Tribunners

Guru Dalam Disrupsi Moral Digital dan Tergerusnya Otoritas Pendidikan Oleh Budaya Media Sosial

Guru yang menjadi sumber utama nilai, ilmu, dan keteladanan kini bersaing dengan influencer, kreator konten, dan algoritma media sosial

Editor: Fitriadi
Dokumentasi Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini, Dosen Pengembangan Media dan Sumber Belajar UIN Raden Fatah Palembang. 

Media sosial, melalui sistem likes dan komentar positif, secara tidak sadar memperkuat perilaku konsumtif terhadap konten yang menyenangkan, bukan yang bermakna. 

Generasi Z yang tumbuh di lingkungan digital mengalami dopamine loop siklus kepuasan sesaat yang terus diperbarui oleh interaksi daring. Hal ini menjadikan nilai-nilai seperti kesabaran, tanggungjawab, dan integritas  yang diajarkan guru melalui proses panjang tampak membosankan dan tidak relevan. Maka, bukan hanya otoritas guru yang tergerus, tetapi juga daya tahan moral siswa terhadap distraksi digital semakin melemah.

Sistem algoritmik ini tidak netral. Ia memiliki agenda ekonomi dan ideologis yang menempatkan perhatian pengguna sebagai komoditas utama (attention economy) (Hassan, 2020). 

Dengan menonjolkan konten yang memicu emosi, algoritma mempersempit ruang bagi refleksi moral yang tenang dan mendalam. Akibatnya, siswa hidup dalam echo chamber, di mana mereka hanya terpapar pandangan yang memperkuat keyakinan dan selera pribadi, tanpa pernah mengalami perdebatan nilai yang sehat.

Dalam kondisi demikian, tugas guru bukan sekadar menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menuntun siswa keluar dari jebakan algoritmik dengan menumbuhkan kesadaran kritis dan etika digital. Inilah tantangan baru bagi pendidikan moral di era digital, bagaimana menanamkan nilai dalam dunia yang diatur bukan oleh guru, melainkan oleh kode dan data.

Secara psikologis, generasi digital ini hidup dalam budaya attention economy, di mana perhatian menjadi komoditas utama (Hassan, 2020). Akibatnya, pesan moral guru sering dianggap “kurangmenarik” dibandingkan hiburan yang dikemas dengan visual dinamis, humor, atau narasi personal.

Di sinilah otoritas moral guru terdisrupsi bukan karena mereka kehilangan nilai, tetapi karena cara mereka berkomunikasi tidak sesuai dengan pola perhatian digital siswa.
Fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui perspektif teoriuses and gratifications (Katz, Blumler, & Gurevitch, 1974), yang menyatakan bahwa individu secara aktif memilih media yang mampu memenuhi kebutuhan psikologis dan sosialnya.

Bagi generasi digital, media sosial bukan sekadar sarana informasi, tetapi juga ruang identitas, ekspresi diri, dan validasi sosial. Karena itu, mereka lebih tertarik pada pesan yang memberikan resonansi emosional dan keterlibatan personal dibandingkan dengan pesan moral yang normatif.

Guru yang masih menggunakan pendekatan konvensional sering gagal menyesuaikan diri dengan dinamika ini. Maka, agar pesan moral dapat diterima, guru perlu mengadaptasi strategi komunikasinya dengan menggabungkan pendekatan naratif, visual, dan empatik bukan hanya menyampaikan nilai, tetapi juga menghadirkan nilai tersebut dalam bentuk yang komunikatif, autentik, dan relevan dengan dunia digital siswa.

Krisis Kompetensi Literasi Digital Guru

Salah satu akar persoalan terletak pada kesenjangan literasi digital antara guru dan siswa.

Menurut Buckingham (2013), media literacy bukan sekadar kemampuan teknis menggunakan media, tetapi kemampuan kritis dalam memahami bagaimana media membentuk makna, nilai, dan identitas.

Sayangnya, banyak guru di Indonesia masih memandang media sosial sebatas hiburan atau ancaman, bukan ruang pembelajaran moral baru. Padahal, generasi Z memandang dunia digital sebagai perpanjangan diri mereka sendiri.

Ketika guru tidak hadir di ruang digital, maka ruang itu akan diisi oleh figur lain yang tidak selalu membawa nilai edukatif. Oleh karena itu, pelatihan guru perlu bergeser dari sekadar digital skills ke arah digital communication ethics dan digital pedagogy, agar pesan moral dapat disampaikan dengan bahasa dan gaya yang sesuai dengan ekosistem budaya digital siswa.

Kesenjangan literasi digital antara guru dan siswa tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga bersifat kultural dan epistemologis.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved