Berita Pangkalpinang

Ibu Kandung di Pangkalpinang Setrika Anak Gara-gara Sosis, Perlahan Sembuh Bersama Keluarga Ayah

Mama beli sosis dua, aku makan dua-duanya. Mama marah, terus tempelkan wajan panas dan setrika

|
Tribun Lampung/Heru Prasetyo
Ilustrasi sosis. Ibu kandung setrika anak gara-gara makan sosis di Pangkalpinang 
Ringkasan Berita:
  • Bocah 7 tahun di Pangkalpinang jadi korban kekerasan ibu kandungnya karena persoalan sepele, dua buah sosis.
  • Kini ia dirawat keluarga ayahnya dan mulai pulih, meski masih trauma.
  • Keluarga berharap kasus ini jadi pelajaran agar orang tua tak melampiaskan emosi pada anak.

 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Suasana di sebuah rumah sederhana di Kota Pangkalpinang terasa hangat dari ruang tamu yang dipenuhi tawa anak-anak, Kamis (30/10/2025).

Terdengar suara lembut seorang anak laki-laki yang kini mulai berani bermain bersama sepupu-sepupunya. 

Sesekali ia tertawa, meski gerakannya masih terlihat hati-hati. Di tangannya yang mungil, tampak bekas luka yang mulai mengering, tanda dari derita yang baru saja ia lalui.

Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu, sebut saja Z, kini tinggal bersama keluarga dari pihak ayahnya setelah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, SR (30). Luka di tubuhnya bukan hanya bekas panas setrika, tapi juga jejak ketakutan dan trauma yang masih tersisa di benaknya.

Ketika Bangkapos.com menyambangi rumah keluarga ayahnya siang itu, paman korban, A menyambut dengan wajah tenang namun mata yang tak bisa menyembunyikan kesedihan. Ia bercerita perlahan, tentang bagaimana keluarga baru mengetahui nasib keponakannya itu.

"Korban ini sebelumnya tinggal sama ibunya di Temberan. Kami keluarga dari pihak ayah sudah lama tidak bisa bertemu. Setiap mau datang, selalu tidak diperbolehkan," ujar sang paman membuka cerita.

Hingga suatu hari, kabar mengejutkan datang. Salah satu anggota keluarga menerima pesan melalui media sosial yang mengabarkan bahwa anak itu sedang dirawat di rumah sakit dengan luka serius di tangan dan kaki.

"Kami langsung cari tahu, ternyata benar. Anak itu dibawa ke RS Bhakti Timah. Begitu ayahnya datang, dia lihat anaknya sudah di IGD. Waktu ditanya, si anak bilang disetrika sama ibunya," kata A menahan napas panjang.

Dari pengakuan korban kepada keluarga, kekerasan itu bermula dari hal sepele, dua buah sosis.

"Mama beli sosis dua, aku makan dua-duanya. Mama marah, terus tempelkan wajan panas dan setrika," ucap korban polos saat ditemui Bangkapos.com, Kamis (30/10/2025).

Suaranya pelan, sesekali menunduk. Ia masih tampak canggung berbicara dengan orang baru. Di pangkuan pamannya, tangan kecilnya menggaruk bekas luka di tangan yang mulai mengering.

"Mama juga sering pukul pakai sapu, pakai besi kalau aku nggak bisa belajar," tambahnya lirih.

Menurut sang paman, kejadian yang mengakibatkan luka bakar setrika itu sudah terjadi sekitar tiga minggu lalu, namun baru dilaporkan ke polisi beberapa hari terakhir setelah keluarga mendesak sang ayah untuk menempuh jalur hukum.

"Awalnya ayahnya tidak mau lapor, mungkin karena masih bingung dan tidak percaya. Tapi kami dorong supaya ini diproses, demi masa depan anaknya," jelas A.

Kini, anak laki-laki kecil itu sudah mulai pulih. Ia bermain bola kecil di ruang tamu, tertawa bersama sepupunya, meski sesekali wajahnya menyeringai menahan gatal di bekas luka.

"Alhamdulillah sekarang sudah mulai sembuh. Waktu awal-awal dulu, dia sampai nggak bisa jalan karena lukanya parah. Sekarang sudah bisa lari," kata sang paman.

Di awal kedatangannya, korban sempat ketakutan bertemu keluarga ayahnya. Ia lebih sering diam dan mengurung diri. Namun perlahan, dengan perhatian dan kasih sayang, ia mulai membuka diri.

"Dulu dia takut sama kami, mungkin karena selama ini nggak pernah ketemu. Sekarang malah sudah akrab sama sepupu-sepupunya. Waktu ditanya mau pulang ke ibunya, dia langsung bilang ‘nggak mau’," tutur sang paman lirih.

Kendati luka fisiknya berangsur sembuh, keluarga mengaku masih khawatir dengan kondisi psikologis sang anak. Mereka kini melibatkan psikolog anak untuk membantu proses pemulihan emosionalnya.

"Yang kami takutkan sekarang itu traumanya. Karena dia anak yang sensitif, kadang kalau dengar suara keras dia langsung ketakutan," ujarnya.

Keluarga besar berharap, kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang tua agar tidak mudah melampiaskan emosi kepada anak. Mereka juga meminta agar masyarakat tidak menyebarkan identitas korban demi menjaga masa depan sang anak.

"Biar pihak berwajib yang tangani. Kami cuma ingin anak ini bisa hidup normal, sekolah lagi, dan bahagia seperti anak-anak lain," tutup sang paman.

Kini, di balik senyumnya yang mulai merekah, tersimpan harapan kecil untuk masa depan yang lebih baik. Luka di kulit mungkin akan hilang, tapi luka di hati memerlukan waktu, dan cinta keluarga yang tulus untuk benar-benar sembuh.

(Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved