Tribunners

Kelangkaan BBM di Bangka: Dalam Persfektif Ekonomi Islam, Masalah Distribusi atau Pengawasan?

Kelangkaan BBM di Bangka tidak boleh lagi dianggap kejadian berulang yang normal.

Editor: suhendri
Dokumentasi Yurda Indari
Yurda Indari, S.E.I., M.E - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Yurda Indari, S.E.I., M.E - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bsinis Universitas Bangka Belitung

KELANGKAAN  bahan bakar minyak (BBM) terjadi di Bangka dalam beberapa hari terakhir. Antrean kendaraan yang mengular di berbagai SPBU menjadi pemandangan dan membuat kemacetan. Warga resah, aktivitas terganggu, dan pelaku usaha kecil merugi.

Dalam kondisi tertentu, sebagian masyarakat hampir tidak dapat menjalankan usaha karena ketiadaan bahan bakar. Situasi ini memunculkan pertanyaan yang kian mendesak: apakah kelangkaan BBM di Bangka ini disebabkan oleh persoalan distribusi atau lemahnya pengawasan di lapangan?

Secara geografis, Bangka adalah wilayah kepulauan yang sangat bergantung pada jalur distribusi laut untuk pemenuhan energi. Faktor cuaca, keterlambatan kapal, dan kendala logistik sering dijadikan alasan klasik ketika BBM langka.

Namun, jika ditelusuri lebih dalam, hal ini bukan yang pertama. Kasus-kasus kelangkaan sebelumnya menunjukkan pola yang hampir sama. Stok yang masuk ke wilayah tidak selaras dengan ketersediaan di SPBU, terjadi pengalihan BBM subsidi untuk kepentingan nonsubsidi, atau bahkan muncul dugaan penimbunan oleh oknum tertentu. Dalam kondisi demikian, wajar apabila publik mempertanyakan apakah suplai memang benar-benar berkurang, atau ada persoalan tata kelola distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya?

Masalah distribusi tentu tidak dapat diabaikan. Rantai distribusi yang panjang dan rentan gangguan jelas dapat menciptakan potensi kelangkaan. Namun, persoalan yang lebih menonjol justru berada pada aspek pengawasan. Tanpa pengawasan ketat, distribusi menjadi ruang abu-abu yang rentan dimanfaatkan oleh pihak tertentu.

Tidak adanya sistem pemantauan real-time, lemahnya koordinasi antarinstansi, serta minimnya transparansi kepada publik membuat kelangkaan BBM makin sulit dijelaskan secara objektif. Pada kondisi inilah, persoalan logistik dapat bercampur dengan perilaku spekulatif atau manipulatif, dan akhirnya menghasilkan kelangkaan yang merugikan masyarakat luas.

Dampak sosial-ekonomi dari kelangkaan BBM begitu terasa di Bangka. Nelayan tidak dapat melaut karena sulit memperoleh solar. Pelaku UMKM yang bergantung pada mobilitas harian terpaksa menghentikan usaha. Transportasi umum menaikkan tarif atau bahkan berhenti beroperasi. Harga barang kebutuhan meningkat karena biaya distribusi naik.

Kelangkaan BBM tidak hanya menjadi masalah energi, melainkan berubah menjadi krisis kesejahteraan masyarakat. Karena itu, penyelesaian masalah ini tidak cukup hanya dengan menambah suplai. Solusi harus menyentuh dimensi tata kelola, keadilan, dan etika distribusi. 

Pada titik inilah perspektif ekonomi Islam menjadi sangat relevan untuk dijadikan landasan analisis. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara mengenai mekanisme pasar, tetapi juga mengenai amanah, tanggung jawab, dan pemerataan manfaat. Kelangkaan, dalam ekonomi Islam, memang diakui sebagai bagian dari realitas hidup. Namun, kelangkaan tidak boleh dijadikan alasan untuk memperkaya diri atau mengeksploitasi masyarakat.

Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak...” (QS. An-Nisa [4]:58). Dalam konteks distribusi BBM, amanah berarti memastikan BBM sampai kepada masyarakat sesuai peruntukannya, bukan dialihkan, bukan ditimbun, dan bukan dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak.

Ekonomi Islam juga menekankan pentingnya keadilan distribusi. Ketika terjadi kelangkaan, kelompok rentan seperti nelayan, petani, dan pelaku usaha mikro justru paling menderita. Padahal, Allah Swt telah memperingatkan, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu” (QS. Al-Hasyr [59]:7). 

Ayat itu secara jelas mengharamkan praktik ketimpangan distribusi yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Jika ada oknum yang memperoleh akses BBM lebih awal atau lebih banyak sementara masyarakat umum harus mengantre berjam-jam, maka telah terjadi ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip syariah.

Lebih jauh, salah satu larangan paling kuat dalam ekonomi Islam adalah praktik penimbunan (ihtikar). Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menimbun (ihtikar), maka ia berdosa.” (HR. Muslim).

Menimbun barang kebutuhan pokok, termasuk energi adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemaslahatan umum. Dalam konteks krisis BBM, penimbunan atau pengalihan stok BBM subsidi kepada pihak nonsubsidi termasuk tindakan yang tercela dan dilarang. Oleh karena itu, pengawasan terhadap rantai distribusi tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah secara administratif, tetapi juga merupakan tanggung jawab moral sesuai prinsip ekonomi Islam.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved