Tribunners

Pelajaran dari Sebuah Tamparan

Disiplin bukan soal siapa yang lebih kuat, melainkan bagaimana menguatkan yang lemah.

Editor: suhendri
Dokumentasi Ameliana Tri Prihatini Novianti
Ameliana Tri Prihatini Novianti - Guru Desain Komunikasi Visual SMKN 1 Simpangkatis 

Oleh: Ameliana Tri Prihatini Novianti - Guru Desain Komunikasi Visual SMKN 1 Simpangkatis

“Kita sering mengira sedang mengajar, padahal tanpa sadar sedang melukai. Karena niat baik pun bisa berubah menjadi luka ketika kasih kehilangan kendalinya.”

KEKERASAN di lingkungan sekolah bukanlah kisah baru. Ia setua sejarah pendidikan itu sendiri. Sejak zaman rotan masih dianggap alat belajar, banyak guru yakin bahwa rasa sakit adalah bagian dari proses mendewasakan siswa. Manusia, bahkan yang berilmu, belum sepenuhnya lepas dari naluri purba: ingin menguasai dengan cara menaklukkan. 

Apa gerangan arti “mendisiplinkan”? Mungkin tiap kita punya tafsir masing-masing. Ada yang menyamakannya dengan menegur keras, ada yang menganggapnya sebagai tamparan agar jera. Tetapi, tunggu dulu. Bukankah disiplin sejatinya berarti belajar mengatur diri, bukan diajari tunduk oleh rasa takut?

Mari kita tengok peristiwa yang mengguncang satu sekolah: seorang kepala sekolah menampar siswanya yang ketahuan merokok. Orang tua si anak melapor ke polisi. Siswa -siswa lain turun ke lapangan, berdemo membela teman mereka. Publik pun terbelah dua: satu pihak menilai tamparan itu pantas agar si anak kapok, pihak lain menyebutnya kekerasan yang dibungkus moral.

Lalu, di manakah batas antara mendidik dan menganiaya? Ketika tangan seorang kepala sekolah melayang ke pipi siswanya, apakah itu lahir dari kasih ingin membentuk atau dari amarah yang kehilangan kendali?

Kita mudah bersembunyi di balik alasan “demi kebaikan anak”. Seperti orang tua yang mengunci anak di kamar agar belajar atau suami yang mengekang istri “karena cinta”, guru pun kadang merasa berhak menegakkan disiplin dengan cara apa pun. Padahal, setiap bentuk kontrol yang membuat seseorang merasa kecil dan takut, sesungguhnya telah menyeberang ke wilayah kekerasan.

Menampar bukanlah pelajaran. Ia adalah pesan yang berbunyi: “Aku lebih berkuasa darimu.” Begitu tamparan mendarat, yang tumbuh bukanlah kesadaran, melainkan ketakutan. Siswa mungkin berhenti merokok, tetapi bukan karena memahami konsekuensinya melainkan karena trauma akan tangan yang kembali terangkat.

Pertanyaannya, siapa yang berhak menentukan batas antara teguran keras dan luka batin? Seberapa aman seorang siswa dalam ruang-ruang belajar, bahkan saat ia salah? Berapa banyak dari kita dulu diam saja ketika dipermalukan di depan kelas? Berapa banyak yang belajar bahwa membantah berarti kurang ajar dan bertanya berarti cari gara-gara?

Budaya takut yang kita pelihara diam-diam itu kini berbuah pahit. Kita melahirkan generasi yang pandai tunduk, tetapi gagap berdialog. Sekolah pelan-pelan kehilangan fungsinya sebagai ruang belajar dan berubah menjadi ruang patuh.

Ketika kasus ini naik ke ranah hukum, sebagian orang berseru: “Masa kepala sekolah dipolisikan cuma karena tamparan?” alangkah baiknya mari balik bertanya: apakah kekerasan menjadi sah hanya karena dilakukan oleh seseorang yang berseragam atau berjabatan?

Bagaimana jika anak kita sendiri yang ditampar orang lain di luar pagar sekolah? Apakah kita akan tetap berkata “tidak apa-apa, itu untuk mendidik”?

Hukum dan etika seharusnya tidak berhenti di gerbang sekolah. Martabat manusia baik guru maupun siswa mestinya dipelihara dalam kadar yang setara.

Kalau anak kita merokok, apa yang sebenarnya kita ingin ia pelajari? Takut pada hukuman atau memahami tanggung jawab atas tindakannya? Karena setiap pelanggaran, sesungguhnya adalah peluang untuk belajar. Tetapi peluang itu bisa lenyap dalam sekejap tamparan.

Disiplin bukan soal siapa yang lebih kuat, melainkan bagaimana menguatkan yang lemah. Bukan soal siapa yang tunduk, tetapi siapa yang sadar dan selama sekolah masih menampar atas nama mendidik, kita sedang mewariskan generasi yang lebih takut salah daripada ingin belajar benar.

Jadi, sebelum kita memutuskan siapa yang benar dan salah, mungkin sebaiknya kita bertanya lebih jujur: adakah di antara kita yang masih percaya bahwa luka adalah bagian dari pelajaran? (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved