Tribunners
Guru Dalam Disrupsi Moral Digital dan Tergerusnya Otoritas Pendidikan Oleh Budaya Media Sosial
Guru yang menjadi sumber utama nilai, ilmu, dan keteladanan kini bersaing dengan influencer, kreator konten, dan algoritma media sosial
Generasi guru yang tumbuh di era pra-digital terbiasa dengan pola berpikir linear, hierarkis, dan berbasis otoritas formal, sedangkan generasi Z hidup dalam dunia yang bersifat decentralized dan participatory (Jenkins, 2009).
Mereka membangun makna melalui interaksi, kolaborasi, dan pengalaman visual yang intens. Akibatnya, metode pembelajaran yang berpusat pada guru sering kali tidak sejalan dengan cara berpikir siswa digital yang lebih horizontal dan interaktif.
Jika guru tidak memahami logika budaya digital ini, maka ia akan kesulitan menanamkan nilai moral karena menggunakan bahasa yang tidak lagi “beresonansi” dengan dunia simbolik siswa.
Selain itu, keterlambatan adaptasi guru terhadap perkembangan media digital juga disebabkan oleh minimnya dukungan kelembagaan dan kebijakan pendidikan yang berpihak pada penguatan kompetensi digital guru.
Program pelatihan yang ada umumnya masih menekankan aspek administrative seperti penggunaan platform e-learning atau aplikasi ujian daring tanpa menyentuh dimensietis dan pedagogis dari komunikasi digital. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Rheingold (2012), digital literacy sejati menuntut kemampuan berpikir kritis, etis, dan kolaboratif dalam ruang siber.
Dengan membekali guru pada tiga aspek tersebut etika, empati, dan ekspresi digital, maka guru dapat menjadi mediator moral yang relevan di tengah budaya algoritmik, bukan sekadar pengguna pasif teknologi.
Reposisi Peran Guru dalam Budaya Digital
Pada konteks disrupsi moral digital ini, guru tidak bisa lagi hanya menjadi penyampai ilmu, tetapi harus bertransformasi menjadi digital mentor pembimbing nilai dan makna di tengah banjir informasi.
Teori konstruktivismesosial (Vygotsky, 1978) menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dan budaya, dengan demikian ruang digital justru dapat menjadi wahana pembentukan nilai jika guru mampu hadir secara bermakna di dalamnya.
Guru juga perlu menegaskan kembali ethos profesionalnya sebagai penjaga nalar kritis dan empati moral. Seperti dikatakan Freire (1970), pendidikan sejatinya adalah praktik pembebasan, bukan indoktrinasi.
Dalam era digital, pembebasan itu berarti menuntun siswa untuk tidak menjadi budak algoritma, melainkan subjek moral yang sadar akan nilai, makna, dan tanggungjawab sosialnya di ruang maya.
Mewujudkan peran sebagai digital mentor, guru perlu mengintegrasikan pendekatan pedagogi reflektif dan humanistik dalam aktivitas digitalnya.
Menurut Mezirow (1991), pembelajaran yang transformatif terjadi ketika individu diajak merefleksikan asumsi dan pengalaman mereka secara kritis untuk membentuk pemahaman baru yang lebih bermakna.
Dalam konteks ini, guru tidak hanya menjadi fasilitator pembelajaran kognitif, tetapi juga penuntun refleksi moral di tengah kompleksitas informasi digital.
Dengan memanfaatkan media sosial atau platform digital secara bijak, misalnya melalui diskusi etika daring, proyek kolaboratif berbasis nilai, atau konten edukatif yang inspiratif guru dapat menanamkan kesadaran moral yang relevan dengan dunia siswa.
Dengan demikian, ruang digital bukan lagi ancaman bagi pendidikan, melainkan menjadi laboratorium moral baru tempat nilai, nalar, dan empati dapat tumbuh dalam format yang sesuai dengan zaman.
Penutup
Disrupsi moral digital bukan akhir dari otoritas guru, tetapi panggilan untuk bertransformasi. Guru masa kini ditantang untuk tidak hanya menguasai ilmu dan teknologi, tetapi juga menjadi narator moral di tengah banjir informasi.
Dunia digital memang telah mengubah cara siswa belajar dan mencari panutan, namun peran guru tetap esensial sebagai penjaga nurani di tengah kebisingan algoritma.
Seperti ditegaskan oleh Noddings (2013), inti pendidikan adalah care atau kepedulian. Dan kepedulian itu tidak bisa digantikan oleh influencer mana pun, karena ia lahir dari relasi manusiawi yang tulus, yang menjadi jiwa sejati dari profesi guru.
Transformasiperan guru di era disrupsi moral digital juga menuntut keberanian untuk menegosiasikan kembali makna pendidikan itu sendiri.
Pendidikan tidak lagi cukup dimaknai sebagai transfer pengetahuan, tetapi sebagai proses meaning making membangun makna hidup di tengah kompleksitas dunia digital (Biesta, 2015).
Tugas guru bukan hanya mengajarkan apa yang benar, tetapi juga membantu siswa memahami mengapa sesuatu bernilai benar dalam konteks kemanusiaan dan kebersamaan.
Dengan demikian, otoritas guru di masa depan tidak akan diukur dari seberapa banyak informasi yang ia miliki, tetapi dari seberapa dalam ia mampu menyentuh hati dan menuntun kesadaran moral generasi digital.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.