Tribunners
Refleksi Konseptual dan Sosial atas Kepahlawanan di Indonesia
Masyarakat tidak lagi cukup dengan menghafal nama-nama pahlawan, melainkan perlu meneladani nilai yang mereka perjuangkan.
Selama ini, narasi kepahlawanan nasional cenderung berpusat pada figur laki-laki, perjuangan militer atau politik, serta wilayah utama di Jawa dan Sumatera.
Banyak kisah perjuangan perempuan, komunitas adat, tokoh minoritas, dan pegiat kemanusiaan yang belum diangkat dalam arus utama.
Kondisi ini membuat masyarakat lokal sulit menemukan cermin diri dalam narasi nasional.
Kepahlawanan yang inklusif berarti mengakui keberagaman latar perjuangan — sosial,
lingkungan, budaya, pendidikan, dan kemanusiaan.
Perubahan ini menuntut pergeseran dari pahlawan tunggal menuju aksi kolektif lintas
komunitas serta memberi ruang bagi “pahlawan tanpa gelar” yang mencerminkan daya tahan
moral masyarakat akar rumput.
Nilai-nilai lama seperti keberanian dan pengorbanan perlu diterjemahkan ulang dalam
konteks zaman.
Keberanian kini berarti menolak korupsi dan manipulasi publik, pengorbanan
berarti mengutamakan kepentingan sosial dan lingkungan, sementara nasionalisme berarti
kepedulian aktif terhadap kemanusiaan universal.
Dengan demikian, kepahlawanan yang inklusif adalah kesediaan untuk berjuang tanpa
harus dikenal serta keberanian memperjuangkan nilai kemanusiaan lintas batas identitas. (*)
| Filsafat Administrasi Pemilu: Dimensi Aksiologi Transparansi dan Moralitas Pemilihan Serentak 2024 |
|
|---|
| Peraturan Daerah sebagai Magnum Opus |
|
|---|
| Menjaga Stabilitas Ekonomi Bangka Belitung di Penghujung 2025 |
|
|---|
| Manfaat Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga |
|
|---|
| Dari Piring MBG Menuju Prestasi Siswa |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251108-Bambang-Haryo-Suseno-pemerhati-budaya.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.