Tribunners

Mendorong Polisi Menjadi Bestinya Masyarakat 

Berusaha jadi pribadi yang sederhana  dalam bekerja maupun keseharian, termasuk keluarga  inti. Hindari flexing di dunia nyata atau maya.

Editor: suhendri
Istimewa/ dok pribadi Dwi Haryadi
Dwi Haryadi - Dosen Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung  

 

Oleh: Dwi Haryadi - Dosen Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung 

MENYEBUT polisi, yang tebersit adalah sosok berseragam rapi, pistol di pinggang, walaupin tidak semuanya, dan yang sering terlihat biasanya sedang mengatur lalu lintas di jam sibuk atau sedang ada razia kendaraan. Selebihnya masih banyak dan tersebar di unitnya masing-masing yang jarang kita jumpai.

Persepsi publik atau masyarakat terhadap kepolisian beragam sesuai dengan penilaian, pengalaman, dan seberapa dekat dengan sosok polisi dalam kesehariannya. Yang jelas pascareformasi, sesuai amanah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan pemisahan kelembagaan TNI dan Kepolisian sesuai peran dan fungsinya masing-masing.

Peran dan Fungsi

Berdasarkan Undang-Undang Polri, perannya adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sementara fungsinya adalah menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam menjalankan fungsi dan peran tersebut, penilaian dan kepercayaan publik dapat dikatakan pasang surut. Adakala trennya positif, namun tidak sedikit juga pada momentum tertentu karena perilaku oknum yang viral menjadi sasaran empuk netizen.

Saat ini. Tim Percepatan Reformasi Polri sedang bekerja keras untuk mengurai permasalahan terkait kinerja Polri, mendengarkan aspirasi dan mendapatkan masukan dari banyak pihak, yang output akhirnya merumuskan kebijakan sebagai agenda reformasi Polri ke depan. Tim yang digawangi oleh Prof Jimly Assiddiqie dengan deretan anggota yang tentu kompetensinya tidak diragukan lagi, termasuk ada Kapolri di dalamnya. Besar harapan publik hasil kerja tim dapat membawa lembaran baru Bhayangkara yang humanis, modern, bersih, dan selalu berada di tengah-tengah masyarakat.

Tugas Bersama

Melalui peran dan fungsinya, sebenarnya ada beban kerja yang berat di pundak kepolisian. Namun sekali lagi, harus kita pahami bersama juga bahwa beban penegakan hukum hakikinya tidak menjadi tanggung jawab Polri semata. Polisi hanya satu dari sekian subsistem sosial masyarakat. Penegakan hukum juga harus dimaknai tidak sebatas upaya penindakan yang sifatnya represif, tetapi juga ada daya upaya pencegahan menjadi bagiannya.

PBB sudah lama dalam konvensinya menyebutkan bahwa ranah pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang strategis adalah langkah-langkah preventif. Lebih jauh, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa penegakan hukum dimulai sejak hukum itu dibuat. Jadi penegakan hukum juga tugasnya para legislator.

Akar pelanggaran dan kejahatan yang pemicunya multikompleks seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan, daya saing yang lemah, kebutuhan meningkat, lapangan kerja yang terbatas, dan lain sebagainya menunjukkan butuh kolaborasi dan sinergi pencegahan maupun penindakannya.

Intinya, kepolisian tidak bisa kerja sendiri untuk mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, ditambah lagi penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian harus menjadi bagian dari masyarakat dan sebaliknya, untuk dapat mewujudkannya.

Jadi Bestinya Masyarakat

Dengan jargon Polri yang memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayan masyarakat, tentu menuntut profil polisi yang mencerminkan perilaku melindungi, mengayomi, dan melayani. Menurut penulis, paling tidak ada 12 sikap atau perilaku yang dapat mendorong kepolisian optimal dalam menjalankan ketiga jargonnya tersebut dan diterima masyarakat sebagai bestinya, yaitu istilah kekinian yang menggambarkan hubungan yang erat, sahabat dekat, saling support, dan tentu saling percaya satu sama lain.

Pertama, komunikatif, yaitu mampu berkomunikasi efektif yang santun, ramah, dan  berusaha jadi pendengar yang baik. Kedua, responsif yakni mampu memberikan pelayanan yang cepat, sederhana, aksesibilitas tinggi baik secara offline maupun online, menerima kritikan dan transparan. Ketiga, adaptif. Artinya, dapat cepat menyesuaikan diri dan memahami kearifan lokal. Keempat, kontekstual, bukan hanya tekstual. Maksudnya komprehensif melihat kejadian, atau perkara, normatif yang progresif.

Kelima, punya empati, yaitu memiliki rasa kepedulian dan kepekaan di tengah-tengah masyarakat. Keenam, jadi penegak HAM dengan bekerja berorientasi pada nilai-nilai HAM, hak korban, hak pelaku, hak publik. Terukur sesuai kondisi, utamakan persuasif dan pembinaan. Ketujuh, terus berkolaborasi. Menjadi bagian dari masyarakat, membangun kemitraan dengan  tokoh pemuda, mahasiswa, perempuan, adat, masyarakat, agama,  dunia usaha, dan lain sebagainya.

Kedelapan, menjadi inklusif, bukan eksklusif melalui internalisasi dan melibatkan semua komunitas yang ada, memperkuat edukasi budaya hukum di semua lini. Kesembilan, hitech. Terus berinovasi, modernisasi untuk penegakan hukum dan pelayanan prima yang jauh dari pungli. Kesepuluh, menjadi panutan. Polisi harus jadi contoh nyata warga yang taat hukum, jadi cermin bagi masyarakat sekitar. Satu contoh lebih baik dari seribu nasihat.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved