Tribunners

Filsafat Administrasi Pemilu: Dimensi Aksiologi Transparansi dan Moralitas Pemilihan Serentak 2024

Jurnal ini membahas filsafat ilmu administrasi dalam dimensi aksiologi berperan dalam membangun transparansi dan moralitas penyelenggaraan pemilu

Dok Saharullah
Saharullah, Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pahlawan 12 

Oleh: Saharullah (Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pahlawan 12)

Abstrak

Pemilihan Serentak Tahun 2024 yang diselenggarakan pada 545 daerah di seluruh Indonesia yang meliputi 37 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga momentum refleksi filosofis terhadap tata kelola administrasi publik. Jurnal ini membahas bagaimana filsafat ilmu administrasi, khususnya dalam dimensi aksiologi berperan dalam membangun transparansi dan moralitas penyelenggara pemilu. Melalui pendekatan deskriptif-analitis, tulisan ini menegaskan bahwa tata kelola pemilu yang berlandaskan nilai etika dan keterbukaan informasi merupakan prasyarat bagi legitimasi demokrasi. Kegagalan menjaga transparansi dan moralitas administrasi dapat menurunkan kepercayaan publik serta mereduksi makna demokrasi substantif.

Kata kunci: aksiologi, transparansi, pemilihan serentak

Abstract

The 2024 Simultaneous Elections, held in 545 regions across Indonesia, encompassing 37 provinces, 415 regencies, and 93 cities, are not only a political event but also a moment for philosophical reflection on public administration governance. This paper examines how the philosophy of administrative science, particularly its axiological dimension, plays a role in building transparency and morality among election administrators. Through a descriptive-analytical approach, this paper asserts that election governance based on ethical values ​​and information transparency is a prerequisite for democratic legitimacy. Failure to maintain transparency and administrative morality can undermine public trust and diminish the meaning of substantive democracy.

Keywords: axiology, transparency, simultaneous elections

1.      Pendahuluan

Pemilihan Serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024 merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Waliota secara langsung dan demokratis. Pemilihan serentak ini menjadi salah satu agenda politik terbesar dalam sejarah Indonesia modern dimana dilaksanakan secara serentak sebanyak 545 daerah terdiri dari 37 provinsi (kecuali DIY), 415 kabupaten dan 93 kota yang pelaksanaan hari pemungutan suaranya pada tanggal 27 Nopember 2024. Kompleksitas penyelenggaraan pemilihan serentak tahun 2024 dengan tahapan-tahapannya yang masih beririsan dengan tahapan Pemilihan Umum Tahun 2024, penggunaan teknologi digital, serta tingginya ekspektasi masyarakat terhadap integritas lembaga penyelenggara membuat isu tata kelola dan moralitas administratif menjadi semakin penting.

Menurut Weber dalam teori birokrasi rasional, moralitas administrasi tercermin dalam netralitas dan objektifitas aparatur negara dalam menjalankan tugasnya. Filsafat ilmu administrasi menawarkan lensa untuk memahami hakikat dan nilai dari aktivitas administratif dalam pemilu. Tidak hanya sebatas prosedur teknis, administrasi pemilu adalah refleksi dari nilai-nilai kebenaran (epistemologi), keadilan (aksiologi), dan pengaturan kekuasaan (ontologi). Fokus utama tulisan ini adalah dimensi aksiologi yakni nilai dan etika dalam penyelenggaraan pemilu, dengan titik berat pada dua pilar yaitu transparansi dan moralitas.

Filsafat ilmu administrasi menelaah hakikat ilmu administrasi dari tiga dimensi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas objek ilmu administrasi yakni pengelolaan sumber daya public, epistemologi membahas bagaimana ilmu administrasi memperoleh pengetahuan dan aksiologi membahas nilai-nilai moral yang melandasi praktik administrasi. Menurut Hasbi Shiddiq Fauzan (2018), administrasi publik tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai etika dan kemanusiaan, sebab setiap tindakan administratif selalu mengandung keputusan moral. 

Dalam konteks pemilu, dimensi aksiologi menjadi pusat bagaimana penyelenggara memahami tanggung jawab moral untuk menjaga keadilan dan transparansi dalam setiap tahap pemilihan. Filsafat administrasi pemilu adalah landasan nilai dan pemikiran yang menuntun pelaksanaan pemilu secara adil, transparan dan demokratis dengan mengutamakan kedaulatan rakyat sebagai tujuan utama, Dengan demikian, filsafat administrasi pemilu adalah kerangka berpikir normatif dan etis yang menuntun seluruh proses penyelenggaraan pemilu agar berorientasi pada kepentingan rakyat, menjunjung tinggi keadilan dan integritas serta menghindari manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan. Filsafat ini bertujuan membentuk pemilu sebagai proses yang tidak hanya legal secara hukum, tetapi juga bermakna secara moral dan demokratis.

2.      Filsafat Ilmu

Plato dalam The Liang Gie (1977) menyebutkanobahwa filsafat adalah penyelidikanoterhadap sifat-sifat dasar yangopenghabisan dari kenyataan. Ilmu berasal dariobahasa ‘Arab “alima” sama denganokata dalam bahasa Inggris “Science” yang berasal dariobahasa Latin “Scio” atau “Scire” (Gazalba, 1973), yangokemudian di indonesiakanomenjadi Sains. Jujun (1990) mengatakanobahwa filsafat berasalodari kata Yunani Philos dan Sophia yangosecara umum berarti Cintaopada Kearifan. “Filsafat adalahoberpikir secara menyeluruh, mendasaronamun spekulatif”.

Tinjauan FilsafatoIlmu akan memasalahkan apaoyang disebut ilmu pengetahuan yang biasanyaoterbatas pada ilmu-ilmuoempiris. Berdasar seluruhouraian di atas, maka kitaobisa memahami hubunganofilsafat dengan ilmu. Menurut Bahrum (2013), ringkasnya dapatodikatakan bahwa filsafat denganotiga bidang utamanyaoyakni ontologi, epistemologi, danoaksiologi akan membawa kepada hakekat buah pemikiran tersebut, dan iniomerupakan landasanoholistik pengembanganokeilmuan.

Chaer dan Sanprayogi (2017) mengungkapkan tujuan filsafat ilmu sebagai berikut:

Filsafat ilmu diperlukan untuk pertama membantu membedakan ilmu dengan saintisme yang memutlakkan berlakunya ilmu dan tidak menerima cara pengenalan lain selain cara pengenalan yang dijalankan ilmu, memberi jawab atas pertanyaan ”makna” dan ”nilai”, kedua dalam hal mana ilmu membatasi diri pada penjelasan mekanisme saja, dan ketiga merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan, sebab ada kecenderungan penerapan metode ilmiah tanpa memerhatikan struktur ilmu itu sendiri dan hubungan historisnya dengan ilmu, filsafat menginspirasikan masalah-masalah yang akan dikaji oleh ilmu.

Dalam kajianokeilmuan, ilmu dapat dilihatodari dua objek yaitu objekomateril dan objek formal. Objek material adalahosuatu hal yang dijadikanosasaran pemikiran, suatu hal yangodipelajari atau sesuatuoyang diselidiki, sedangkan objekoformal adalah caraomemandang, cara meninjau yangodilakukan oleh seorangopeneliti terhadap objekomaterialnya serta prinsip-prinsipoyang digunakan. Objek formal suatu ilmu tidakohanya memberi keutuhanosuatu ilmu tetapi padaosaat yang sama membedakannyaodari bidang-bidang yang lain. Satu objekomaterial dapat ditinjau dari berbagaiosudut pandangan sehinggaomenimbulkan ilmu yang berbeda-beda. 

3.      Aksiologi

Aksiologi berasalodari kata axios (Yunani) yangoberarti nilai dan logosoyang berarti teori. Aksiologi adalahoteori tentang nilai nilaio (Runers dalam Kosasih). Prof. Dr. Bramel (dalam Kosasih) mengatakanobahwa aksiologi terbagiodalam 3 bagian:

1. Tingkah lakuomoral yang berwujudoetika;

2. Ekspresi etikaoyang  berwujud estetikao (seni & keindahan);

3. KehidupanoSosio-politik yang berwujudoideologi.

Chaer dan Sanprayogi (2017), menjelaskan bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yangomenyelidiki hakikat nilaioyang ditinjau dari sudutokefilsafatan. Tahap fungsionalopengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspek aksiologi filsafatoilmu, yaitu membahasoamal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidahomoral. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detector dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara licik ilmuan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu bangsa, dan penemuanobayi tabung dapat menimbulkanobencana bagi terancamnyaoperdaban perkawinan. 

Semua penyampaian diatas menunjukan bahwa pemanfaatan ilmu yang tidak disertai dengan moral akan menyebabkan kerusakan, kerugian bahkan dalam tingkat tnggi akan menyebabkan kehancuran dengan skala yang tidak terkira. Teori tentangonilai dapat dibagi menjadiodua yaitu nilai etika dan nilai estetika. Syafiie (2014) dalam buku Ilmu Pemerintahan mengatakan bahwa “etika berarti kelakuan yang menuruti norma-norma kehidupan yang baik”. 

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak atau adat, kata ini identik dengan asal kata moral dari bahasa latin mores yang berate adat atau cara hidup sehingga kedua kata tersebut antara etika dan moral menunjukan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan sekelompok manusia. Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa narasi etika meliputi moral, budi, kebaikan, luhur, adat dan norma.

Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas keindahan, estetika adalah penilaian sensoris yang kadang dianggap sebagai nilai terhadap sentiment dan rasa. The Liang Gie (1976:15) mengatakan bahwa estetika adalah hal-hal yang dapat diserap dengan panca indra. Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa narasi estetika meliputi seni, rasa, keindahan, cipta dan karya.

4.      Transparansi sebagai Nilai Aksiologi Administrasi Pemilu

Transparansi merupakan nilai dasar yang memastikan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Dalam perspektif filsafat administrasi, transparansi bukan sekadar kewajiban prosedural melainkan manifestasi dari kejujuran epistemic bagaimana pengetahuan dan informasi tentang pemilu disampaikan secara jujur, terbuka dan dapat diverifikasi oleh publik. Transparansi sebagai nilai aksiologi dalam administrasi pemilu berarti bahwa seluruh proses pemilu harus dijalankan secara terbuka, jujur dan dapat diakses publik, guna menjamin kepercayaan masyarakat dan integritas demokrasi.

Menurut Media Mahasiswa Indonesia, transparansi bukan hanya alat untuk mencegah kecurangan tetapi juga pondasi utama yang menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem politik. Dampak-dampak positif dengan nilai transparansi dalam pelaksanaan pemilihan serentak tahun 2024, diantaranya:

a.       Membangun kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap pemilu/pemilihan adalah elemen yang sangat penting dalam memperkuat demokrasi. Jika pemilu/pemilihan dianggap tidak transparan, maka masyarakat akan meragukan hasilnya yang bisa memicu ketidakpuasan bahkan bisa memicu kerusuhan politik. Dengan transparansi ini, setiap tahapan pemilu/pemilihan mulai dari pendaftaran calon, kampanye, pemungutan suara hingga penghitungan suara diawasi secara terbuka oleh masyarakat dan media serta independen. Hal ini memastikan bahwa setiap langkah pemilu berlangsung sesuai dengan aturan yang berlaku dan mengurangi peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan;

b.      Mengurangi praktek kecurangan dan manipulasi. Transparansi adalah penghalang efektif terhadap berbagai praktek kecurangan dalam pemilu/pemilihan. Indonesia sempat dilanda isu-isu serius mengenai manipulasi suara, penggelembungan daftar pemilih serta praktik money politics yang merusak kualitas demokrasi. Dengan adanya pemilu yang transparan, memungkinkan pengawasan yang lebih ketat dari berbagai pihak. Hal ini membuat kecurangan menjadi lebih sulit dilakukan dan meminimalkan potensi manipulasi hasil pemilu/pemilihan. Dengan adanya teknologi digital kini semakin memberi ruang bagi transparansi yang lebih besar, sistem informasi berbasis elektronik seperti e-voting atau penggunaan aplikasi untuk penghitungan suara secara real-time memberi akses yang lebih luas bagi publik untuk memantau jalannya pemilu, memungkinkan kecurangan bisa ditekan lebih lanjut;

c.       Mendorong partisipasi Masyarakat. Pemilu/Pemilihan yang transparan dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat apabila proses pemilu/pemilihan dijalankan dengan jujur dan terbuka. Masyarakat akan merasa lebih yakin untuk menggunakan hak pilihnya. Selain itu transparansi memberi ruang bagi warga negara untuk terlibat dalam pengawasan, baik melalui organisasi masyarakat sipil, lembaga pemantau pemilu ataupun dengan menggunakan teknologi untuk melaporkan potensi pelanggaran. Partisipasi masyarakat yang tinggi akan menciptakan pemilu yang lebih lebih representatif di mana setiap suara benar-benar dihargai dan dipertimbangkan;

d.      Menguatkan institusi demokrasi. Transparansi dalam pemilu juga berperan penting dalam penguatan lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu). Keberadaan lembaga-lembaga ini sebagai penjaga integritas bahwa pemilu harus didukung dengan sistem yang terbuka dan dapat diawasi oleh publik. Sebagai contoh, setiap laporan atau temuan terkait pelanggaran pemilu harus diakses dan dipertanggungjawabkan secara jelas agar masyarakat tahu apa yang sedang terjadi dan bisa ikut serta dalam proses pengawasan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pemilu, lembaga-lembaga ini juga menjadi lebih kredibel. Ketika masyarakat merasa bahwa pemilu dilaksanakan dengan penuh transparansi dan integritas, dukungan terhadap lembaga-lembaga tersebut akan semakin kuat yang pada gilirannya menguatkan struktur demokrasi Indonesia.

e.       Dampak positif bagi kestabilan politik, Pemilu yang transparan akan menghasilkan pemimpin yang dipilih secara sah dan didukung oleh mayoritas rakyat. Ini akan menciptakan legitimasi yang kuat bagi pemerintah yang terpilih, yang pada gilirannya dapat mendorong kestabilan politik bahwa pemilu yang penuh keraguan dan ketidakjelasan justru menciptakan polarisasi dan ketidakpastian yang dapat mengganggu proses pembangunan dan menambah kerusakan sosial. Dengan transparansi ini, masyarakat tidak hanya merasa suara mereka dihargai tetapi juga yakin bahwa hasil pemilu mencerminkan pilihan rakyat yang sesungguhnya.

Sedangkan fungsi transparansi sebagi nilai aksiologis dalam pemilihan adalah:

a.       Menjamin akuntabilitas penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu harus bertanggungjawab atas setiap keputusan dan tindakan dalam semua tahapan penyelenggaran pemilu misalnya verifikasi partai politik, pemutakhiran data pemilih, proses pendaftaran calon sampai rekapitulasi dan penetapan hasil harus dapat diaudit public;

b.      Meningkatkan partisipasi dan kepercayaan publik;

c.       Mencegah manipulasi dan kecurangan;

d.      Menegakkan prinsip keadilan, semua peserta pemilu/pemilihan diperlakukan setara dan adil, tampa diskriminasi dan perlakuan istimewa.

Dalam praktik transparansi pada pemilihan serentak tahun 2024, publikasi data pemilih dan hasil rekapitulasi suara secara daring, penggunaan teknologi digital seperti Sistem Informasi Rekapitulasi (SIREKAP) dan aplikasi pengawasan daring memperlihatkan upaya KPU dan Bawaslu menerapkan prinsip keterbukaan, akses terbuka bagi pemantau dan media, pelaporan dana kampanye secara berkala dan dapat diakses publik serta penanganan pelanggaran pemilu/pemilihan yang terbuka dan dapat diawasi. Transparansi bukan sekadar prosedur teknis melainkan nilai moral yang melekat dalam demokrasi. Sebagai nilai aksiologis, transparansi menuntut agar administrasi pemilu tidak hanya sah secara hukum tetapi juga beretika, adil dan dapat dipercaya oleh rakyat.

5.      Moralitas Penyelenggara: Fondasi Etika Administratif

Moralitas administrasi merupakan refleksi integritas aparatur penyelenggara pemilu. Zaidan Nawawi (2018) menyatakan bahwa administrasi publik tanpa moralitas akan jatuh pada “teknokrasi tanpa jiwa,” di mana efisiensi menjadi tujuan tunggal mengabaikan nilai keadilan. Dalam pemilu, moralitas tercermin melalui netralitas, kejujuran dan tanggung jawab moral terhadap hasil pemungutan suara. Kasus pelanggaran etik ditubuh penyelenggara pemilu selama masa tahapan 2024 memperlihatkan pentingnya dimensi aksiologis ini. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menegaskan bahwa pengelolaan pemilu memerlukan fondasi etika bukan hanya keahlian teknis. 

Moralitas administrasi menjadi benteng terhadap manipulasi data, konflik kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan. Moralitas penyelenggara adalah kualitas etis dan integritas pribadi yang harus dimiliki oleh setiap individu yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu seperti anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP. Moralitas ini menjadi kompas batin yang membimbing mereka dalam:

a.       Menghindari konflik kepentingan;

b.      Menjaga netralitas politik; dan

c.       Menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan

Etika administratif adalah seperangkat norma dan prinsip yang mengatur perilaku birokrasi dan aparatur negara. Moralitas menjadi fondasinya karena tanpa moralitas etika administratif hanya menjadi formalitas. Moralitas menjamin bahwa aturan dijalankan dengan niat baik bukan sekadar kepatuhan teknis. Ia mendorong penyelenggara untuk bertindak adil bahkan dalam situasi abu-abu hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, netralitas, transparansi, akuntabilitas dan profesionalisme. Moralitas penyelenggara bukan sekadar atribut pribadi melainkan pilar utama dalam membangun administrasi pemilu yang etis, adil dan demokratis. Tanpa moralitas administrasi pemilu berisiko menjadi alat kekuasaan bukan sarana kedaulatan rakyat.

6.      Integrasi Nilai Filsafat Administrasi dalam Tata Kelola Pemilu

Integrasi nilai aksiologis ke dalam tata kelola pemilu dapat dilakukan melalui tiga pendekatan:

a.       Etika kelembagaan: membangun budaya organisasi penyelenggara pemilu yang berorientasi pada pelayanan publik; 

b.      Transparansi digital: memanfaatkan teknologi informasi untuk memperkuat akuntabilitas; dan

c.       Pendidikan etis bagi penyelenggara: menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan administratif adalah keputusan moral yang berdampak luas bagi legitimasi demokrasi.

Integrasi nilai filsafat administrasi dalam tata kelola pemilu berarti menerapkan prinsip-prinsip etis, moral dan demokratis dalam seluruh proses penyelenggaraan pemilu agar tercipta sistem yang adil, transparan dan berorientasi pada kedaulatan rakyat. Filsafat administrasi pemilu adalah kerangka pemikiran normatif yang menuntun penyelenggara pemilu untuk:

a.       Menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi;

b.      Menjalankan tugas secara etis dan bertanggung jawab; dan 

c.       Menempatkan kepentingan rakyat sebagai pusat tata kelola.

Menurut buku Filsafat Pemilu yang diterbitkan oleh DKPP, pemilu bukan sekadar prosedur teknis tetapi juga manifestasi nilai-nilai luhur dalam kehidupan bernegara. Nilai-nilai filsafat yang diintegrasikan:

a.       Keadilan: Semua peserta dan pemilih diperlakukan setara;

b.      Transparansi: Proses pemilu terbuka dan dapat diawasi publik;

c.       Akuntabilitas: Penyelenggara bertanggung jawab atas setiap Keputusan;

d.      Netralitas: Bebas dari intervensi politik atau kepentingan pribadi; dan

e.       Partisipasi: Mendorong keterlibatan aktif masyarakat.

Bentuk Integrasi dalam Tata Kelola Pemilu:

a.       Perumusan kebijakan berbasis etika: Misalnya, kode etik penyelenggara pemilu oleh DKPP;

b.      Sistem informasi terbuka: Publikasi data pemilih, hasil rekapitulasi dan dana kampanye;

c.       Pendidikan pemilih: Menanamkan kesadaran demokrasi dan nilai moral dalam memilih; dan

d.      Penegakan hukum dan etika: Melalui mekanisme pengawasan dan sanksi oleh Bawaslu dan DKPP.

7.      Kesimpulan

Dimensi aksiologi dalam filsafat administrasi menegaskan bahwa tata kelola pemilu harus berpijak pada nilai transparansi dan moralitas. Transparansi menjamin keterbukaan informasi dan kepercayaan public sedangkan moralitas menjadi dasar kejujuran dan tanggung jawab penyelenggara. Pemilu serentak 2024 menjadi cermin sejauh mana ilmu administrasi publik di Indonesia telah bertransformasi dari sekadar sistem birokrasi menuju ilmu bernilai yang berorientasi pada keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Integrasi nilai filsafat administrasi dalam tata kelola pemilu adalah upaya untuk menjadikan pemilu sebagai proses yang tidak hanya legal tetapi juga beretika, adil dan mencerminkan kehendak rakyat. Ini adalah fondasi penting bagi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan. (*/E3)

Daftar Pustaka

DKPP RI. Prof. Muhammad. Kelola Pemilu dan Pilkada Perlu Fondasi Etika. 

dkpp.go.id, 2023.

Fauzan, H. S. Filsafat Ilmu Administrasi sebagai Hakikat dan Makna dalam Keilmuan

Administrasi Publik: Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik, Universitas Garut, 2018.

Kholda, D. & Putri, P. J. Filsafat dan Etika Administrasi Demokrasi dan 

Perkembangannya dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). 

Kultura: Jurnal Ilmu Hukum, Sosial, dan Humaniora, 2023.

Nawawi, Z. Ethics of Public Administration in The Administration of Governance in 

Indonesia: Jurnal Ilmu Administrasi dan Studi Kebijakan. Universitas Taman Siswa, 2018.

Yani, A. A. Reframing Concept of Governance in Public Administration Researches: 

A Philosophical Discussion: Bisnis dan Birokrasi Journal, Universitas 

Indonesia, 2018.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved