Tribunners
Penguatan Perlindungan untuk Guruku
Menguatkan perlindungan bagi guruku berarti menguatkan masa depan anak-anak kita.
Oleh: Luthfi Amrusi, S.H., S.Pd. Gr - Sekretaris PGMI Raya Kabupaten Bangka Selatan, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba
SETIAP 25 November, kita memperingati Hari Guru. Setiap tahun momen ini selalu menghadirkan rasa haru mengingatan kita tentang sosok yang sabar menuntun, tentang nasihat yang kadang baru kita pahami bertahun tahun setelah itu serta tentang ketulusan yang sering tak sempat mereka ungkapkan dengan kata-kata. Namun, di tengah semua penghormatan itu, ada satu hal yang seharusnya kita renungkan dengan jujur: apakah para guru sudah benar-benar mendapatkan perlindungan yang layak dari negara?
Konstitusi sudah memberi amanat jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab negara. Tetapi dalam praktiknya, guru yang menjadi ujung tombak seluruh amanat itu masih berjalan dengan payung regulasi yang belum cukup kokoh.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 memang memberi landasan profesi, tetapi belum sepenuhnya menjawab kebutuhan nyata di lapangan: bagaimana guru dilindungi dari risiko kriminalisasi, bagaimana mereka mendapatkan pendampingan hukum, dan bagaimana mekanisme penyelesaian masalah dapat menjaga martabat mereka sebagai pendidik. Tidak sedikit kasus menunjukkan bahwa ketika terjadi miskomunikasi dengan orang tua atau terjadi kesalahpahaman dalam disiplin kelas, guru sering kali berdiri sendirian.
Bagi guru madrasah, tantangannya bahkan berlapis. Dualisme kewenangan antara Kemenag dan Kemendikbud sering kali menghasilkan kebijakan yang tidak seragam, termasuk dalam hal perlindungan profesi. Putusan Mahkamah Konstitusi juga telah mengingatkan pentingnya harmonisasi regulasi agar guru tidak menjadi korban ketidakpastian hukum. Namun, hingga menjelang Hari Guru tahun ini, gagasan menghadirkan sebuah Undang Undang Perlindungan Guru atau penguatan regulasi masih belum sepenuhnya tampak sebagai prioritas.
Karena itu, peringatan Hari Guru besok selayaknya bukan hanya ajang ucapan terima kasih, tetapi juga momen untuk mendorong kehadiran regulasi yang lebih manusiawi bagi mereka. Guru tidak menginginkan kemewahan; mereka hanya butuh rasa aman ketika mengajar, butuh kepastian bahwa negara berada di sisi mereka ketika mereka menjalankan tugas. Penguatan perlindungan bukan hanya perkara hukum, tetapi juga penghormatan terhadap martabat profesi yang bekerja membentuk karakter bangsa satu anak demi satu anak.
Dengan demikian, Hari Guru adalah pengingat lembut bahwa kualitas masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan mereka yang mendidik generasi hari ini. Jika guru adalah cahaya yang menyala di ruang-ruang kelas, maka negara berkewajiban menjaga agar cahaya itu tidak meredup oleh ketidakpastian.
Menguatkan perlindungan bagi guruku berarti menguatkan masa depan anak-anak kita, dan itu adalah langkah
paling manusiawi yang dapat dilakukan oleh sebuah negara. (*)
| Membangun Ekonomi Hijau yang Tangguh: Strategi ESG untuk Keberlanjutan di Bangka Belitung |
|
|---|
| Buku Catatan Kasus Siswa |
|
|---|
| Membangun Ekosistem Sekolah Inklusif yang Berkeadilan: Refleksi atas Praktik di SDN 4 Koba |
|
|---|
| Peran Strategis Humas dalam Mem-branding PTKIN di Era Digital |
|
|---|
| Penyiar Radio Lokal: Wajah Humanis Pemerintah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251124_Luthfi-Amrusi.jpg)