Tribunners
Kedekatan yang Diuji: Indonesia di Tengah Arah Baru Washington
Kedekatan dengan Washington harus dibaca sebagai bagian dari strategi adaptif, bukan pergeseran prinsipil.
Oleh: Bahjatul Murtasidin - Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
HAMPIR genap satu tahun pascadilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto telah membawa sejumlah perubahan penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia, terutama pada aspek pendekatan diplomasi luar negeri yang dijalankan di tengah lanskap global yang berubah secara cepat. Perubahan itu seolah menandakan siklus yang berulang. Mulai dominasi oleh satu negara (unipolar system), ke dominasi dua negera (bipolar system), dan sampai kepada dominasi banyak negara (multipolar system).
Di tengah arena yang multipolar dengan beragam aktor yang berperan saat ini, diplomasi yang dijalankan (terutama dengan Amerika Serikat) memperlihatkan arah baru diplomasi Indonesia yang lebih aktif, namun pragmatis yang berorientasi pada hasil.
Sejak awal pemerintahannya, Prabowo tampak memilih pendekatan diplomasi yang lebih pragmatis. Kedekatan personal Prabowo dan Trump misalnya, telah menghasilkan beberapa kesepakatan penting, seperti dalam hal pemangkasan tarif impor Amerika terhadap produk Indonesia dari yang awalnya 32 persen menjadi 19 persen, dengan konsekuensi Indonesia membuka akses bagi produk pertanian, energi, dan industri penerbangan AS.
Dalam kacamata diplomasi ekonomi, capaian itu memperkuat posisi Indonesia di pasar global sekaligus memperlihatkan kemampuan Jakarta membaca arah politik Washington melalui penguatan relasi strategis. Namun, pragmatisme semacam ini bukan tanpa risiko. Peluang pergeseran dari prinsip “bebas aktif” yang tidak menjadi satelit kekuatan mana pun menjadi “bebas menyesuaikan” juga terbuka sangat lebar di tengah godaan keuntungan jangka pendek dan tekanan geopolitik yang ada. Ketika keuntungan ekonomi jangka pendek karena tekanan geopolitik menjadi prioritas, maka politik luar negeri yang dijalankan bisa terjebak menjadi “bebas menyesuaikan.”
Di balik diplomasi yang tengah dijalankan itu, muncul pertanyaan penting yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Pertanyaannya adalah sejauh mana Indonesia dapat tetap memegang prinsip politik luar negeri bebas dan aktif di tengah kedekatan baru dengan Washington yang kini kembali dipimpin oleh Donald Trump?
Prinsip bebas aktif ini kembali diuji, apakah bertahan atau bergeser. Politik luar negeri yang sehat bukan hanya tentang menjalin relasi, tetapi juga tentang mempertahankan otonomi moral dan strategis. Selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara demokratis yang mampu menjembatani kepentingan negara-negara Utara dan Selatan, Barat dan juga Timur. Reputasi ini tentu harus dijaga agar tidak larut dalam gelombang populisme dan pragmatisme global yang kini mendominasi.
Kemandirian sebagai kunci
Walaupun dalam beberapa kesempatan terlihat kedekatan secara personal antara Prabowo dan Trump, dalam konteks diplomasi ekonomi, ia hanya akan bermakna jika diiringi dengan penguatan kapasitas dalam negeri. Hubungan yang setara tidak bisa dibangun hanya melalui gestur politik saja, tetapi juga harus melalui peningkatan kapabilitas dalam negeri.
Diplomasi luar negeri akan menjadi kuat jika lahir dari sebuah kemandirian bukan dari ketergantungan pada kekuatan asing/eksternal (salah satunya dengan Washington). Dunia saat ini tidak lagi diatur oleh satu kekuatan tunggal atau yang selalu di sebut unipolar system sebagaimana dalam beberapa dekade silam, melainkan telah begeser menjadi multipolar system, dan posisi strategis hanya bisa dijaga dengan kemampuan membaca arah geopolitik serta keberanian mengambil sikap mandiri.
Menjaga prinsip di tengah perubahan
Wajah baru diplomasi Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo memang lebih terbuka dan realistis. Kedekatan dengan Trump menjadi salah satu indikator utama di tengah banyak indikator lainnya yang menunjukkan kepada keterbukaan dan ke-realistisan itu.
Gestur politik semacam ini bukan tidak mungkin justru menjadi ujian bagi arah kebijakan luar negeri kita. Apakah Indonesia tetap mampu berdiri di atas kepentingan nasional tanpa kehilangan prinsip yang telah menjadi fondasinya sejak awal kemerdekaan atau berbegeser kepada kepentingan yang lebih pragmatis dan dalam bingkai jangka pendek.
Kedekatan Prabowo dan Trump, dengan segala dinamika dan simbolismenya misalnya, adalah ujian bagi arah baru diplomasi Indonesia. Apakah kita akan menjadi sekadar pengikut dalam arus besar geopolitik dunia, atau tetap berdiri sebagai bangsa yang bebas menentukan langkahnya sendiri?
Menatap arah baru

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.