Tribunners
Pemuda dan Membangun Budaya Membaca
Pada hakikatnya, pemuda yang membaca hari ini adalah pemimpin yang lebih bijak di masa depan.
Oleh: Rusmin Sopian - Ketua GPMB Bangka Selatan
DI tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial, budaya membaca bisa menjadi sarana penting untuk membangun pengetahuan dan membentuk pola pikir kritis. Pemuda dikenal sebagai agen perubahan. Energi, kreativitas, dan idealisme mereka menjadikan pemuda sosok yang mampu menggerakkan masyarakat. Jika pemuda menjadikan membaca sebagai gaya hidup, maka budaya literasi tidak hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian.
Dan sejarah telah menuliskannya. Bung Karno dan Bung Hatta adalah potret pemuda Indonesia yang amat getol dalam membaca buku. Bung Hatta, sang proklamator, pernah berpesan, ”Aku rela dipenjara berulang kali asal ditemani buku, karena dengan buku aku merasa jadi manusia bebas.”
Tak heran bila koleksi buku Bung Hatta puluhan ribu. Dan koleksi bukunya terdiri dari berbagai jenis buku. Bukan hanya buku politik, pemerintahan, psikologi, namun beragam jenis buku lainnya, termasuk buku tentang kesehatan.
Sejak kanak-kanak, Soekarno mulai terlihat sebagai seorang kutu buku. Hobi membacanya ini kian menjadi-jadi kala ia tinggal bersama keluarga H.O.S. Tjokroaminoto untuk menjalani masa sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya.
Tak heran bila putri Bung Karno Rachmawati menyebut ayahnya kaya akan pengetahuan karena membaca. Bung Karno adalah seorang insan Indonesia pecinta buku tiada banding di zamannya. Segala macam buku, baik mengenai politik, sejarah, ekonomi maupun buku-buku tentang agama dan sosial lainnya, tidak luput dari intaian dan perhatiannya. Soekarno bahkan sempat dijuluki "hantu buku” karenanya.
Soekarno menjejali otak dengan gagasan-gagasan akbar tokoh-tokoh dunia Barat: Presiden Amerika Serikat seperti Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln. Gagasan-gagasan dari ahli-ahli pikir dunia Timur juga tak dia lewatkan. Soekarno mengagumi buah pikir Mahatma Gandhi, Jose Rizal, Sun Yat Sen, dan lain-lain.
Perjumpaannya dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo di Bandung menyeret Soekarno ke dalam dunia politik dan studinya menjadi keteteran. Pasca lulus tahun 1926, Soekarno kian serius berpolitik, namun ia tetap tulen melahap buku.
Ketika pada tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia diberangus dan Soekarno diasingkan oleh Belanda ke Pulau Ende dan Bengkulu, buku-bukulah yang membuat dirinya tetap waras, selain sanak keluarga yang ikut bersamanya.
Demikian pula para negarawan bangsa lainnya seperti Adam Malik, Syahril, BJ Habibie , Gus Dur, dan para tokoh bangsa lainnya menjadikan buku sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Tentunya dari semua narasi di atas, kita memahami betapa pentingnya membaca. Kebiasaan membaca harus menjadi bagian dari hidup dan kehidupan kita sebagai anak bangsa.
Pemuda yang gemar membaca tidak hanya memperoleh informasi, tetapi juga membangun perspektif yang lebih luas tentang dunia. Dengan membangun kebiasaan membaca sejak dini, mereka dapat menjadi agen perubahan yang dapat menginspirasi orang lain untuk turut serta dan berkontribusi dalam pembangunan gerakan budaya membaca.
Membangun budaya membaca adalah tanggung jawab bersama. Sebagai agen perubahan, pemuda memegang peran kunci. Dengan semangat dan kreativitasnya, pemuda dapat menyalakan obor literasi yang menerangi jalan bangsa menuju masa depan.
Membangun budaya membaca bukanlah hal instan. Dibutuhkan konsistensi, keteladanan, dan bahkan keberanian melawan arus budaya instan yang lebih memilih hiburan singkat daripada bacaan bermakna.
Di sinilah peran pemuda diuji apakah mereka mampu menjadi generasi yang tidak hanya menikmati informasi secara cepat, tetapi juga mau menyelami kedalaman makna dari setiap bacaan.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.