelajar yang diharapkan mampu menjembatani nilai-nilai spiritual Islam dengan realitas kehidupan modern.

Dengan peringatan Hari Santri Nasional di tahun 2025 ini, momentum penting bagi santri untuk tampil sebagai aktor perubahan (agent of change). Pertama, saat ini pendidikan pesantren telah menerapkan model kurikulum integratif yaitu memadukan kitab kuning dengan ilmu pengetahuan modern seperti teknologi informasi, kewirausahaan, lingkungan hidup, hingga diplomasi global. Dengan demikian, melahirkan santri yang tidak hanya alim dalam agama, tetapi profesional dalam setiap bidang sehingga siap bersaing pada skala nasional maupun internasional.

Kedua, peran sosial pesantren, terlihat santri saat ini makin aktif dalam ruang publik. Mereka hadir sebagai pendakwah digital, kreator konten edukatif, aktivis sosial, hingga penggerak ekonomi kreatif berbasis pesantren. Media sosial dan platform digital menjadi sarana baru dakwah bil hikmah (menyampaikan ajaran Islam secara santun, moderat, dan relevan dengan kebutuhan generasi muda). Fenomena ini membuktikan bahwa pesantren tidak lagi tertinggal dari arus teknologi, tetapi justru menjadi bagian dari ruang inovasi.

Ketiga, tantangan santri modern. Arus globalisasi membawa nilai-nilai baru yang kadang bertentangan dengan tradisi pesantren. Santri kemudian harus mampu menjaga identitasnya, yakni menjaga akidah, akhlak, dan adab. Gempuran budaya populer, liberalisasi pemikiran, dan derasnya informasi yang tidak selalu sejalan dengan moralitas Islam. Inilah kemudian yang membuat pesantren memperkuat pembinaan akhlak, literasi digital, serta penanaman nilai Islam wasathiyah (Islam moderat) agar santri tetap kokoh secara spiritual namun fleksibel dalam pemikiran.

Keempat, momentum peringatan hari santri ini pula meneguhkan lahirnya santri dengan semangat kemandirian ekonomi. Sejumlah pesantren mengembangkan unit usaha mandiri seperti koperasi, pertanian organik, percetakan kitab, hingga start up teknologi berbasis syari’ah. Pola ini menunjukkan bahwa santri bukan hanya konsumen pengetahuan, tetapi juga produsen gagasan dan inovasi. Beberapa aspek tersebut kemudian menegasikan bahwa santri adalah generasi yang mampu mengintegrasikan tiga kekuatan utama: spiritualitas yang mendalam, intelegensi yang kritis, dan kemampuan adaptasi terhadap teknologi dan dunia modern.

Diskursus tentang santri secara etimologi berasal dari kata “cantrik” (bahasa Sanskerta atau
mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Istilah ini kemudian dikembangkan oleh perguruan tinggi Taman Siswa dalam sistem asrama, yang disebut dengan pawiyatan. (Aguk Irawan M.N., 2018: 201).

Dalam bahasa Tamil, santri berarti guru mengaji, berasal dari kata shastri dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. (Zamakhsyari Dhofier, 1984: 4) Selain itu, makna santri juga dianggap gabungan dari suku kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong) sehingga pesantren berarti tempat mendidik manusia baik. (Manfred Ziemek, 1986: 99).

Selain santri bahwa unsur pertama adanya pesantren yaitu kiai atau pimpinan, sebagai figur sentral paling utama yang harus ada. Karena merupakan roh pergerakan pesantren sekaligus menjadi kurikulum kehidupan pesantren, sehingga ia harus ‘alim, wibawa, dan berkarisma. Kata kiai merujuk pada panggilan kepada pimpinan pesantren di Jawa, yang pada asal muasalnya panggilan kiai tersebut diperuntukkan kepada tiga jenis gelar yaitu;

Pertama, dipergunakan untuk gelar kehormatan pada barang- barang keramat, seperti kiai garuda kencana untuk penyebutan kereta emas di keraton Jogja. Kedua, dipergunakan untuk gelar kehormatan pada orang orang tua pada umumnya. Ketiga, dipergunakan untuk gelar yang diberikan kepada para ahli agama yang mempunyai pesantren serta mengajarkan kitab-kitab kuning kepada para santri. (Zamakhsyari Dhofier, 1984: 55). Karena gelar kiai tersebut, selain identik dengan seorang yang memiliki pesantren, biasanya juga adanya pengakuan masyarakat karena kealimannya dan juga ada garis keturunan secara genetika.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved