Tribunners

Mencari Solusi Pengelolaan Sampah di Kota Pangkalpinang

Jika dikelola dengan baik, sampah bukan lagi sumber masalah, melainkan sumber daya yang dapat memberi nilai ekonomi

Editor: suhendri
Istimewa/Dok. Jimmi Sofyan
Jimmi Sofyan, S.IP - Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Madya 

Oleh: Jimmi Sofyan, S.IP - Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Madya

PERMASALAHAN sampah merupakan isu lingkungan yang kompleks dan terus menjadi tantangan bagi pemerintah daerah di berbagai kota, termasuk Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung. Sebagai pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan sektor perdagangan telah berdampak langsung terhadap meningkatnya volume timbunan sampah. Kondisi ini menuntut adanya langkah strategis dan berkelanjutan dalam pengelolaan sampah agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan data yang ada pada dokumen Rencana Kerja Dinas Lingkungan Hidup Kota Pangkalpinang tahun 2024, perkiraan produksi sampah per hari adalah 185.873,57 kg. Jumlah sampah yang terangkut ke TPA kurang lebih 177.900 kg/hari, jumlah sampah yang diantar langsung ke TPA 7.137 kg/hari, jumlah sampah yang terkelola 3126,05 kg/hari, dan jumlah sampah yang tidak terkelola dan terangkut 510,52 kg/hari.

Selama ini, sistem pengelolaan sampah di Kota Pangkalpinang masih didominasi oleh pola konvensional, yakni pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Parit Enam. Pola tersebut cenderung tidak efisien karena menumpuknya sampah dalam jumlah besar di TPA, sementara kapasitas lahan makin terbatas. Apabila sistem ini terus dipertahankan tanpa inovasi, maka risiko pencemaran tanah, air, dan udara akan makin meningkat.

Diperlukan perubahan paradigma dalam mengelola sampah, dari yang semula berorientasi pada pembuangan menjadi berorientasi pada pengurangan dan pemanfaatan kembali. Pemerintah Kota Pangkalpinang perlu memperkuat program pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui edukasi pemilahan sampah dari sumbernya. Masyarakat harus didorong untuk memisahkan sampah organik dan anorganik sejak di rumah tangga. 

Sampah organik dapat diolah menjadi pupuk kompos, sementara sampah anorganik dapat disalurkan ke bank
sampah untuk didaur ulang menjadi produk bernilai ekonomi. Paradigma pengelolaan sampah yang berbasis masyarakat ini bisa menjadi alternatif dalam pengurangan dan penumpukan sampah. Pemerintah Kota Pangkalpinang bisa membuat program pengelolaan sampah berbasih masyarakat di setiap RT masing-masing. Pembentukan bank sampah di setiap RT.

Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta dan komunitas lingkungan sangat penting untuk memperluas cakupan pengelolaan sampah. Pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan pelaku industri untuk menerapkan prinsip extended producer responsibility (EPR), yakni tanggung jawab produsen terhadap limbah kemasan produk yang dihasilkan.

Di sisi lain, regulasi mengenai larangan penggunaan plastik sekali pakai perlu diperkuat agar kebijakan pengurangan sampah berjalan efektif. Inovasi teknologi juga dapat menjadi solusi jangka panjang. Penerapan konsep waste to energy atau pengolahan sampah menjadi sumber energi alternatif perlu mulai dipertimbangkan. Dengan dukungan investasi dan kajian teknis yang matang, Kota Pangkalpinang dapat menjadi contoh kota berwawasan lingkungan di tingkat regional.

Upaya penegakan hukum dan pengawasan terhadap perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan juga tidak kalah penting. Kesadaran dan kedisiplinan publik adalah fondasi utama keberhasilan program kebersihan kota. Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus berjalan seiring dalam mewujudkan Pangkalpinang yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, pengelolaan sampah bukan sekadar tanggung jawab teknis, tetapi juga cermin budaya dan peradaban suatu kota. Jika dikelola dengan baik, sampah bukan lagi sumber masalah, melainkan sumber daya yang dapat memberi nilai ekonomi sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan. Pangkalpinang dapat menjadi kota yang tidak hanya indah secara fisik, tetapi juga maju dalam kesadaran ekologis dan sosial — seimbang, sebagaimana filosofi angka lima yang melambangkan harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved