Tribunners
Guru Dalam Disrupsi Moral Digital dan Tergerusnya Otoritas Pendidikan Oleh Budaya Media Sosial
Guru yang menjadi sumber utama nilai, ilmu, dan keteladanan kini bersaing dengan influencer, kreator konten, dan algoritma media sosial
Penulis Muhammad Isnaini
(Dosen Pengembangan Media dan Sumber Belajar UIN Raden Fatah Palembang)
Era digital menghadirkan perubahan besar dalam struktur otoritas moral dan pengetahuan di ruang pendidikan.
Guru yang selama ini menjadi sumber utama nilai, ilmu, dan keteladanan kini harus bersaing dengan figur baru yang muncul dari ruang maya para influencer, kreator konten, dan algoritma media sosial yang lebih sering dipercaya siswa.
Fenomena ini menandai terjadinya disrupsi moral digital, yakni pergeseran otoritas moral dan epistemik dari institusi pendidikan formal ke ruang digital yang diatur oleh logika viralitas dan popularitas (Turkle, 2011).
Dan era digital tidak hanya mengubah cara siswa memperoleh informasi, tetapi juga bagaimana mereka membentuk persepsi tentang kebenaran dan otoritas.
Dalam konteks budaya digital, keabsahan suatu pengetahuan tidak lagi ditentukan oleh sumber akademik atau otoritas formal seperti guru, melainkan oleh seberapa besar konten tersebut mendapat pengakuan sosial melalui likes, shares, atau komentar positif (Couldry, 2012).
Hal ini menciptakan bentuk baru dari epistemic authority, di mana popularitas menggantikan kompetensi sebagai tolok ukur kebenaran. Akibatnya, guru kehilangan posisi simbolik sebagai figur otoritatif dalam membentuk horizon moral dan intelektual siswa, karena dunia digital menawarkan otoritas alternatif yang tampak lebih dekat, cepat, dan menyenangkan.
Fenomena ini memperlihatkan pergeseran nilai dari culture of discipline menuju culture of entertainment. Seperti dijelaskan oleh Postman (1985) dalam Amusing Ourselves to Death, masyarakat modern cenderung menilai segala hal berdasarkan daya hiburnya, bukan kedalaman isinya.
Ketika logika hiburan mendominasi ruang belajar digital, pendidikan moral yang bersifat reflektif dan menuntut kesabaran menjadi kurang diminati.
Guru, yang mengajarkan nilai melalui proses dan keteladanan, kini menghadapi generasi yang dibentuk oleh algoritma kepuasan instan. Inilah bentuk paling nyata dari disrupsi moral digital di mana makna digantikan oleh sensasi, dan kebijaksanaan digantikan oleh viralitas.
Pergeseran Otoritas dalam Ekosistem Digital
Sistem pendidikan tradisional, seperti guru memiliki legitimasi moral dan intelektual yang diakui secara sosial. Namun kini, kekuasaan simbolik tersebut mulai memudar.
Masyarakat jaringan (network society) membentuk sistem sosial baru di mana sumber otoritas tidak lagi bergantung pada posisi institusional, melainkan pada kemampuan mengelola arus informasi.
Dalam konteks ini, siswa lebih banyak mengonsumsi dan mempercayai informasi dari media sosial, yang seringkali dikemas dengan gaya menarik dan emosional, dibandingkan penjelasan rasional guru di ruang kelas.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.