Tribunners

Membangun Ekonomi Hijau yang Tangguh: Strategi ESG untuk Keberlanjutan di Bangka Belitung

ESG menawarkan kerangka komprehensif untuk mentransformasi tantangan lingkungan Bangka Belitung menjadi peluang ekonomi berkelanjutan

Editor: suhendri
Dokumentasi Rio Rahmatullah
Rio Rahmatullah - Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Rio Rahmatullah dan Miftahul Ilham -  Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung

BANGKA BELITUNG hari ini berdiri pada persimpangan kritis dalam lintasan pembangunannya. Selama puluhan tahun, ekonomi daerah ini bertumpu pada ekstraksi timah—sebuah sektor yang pernah menjadi tulang punggung penerimaan daerah, penyerapan tenaga kerja, sekaligus mesin penggerak ekonomi masyarakat. Namun, ketergantungan berlebihan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan kini telah mencapai titik jenuh. Produksi timah menghadapi tekanan multidimensional, baik dari sisi regulasi, konsesi, maupun cadangan alam yang semakin menipis.

Data Kementerian ESDM (2024) mengonfirmasi bahwa 91 persen cadangan timah nasional terkonsentrasi di Bangka Belitung, dengan cadangan terukur mencapai 1,43 juta ton logam timah dan sumber daya mencapai 2,53 juta ton. Meski angka ini terlihat besar, realitas produksi menunjukkan tren penurunan drastis yang mengancam keberlanjutan ekonomi daerah. 

Dalam situasi seperti ini, arah pembangunan tidak lagi dapat berorientasi semata pada eksploitasi. Diperlukan transformasi fundamental menuju model ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis pada prinsip prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). ESG bukan sekadar tren global atau pemanis laporan perusahaan, namun juga kerangka strategis yang dapat mengubah tantangan lingkungan menjadi peluang ekonomi baru, sekaligus memastikan kesejahteraan jangka panjang bagi generasi mendatang.

Krisis timah dan urgensi diversifikasi

Kondisi sektor timah Bangka Belitung saat ini menunjukkan tanda-tanda krisis struktural yang tidak bisa diabaikan. Produksi timah nasional anjlok dari 65.000 ton pada 2023 menjadi hanya 45.000 ton pada 2024, penurunan hampir 31 persen dalam satu tahun. Kontribusi Indonesia terhadap pasokan timah global pun merosot dari 17,5 persen menjadi hanya 12 persen. PT Timah, sebagai produsen utama, mengalami penurunan produksi bijih timah sebesar 32 persen pada semester I-2025, dari 10.250 ton menjadi 6.997 ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan produksi ini disebabkan oleh kombinasi faktor teknis dan alamiah yang kompleks. Pertama, berkurangnya jumlah alat produksi, khususnya kapal isap yang menjadi tulang punggung penambangan laut. Kedua, intensitas cuaca ekstrem pada 2025 yang lebih panjang dibanding tahun-tahun sebelumnya mengganggu operasional penambangan, terutama di laut. 

Meski PT Timah mengklaim cadangan mereka mencapai 807.000 ton yang cukup untuk 20 tahun operasi, angka ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Cadangan tersebut hanya akan bertahan jika dikelola secara ketat dan efisien, tanpa memperhitungkan degradasi lingkungan dan biaya sosial yang ditimbulkan. Kenyataannya, timah adalah sumber daya yang tidak terbarukan, dan ketergantungan pada satu komoditas menciptakan kerentanan ekonomi yang berbahaya bagi keberlanjutan daerah. Penurunan produksi timah bukan hanya soal angka, tetapi sinyal bahwa model ekonomi ekstraktif telah mencapai batas keberlanjutannya.

Lebih jauh, penurunan pangsa pasar global Indonesia dari 17,5 persen menjadi 12 persen menunjukkan hilangnya posisi kompetitif di pasar internasional. China, sebagai produsen terbesar dengan produksi 95.000 ton dan cadangan 720.000 ton, terus mendominasi pasar global. Sementara itu Australia, dengan cadangan terbesar di dunia mencapai 9,57 juta ton, memiliki potensi ekspansi produksi yang jauh lebih besar. Dalam lanskap kompetisi global ini, Indonesia perlu segera melakukan diversifikasi ekonomi untuk menghindari marginalisasi dalam rantai nilai timah global.

Beban lingkungan yang tidak terlihat

Di balik angka-angka produksi timah, terdapat biaya lingkungan yang sangat besar, namun sering kali tidak terlihat dalam perhitungan ekonomi konvensional. Sebuah kasus korupsi pertambangan timah di Bangka Belitung mengungkap kerugian lingkungan yang mencapai Rp 271,06 triliun berdasarkan perhitungan ahli lingkungan IPB menggunakan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014. Angka fantastis ini mencakup kerugian ekologi, ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan, baik di kawasan hutan maupun non-kawasan hutan.

Data Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2016) mencatat bahwa Bangka Belitung memiliki 124.838 hektare lahan bekas tambang timah yang terdegradasi—79.163 hektare di Pulau Bangka dan 45.675 hektar di Pulau Belitung. Lahan-lahan ini sebagian besar terdiri dari pasir tailing dengan komposisi mineral sukar lapuk seperti kuarsa, zirkon, dan limonit yang menyebabkan tanah menjadi sangat rendah unsur hara dan tidak subur. Kondisi ini menghambat regenerasi hutan, menurunkan keanekaragaman hayati, dan mengubah struktur ekosistem secara permanen.

Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Bangka Belitung pada 2021 mencapai 72,05, turun 1,45 poin dari tahun sebelumnya, meskipun masih dalam kategori baik menurut KLHK. Namun, detail di balik angka agregat ini mengungkap kerusakan yang lebih serius. Indeks kualitas air (IKA) turun drastis menjadi 58,37, di bawah target KLHK, akibat pencemaran dari limbah tambang yang mengalir ke sungai dan laut. Indeks kualitas udara (IKU) juga mengalami penurunan meski masih di atas target. Yang paling mengkhawatirkan, indeks kualitas lahan masih berada dalam klasifikasi "kurang" meskipun sedikit meningkat menjadi 40,1.

Dampak pertambangan timah juga meluas ke ekosistem laut. Seiring menipisnya cadangan di darat, operasi pertambangan beralih ke laut, menyebabkan pencemaran air laut dan kerusakan terumbu karang. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bangka Belitung (2016) menyebutkan bahwa di beberapa daerah di Kabupaten Bangka, kerusakan terumbu karang mencapai 57,06 persen akibat penutupan pori-pori terumbu oleh lumpur limbah. Dengan 79,90 persen wilayah Bangka Belitung berupa perairan dan garis pantai sepanjang 2.189,55 kilometer yang melebihi Hawaii, kerusakan ekosistem laut ini berdampak langsung pada sektor perikanan dan pariwisata yang seharusnya menjadi pilar ekonomi alternatif.

Tambang timah ilegal yang masih merajalela memperparah situasi ini. Operasi tanpa izin sering mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan, menyebabkan penebangan hutan, perusakan sungai, dan degradasi habitat satwa endemik seperti buaya muara. Hutan mangrove dan kawasan pesisir yang menjadi habitat penting makin menyusut, memaksa satwa keluar mencari habitat baru yang berujung pada konflik dengan manusia.

ESG sebagai kerangka transformasi

Environmental, Social, and Governance (ESG) menawarkan kerangka komprehensif untuk mentransformasi tantangan lingkungan Bangka Belitung menjadi peluang ekonomi berkelanjutan. ESG bukan sekadar standar pelaporan korporat, tetapi paradigma pembangunan yang mengintegrasikan perlindungan lingkungan, kesejahteraan sosial, dan tata kelola yang baik dalam setiap keputusan ekonomi. ​

Dimensi environmental (lingkungan) dalam konteks Bangka Belitung harus fokus pada rehabilitasi lahan bekas tambang, perlindungan ekosistem laut dan pesisir, serta transisi menuju energi terbarukan. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan lebih dari 3.000 GW yang didominasi oleh energi surya menurut laporan Indonesia Energy Transition Outlook. Bangka Belitung, dengan karakteristik kepulauan dan paparan sinar matahari yang tinggi, memiliki peluang besar untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya skala komunitas dan komersial.

Dimensi social (sosial) harus menjawab pertanyaan: bagaimana memastikan transisi ekonomi tidak meninggalkan masyarakat pekerja tambang? Riset FEB UGM dan Bank Indonesia (2025) mengungkap bahwa 87,81 persen UMKM di Indonesia belum mengadopsi praktik bisnis hijau, terutama karena hambatan regulasi, akses pembiayaan, dan kapasitas teknis.

Program pemberdayaan UMKM hijau menjadi kunci untuk menciptakan lapangan kerja alternatif bagi pekerja sektor tambang yang terdampak. Program seperti BNI BUMI (UMKM Ramah Lingkungan) yang telah menyalurkan Rp38,9 miliar kepada 164 pelaku usaha, atau kredit usaha rakyat (KUR) hijau dengan bunga lebih rendah, dapat diadaptasi untuk konteks Bangka Belitung.

Dimensi governance (tata kelola) memerlukan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang konsisten. Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) yang diluncurkan OJK memberikan kerangka regulasi yang mendorong penerapan ESG di sektor keuangan Indonesia, termasuk standar pelaporan keberlanjutan dan insentif untuk investasi hijau. Pemerintah daerah Bangka Belitung perlu mengintegrasikan prinsip ESG dalam RPJMD, anggaran daerah, dan kebijakan izin usaha untuk memastikan konsistensi implementasi.

Potensi ekonomi hijau Bangka Belitung

Bangka Belitung memiliki aset-aset strategis yang dapat menjadi fondasi ekonomi hijau. Geopark Belitung yang resmi ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark pada April 2021 merupakan aset berharga yang menggabungkan geologi, keanekaragaman hayati, dan nilai budaya. Geopark ini menjadi geopark keenam di Indonesia dan telah memberikan dampak signifikan bagi sektor pariwisata berkelanjutan. Pada 2024, Kabupaten Belitung optimistis mempertahankan status UNESCO Global Geopark dengan terus memperkuat program konservasi dan edukasi geologi.

Sektor pariwisata berkelanjutan berbasis geopark, ekowisata bahari, dan wisata budaya memiliki potensi besar untuk menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa tanpa merusak lingkungan. Dengan garis pantai yang lebih panjang dari Hawaii dan 950 pulau kecil, Bangka Belitung dapat mengembangkan pariwisata bahari yang berbasis pada konservasi terumbu karang dan ekosistem laut, sekaligus meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat dan wisatawan.​

Ekonomi sirkular berbasis pengolahan limbah tambang juga menawarkan peluang inovatif. Pasir tailing yang selama ini menjadi beban lingkungan dapat diolah menjadi bahan bangunan ramah lingkungan atau produk bernilai tambah lainnya melalui teknologi pengolahan mineral yang tepat. Rehabilitasi lahan bekas tambang dapat dikombinasikan dengan program agroforestri yang menghasilkan produk pertanian bernilai ekonomi tinggi sekaligus memulihkan fungsi ekologis lahan.

Sektor UMKM hijau, khususnya kerajinan berbahan ramah lingkungan, produk organik, dan jasa pariwisata berkelanjutan, dapat menjadi tulang punggung ekonomi baru. Program pendampingan menyeluruh di aspek produksi, keuangan, dan pemasaran sangat diperlukan untuk mendorong transformasi UMKM konvensional menjadi UMKM hijau. Insentif pembiayaan seperti bunga lebih rendah untuk KUR hijau, dana hibah melalui kompetisi inovasi hijau, dan pendampingan CSR perusahaan dapat mempercepat adopsi praktik hijau di kalangan UMKM.

Strategi implementasi bertahap

Implementasi ESG dan ekonomi hijau di Bangka Belitung memerlukan strategi bertahap yang realistis dan terukur. Tahap pertama (1-2 tahun) harus fokus pada penguatan regulasi dan kelembagaan. Pemerintah daerah perlu merevisi RPJMD untuk mengintegrasikan target ESG yang konkret dan terukur, membentuk satuan tugas khusus ekonomi hijau yang melibatkan perguruan tinggi, swasta, dan masyarakat sipil, serta memperkuat penegakan hukum terhadap pertambangan ilegal dan pelanggaran lingkungan.

Tahap kedua (2-3 tahun) fokus pada pembangunan kapasitas dan infrastruktur. Ini termasuk program pelatihan massal untuk pekerja tambang dalam keterampilan ekonomi hijau seperti ekowisata, agroforestri, dan kerajinan ramah lingkungan. Pengembangan pusat inovasi dan inkubator UMKM hijau di setiap kabupaten/kota akan memfasilitasi transformasi bisnis. Pembangunan infrastruktur pendukung seperti solar farm skala prioritas, fasilitas pengolahan limbah tambang, dan jalur pariwisata berkelanjutan juga menjadi kunci.

Tahap ketiga (3-5 tahun) adalah skalasi dan integrasi penuh. Pada tahap ini, model-model ekonomi hijau yang telah terbukti berhasil diduplikasi dan diskalakan ke seluruh wilayah. Kolaborasi investasi hijau antara pemerintah, swasta, dan lembaga keuangan internasional diperkuat untuk membiayai proyek-proyek berskala besar. Sistem monitoring dan evaluasi berbasis data digital diterapkan untuk memastikan akuntabilitas dan perbaikan berkelanjutan.

Keberhasilan strategi ini memerlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah daerah, dukungan regulasi dan insentif dari pemerintah pusat, partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha, serta kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk riset dan pengembangan teknologi hijau. Tanpa kolaborasi multi-pihak yang solid, transisi menuju ekonomi hijau akan menghadapi hambatan struktural yang sulit diatasi.

Membangun masa depan yang berkelanjutan

Bangka Belitung berada pada titik balik sejarah. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan apakah daerah ini akan terus terjebak dalam ketergantungan pada timah yang makin menipis dan meninggalkan warisan kerusakan lingkungan, ataukah mampu bertransformasi menjadi model ekonomi hijau yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa model ekstraktif telah mencapai batasnya—produksi timah menurun drastis, cadangan makin tipis, dan beban lingkungan makin berat.

ESG menawarkan jalan keluar yang realistis dan berbasis bukti. Dengan mengintegrasikan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam setiap keputusan pembangunan, Bangka Belitung dapat mentransformasi tantangan menjadi peluang. Geopark UNESCO, kekayaan biodiversitas laut, potensi energi terbarukan, dan kreativitas masyarakat lokal adalah aset-aset yang dapat dioptimalkan untuk membangun ekonomi yang tidak hanya menghasilkan nilai ekonomi, tetapi juga melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan sosial.

Transformasi ini bukan proses yang mudah atau instan. Namun, dengan strategi bertahap yang terukur, komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan, dan dukungan kebijakan yang konsisten, Bangka Belitung dapat menjadi contoh sukses transisi ekonomi hijau di Indonesia. Masa depan yang berkelanjutan adalah masa depan yang kita bangun bersama, hari ini. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved