Menanti Pahlawan Nasional dari Belitung

Sosok H AS Hanandjoeddin Pahlawan dari Belitung, Jejak Teknisi Udara Menembus Langit

Di hari itu, seorang pemuda pribumi bernama H AS Hanandjoeddin menerbangkan pesawat untuk pertama kalinya setelah proklamasi kemerdekaan.

Editor: M Ismunadi
Dokumentasi Haril M Andersen
Kolase foto Haji Ahmad Sanusi Hanandjoeddin atau H AS Hanandjoeddin, putera Belitung yang diperjuangkan mendapat gelar Pahlawan Nasional. 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Tanggal 17 Oktober 1945 tercatat sebagai salah satu momen penting dalam sejarah penerbangan Indonesia.

Di hari itu, seorang pemuda pribumi bernama Haji Ahmad Sanusi Hanandjoeddin atau H AS Hanandjoeddin menerbangkan pesawat untuk pertama kalinya setelah proklamasi kemerdekaan. 

Ia bukan penerbang biasa, melainkan teknisi udara pertama Republik Indonesia, yang mengabdikan hidupnya untuk mengibarkan sayap merah putih di angkasa.

Demikian diceritakan peneliti sekaligus penulis sejarah asal Belitung, Haril M Andersen saat dibincangi Bangka Pos, Selasa (28/10/2025).

Penerbangan bersejarah itu dilakukan di Malang, Jawa Timur, hanya beberapa hari sebelum pecahnya Pertempuran Surabaya.

Saat itu, kata Haril, situasi Indonesia masih sangat genting—pasukan Sekutu dan Belanda mulai masuk, sementara di berbagai daerah rakyat mempersiapkan perlawanan.

“Berdasarkan arsip dari Perpustakaan Nasional dan data TNI, sebelum terjadinya pertempuran Surabaya, H AS Hanandjoeddin menerbangkan pesawat untuk menakuti penjajah. Itu bukan sekadar penerbangan teknis, tapi simbol bahwa Indonesia berdaulat di udara,” katanya.

Baca juga: Menanti Sang Elang Belitung, Tahun Depan Hanandjoeddin Kembali Diajukan sebagai Pahlawan Nasional

Bangka Pos Hari Ini, Senin (3/11/2025).
Bangka Pos Hari Ini, Senin (3/11/2025). (Bangka Pos)

Haril menyebut, pada masa itu menjadi seorang teknisi penerbangan bukan hal mudah bagi anak bangsa.

Keterbatasan alat, bahan, dan akses teknologi menjadikan bidang ini dikuasai oleh bangsa asing, terutama Jepang dan Belanda. 

Namun H AS Hanandjoeddin membuktikan bahwa anak daerah pun bisa menembus langit.

“Beliau adalah putra daerah yang berani. Dengan segala keterbatasan, beliau memperbaiki dan menerbangkan pesawat sendiri, demi Republik yang baru berdiri,” ujar Haril.

Sejak 1942, Hanan, begitu Hanandjoeddin akrab disapa, sudah bekerja di bawah Ozawa Butai, satuan militer Angkatan Darat Jepang yang bertugas di bidang penerbangan.

Ia ditempatkan di Tomimuri Butai sebagai montir dan teknisi pesawat tempur.

Di sana, Hanan belajar memperbaiki berbagai jenis pesawat, mulai dari Guntei (Ki-51), Hayabusa (Nakajima Ki-43III), Nishikoren, Sansykisin, hingga pesawat pembom Soukei.

Tak hanya mesin, Hanan juga mempelajari sistem navigasi dan persenjataan pesawat.

Ketekunan dan kecerdasannya membuat ia diangkat sebagai Hancho (pimpinan kelompok teknisi) dan dipercaya memimpin beberapa montir pesawat tempur Jepang di Pangkalan Udara Bugis, Malang yang kala itu menjadi pusat penerbangan militer Jepang di Jawa Timur.

Bergabung ke TKR

Selepas proklamasi kemerdekaan, H AS Hanandjoeddin memilih bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Penerbangan, cikal bakal TNI Angkatan Udara (TNI AU).

Sebagai teknisi utama, ia memegang peran penting dalam perbaikan dan operasional pesawat yang dikuasai oleh Republik.

Pada 21 Februari 1946, Hanan bersama rekan-rekannya berhasil memperbaiki pesawat pembom Soukei yang sudah berusia enam tahun dan rusak berat.

Pesawat itu kemudian diberi nama Pangeran Diponegoro I (PD-I) dan digunakan oleh Mayor Jenderal Sudibyo di Yogyakarta untuk menangani urusan Repatriation Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) misi penting dalam diplomasi militer Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

Tak lama sebelumnya, 17 Februari 1946, Hanan juga membantu Sekolah Penerbangan Darurat Yogyakarta dengan mempersiapkan pesawat Cukiu yang diterbangkan langsung oleh Adisoetjipto dari Pangkalan Udara Bugis.

Pesawat itu menjadi sumbangan pertama bagi dunia penerbangan Republik Indonesia yang baru lahir.

Kemudian, pada 5 Maret 1946, sebuah pesawat Cukiu TK-007 diterbangkan dari Malang ke Pangkalan Udara Panasan, Surakarta.

Pesawat tersebut merupakan sumbangan kedua, ditukar secara barter dengan kain batik oleh BKR Oedara Solo, di bawah pimpinan Letnan Soejono.

“Bayangkan, pada masa itu barter kain batik bisa menjadi alat diplomasi untuk melatih pilot Indonesia. Dari sinilah awal sekolah penerbangan nasional terbentuk,” jelas Haril.

Ketika Agresi Militer Belanda I dimulai pada 21 Juli 1947, H.A.S. Hanandjoeddin kembali menunjukkan keberaniannya.

Ia bersama para teknisi di Pangkalan Udara Bugis berhasil menyelamatkan 15 pesawat agar tidak jatuh ke tangan Belanda.

Tindakan itu bukan hanya penyelamatan aset, tapi juga penjagaan kedaulatan udara Indonesia yang masih rapuh di masa awal kemerdekaan.

Selain itu, Hanan juga dikenal sebagai tokoh yang berperan besar dalam pembangunan Sekolah Penerbangan Yogyakarta, dengan menyumbangkan hingga 37 pesawat untuk pelatihan para penerbang muda Republik Indonesia.

Pulang ke Belitung

Setelah masa perjuangan militernya berakhir, H AS Hanandjoeddin kembali ke tanah kelahirannya di Belitung.

Namun semangat pengabdiannya tidak pernah padam. Ia kemudian menjabat sebagai Bupati Belitung periode 1967–1972, di mana ia dikenal sebagai pemimpin yang merakyat dan visioner.

Namanya kini diabadikan di berbagai tempat: Bandara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin, Lanud TNI AU Tanjungpandan, Masjid H.A.S. Hanandjoeddin, serta jalan-jalan di Belitung, Malang, dan Makassar.

Semua menjadi saksi atas pengabdian seorang putra daerah yang mengangkat nama Indonesia ke langit dunia.

“Beliau adalah sosok yang total untuk Republik. Dari udara, beliau membuktikan bahwa kemerdekaan bukan hanya di darat dan laut, tapi juga di langit,” ujar Haril.

Kini, perjuangan untuk menjadikan H AS Hanandjoeddin sebagai Pahlawan Nasional terus dilanjutkan.

Buku-buku biografi, seminar nasional, dan pengumpulan arsip dilakukan demi melengkapi syarat administratif dari Kementerian Sosial RI.

Namun bagi masyarakat Belitung, gelar itu hanya formalitas. Karena bagi mereka, H AS Hanandjoeddin sudah lama menjadi pahlawan sejati.

“Beliau mengajarkan kita arti keberanian dan ketulusan. Terbangnya beliau pada 17 Oktober 1945 bukan hanya penerbangan pertama, tapi simbol bahwa bangsa ini bisa berdiri di atas kakinya sendiri,” pungkas Haril. (Bangkapos.com/Erlangga)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved