Tunjangan Keluarga Pahlawan Nasional, Selain Berhak Rp57 Juta Dapat Apa Lagi? Ini Rinciannya

Ahli waris keluarga Pahlawan Nasional berhak mendapatkan bantuan tahunan dari negara.

Penulis: Rusaidah | Editor: Rusaidah
KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). Mereka berjasa dari berbagai babak sejarah Indonesia 

Ia lahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya yang bernama Kertosudiro bekerja sebagai petani dan pembantu lurah untuk mengairi sawah desa.

Ketika beranjak dewasa, ia mulai bekerja menjadi pembantu klerk di Volks Bonk atau bank desa yang terletak di Wuryantoro.

Karier Soeharto di PETA mulai menanjak ketika ia dipromosikan menjadi chudanco atau komandan kompi.

Baca juga: Profil Mayjen Febriel Buyung Sikumbang, Kasatgas PKH Halilintar Sergap Praktik Tambang Ilegal Babel

Perjalanan kariernya terus melesak, ia ditunjuk oleh MPRS menjadi Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967.

Ia dilantik menjadi Presiden pada 27 Maret 1968. Dari sinilah, rezim Orde Baru dimulai.

Rezim Orde Baru berakhir setelah Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden pada 21 Mei 1998. 

Mundurnya Soeharto bertepatan dengan unjuk rasa besar-besaran yang melibatkan mahasiswa dan elemen lainnya di sejumlah wilayah, seperti Jakarta dan Solo.

Selama memangku jabatan sebagai presiden, sosok Soeharto tidak bisa dilepaskan dari berbagai kontroversi, terutama kasus pelanggaran HAM berat.

2. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – Jawa Timur

Gus Dur disebutkan sebagai pahlawan dengan perjuangan politik dan pendidikan Islam.

Semasa hidupnya, Gus Dur juga memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Tanah Air.
 
Dikutip dari laman Perpustakaan Nasional RI, Gus Dur lahir di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. 
 
Ayahnya, KH Wahid Hasyim, dikenal sebagai tokoh penting pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara ibunya, Sholehah, adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, KH Bisri Syamsuri.
 
Ia tercatat belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, pada 1964–1966, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Baghdad, Irak, hingga 1970. 

Ia juga sempat melanjutkan studi di Universitas Leiden, Belanda.

Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur memilih berkarier sebagai pendidik. Pada 1971 ia mengajar di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng, Jombang. 

Momentum besar datang pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984, ketika Gus Dur terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia akhirnya melepas posisi tersebut ketika menjabat Presiden ke-4 RI, menggantikan BJ Habibie.

Sebagai presiden, Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralisme. Salah satu contohnya ketika mencabut larangan perayaan Imlek melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2001 yang menjadikan Imlek sebagai hari libur.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved