Tribunners
Menyongsong 25 Tahun Provinsi Teladan Babel dalam Catatan Pewarta
“Ketuk Palu” pengubah RUU menjadi UU, bukan sekadar “akte lahir” Provinsi Kepulauan Babel ke 31 di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh: Anton Kibar
SULIT dipungkiri bahwa penyebab keterpurukan kehidupan masyarakat Bangka Belitung (Babel) selama beratus-ratus tahun adalah kekayaan alam yang semata-mata digunakan untuk kepentingan penguasa.
Hasil tambang yang digali dari tanah Babel, hanya sedikit dikucurkan kembali ke daerah asalnya. Kalau pun ada, hanya sebatas pembiayaan pembangunan sarana bagi kepentingan pengelolaan penambangan timah itu sendiri.
Pengelolaan timah bersifat monopoli, hingga rakyat Babel tak memiliki akses terhadap timah; pada tanah tempat ia berpijak dan bertumpu. Tak mengherankan bila konflik senantiasa muncul tak berkesudahan.
Pada masa kolonial hingga menjelang akhir abad ke-19, kekayaan alam Babel merupakan urat nadi perekonomian Belanda dan Inggris serta tulang punggung utama Kesultanan Palembang.
Kondisi ini berlangsung hingga masa kemerdekaan. Perjuangan rakyat menuntut terbentuknya Provinsi Kepulauan Babel yang terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) adalah puncak dari segala bentuk ketidakpuasan yang telah terjadi selama ini.
Berawal dari tahun 1956 saat Karisidenan Babel dihapus dan kedua pulau ini dimasukan dalam wilayah Provinsi Sumsel. Hal ini dianggap tidak adil, lantaran di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) ada lima karisidenan, masing-masing Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Babel.
Semua karisidenan bisa menjadi provinsi sendiri, mengapa Babel dimasukan dalam wilayah Palembang (Provinsi Sumsel) dengan status kabupaten?
Dalam tulisan Kami Penaka Anak Pisang oleh Pemangku Adat Masyarakat Babel, H. Romawi Latief dijelaskan, di Sumbagsel terdapat lima karisidenan dengan tanda kendaraan bermotor seperti : BG (Palembang), BH (Jambi), BD (Bengkulu), BE (Lampung), dan BN (Babel).
BG, BH, BD, dan BE sudah berstatus provinsi, sedangkan
BN masih berstatus kabupaten. Apa kami tidak boleh kecewa? Apa kurangnya kami dengan mereka? (Suara Masyarakat Babel, terbitan Harian Pagi Bangka Pos, Selasa, 21 November 2000).
Menyala Api Perjuangan
Sejak itulah percikan api perjuangan masyarakat Babel mulai menyala untuk mewujudkan provinsi sendiri, terlepas dari Provinsi Sumsel.
Semangat ini misalnya terdengar kala masyarakat Bangka, Belitung, Riau ingin mengikatkan diri dalam satu wilayah bernama Provinsi Baberi.
Namun, semangat perjuangan ini terhenti lantaran Riau kurang memberi respon dan ingin membentuk provinsi sendiri, seperti saat ini.
Belajar dari tahun 1956, semangat mewujudkan Babel menjadi provinsi muncul kembali 1966-1970. Pada tahun 1956 diakui perjuangan kurang memasyarakat dan terkesan hanya dimotori elit politik lokal saja.
Maka pada tahun 1966-1970, perjuangan lebih teroganisir dengan proses pelembagaan di DPRD-GR (DPRD Gotong Royong) oleh ketiga daerah saat itu, yakni DPRD-GR Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Kabupaten Belitung.
| Pendidikan Karakter di Era Digital: Tantangan Serius bagi Generasi Belitung |
|
|---|
| Menanti Regulasi Tutor Nonformal |
|
|---|
| Reformasi Birokrasi Budaya: Saatnya Tata Kelola Kebudayaan Babel Lebih Terbuka dan Berpihak |
|
|---|
| Hikmah Peringatan Hari Pahlawan bagi Peserta Didik |
|
|---|
| Buku Lawang Uma, Pintu Rumah yang Menjadi Simbol Perjalanan bagi Penulisnya |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251016_Anton-Kibar.jpg)