Tribunners

Guru Dalam Disrupsi Moral Digital dan Tergerusnya Otoritas Pendidikan Oleh Budaya Media Sosial

Guru yang menjadi sumber utama nilai, ilmu, dan keteladanan kini bersaing dengan influencer, kreator konten, dan algoritma media sosial

Editor: Fitriadi
Dokumentasi Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini, Dosen Pengembangan Media dan Sumber Belajar UIN Raden Fatah Palembang. 

Budaya media sosial juga menumbuhkan digital tribalism, yaitu kecenderungan anak muda membentuk komunitas nilai berdasarkan minat digital bersama, bukan lagi nilai-nilai moral yang diwariskan melalui pendidikan formal (Jenkins, 2016).

Akibatnya, orientasi moral siswa bergeser dari ketaatan pada norma menjadi kesetiaan pada figur digital yang dianggap “relatable”.

Perubahan lanskap sosial ini memperlihatkan bahwa legitimasi moral dan intelektual kini tidak lagi bersumber dari status profesional, melainkan dari performativitas digital kemampuan seseorang menampilkan diri secara menarik dan persuasif di dunia maya (Goffman, 1959; boyd, 2014).

Para influencer dan kreator konten dengan cepat merebut perhatian siswa karena mereka mampu menghadirkan pesan yang singkat, emosional, dan mudah dipahami.

Di sisi lain, gaya komunikasi guru yang masih berorientasi pada model instruksional satu arah sering kali dianggap kaku dan kurang relevan dengan konteks kehidupan digital siswa. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan gaya komunikasi antargenerasi, di mana otoritas berbasis substansi kalah oleh otoritas berbasis narasi dan estetika digital.

Selain itu, media sosial menciptakan ruang interaksi semu yang memberikan ilusi kedekatan antarasiswa dan tokoh digital.

Dalam ruang ini, figur-figur populer tampil bukan sebagai otoritas moral yang menasihati, tetapi sebagai teman sebaya yang “memahami” perasaan dan kegelisahan pengikutnya. 
Seperti dikemukakan oleh Thompson (2005), media modern membentuk bentuk baru dari hubungan para sosial, di mana khalayak merasa memiliki koneksi emosional dengan tokoh publik yang sebenarnya tidak mereka kenal secara personal.

Relasi semacam ini membuat pesan dari guru sering kali terasa jauh dan formal, sementara pesan dari influencer tampak hangat dan otentik, meskipun sering kali dangkal secara substansi.

Fenomena digital tribalism di atas memperkuat pergeseran ini dengan menciptakan ruang nilai yang terfragmentasi. Siswa kini lebih terikat pada identitas digital kelompoknya entah itu komunitas penggemar, forum gim, atau grup media sosial tertentu yang membentuk sistem moral dan bahasa sendiri.

Nilai kebersamaan dan solidaritas yang dulu dibangun melalui sekolah kini bergeser menjadi solidaritas virtual yang berbasis algoritma kesamaan minat (Jenkins, 2016).

Dalam situasi seperti ini, peran guru tidak hanya terancam secara fungsional, tetapi juga secara kultural. Guru menghadapi tantangan untuk tidak sekadar mentransfer ilmu, melainkan juga merebut kembali ruang moral yang kini diisi oleh budaya digital dengan menawarkan kehadiran yang relevan, reflektif, dan bermakna bagi generasi yang hidup di bawah dominasi algoritma.

Ketika Algoritma Menggantikan Nasihat

Fenomena ini semakin kompleks karena algoritma media sosial bekerja dengan prinsi pengagement-based system, yakni menampilkan konten yang paling sering diklik, disukai, atau dibagikan. 

Bagi generasi Z, sistem ini menciptakan realitas moral baru yang ditentukan bukan oleh kebenaran, melainkan oleh popularitas (Pariser, 2011). Dengan demikian, pesan pendidikan guru yang berbasis nilai, proses, dan kedisiplinan kerap kalah oleh konten instan yang memberi kepuasane mosional cepat.

Menurut disiplin dan konteks psikologi pendidikan, kondisi ini berkaitan erat dengan teori reinforcementdari B.F. Skinner (1953), di mana perilaku manusia cenderung terbentuk oleh pola penguatan yang berulang.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved