Tribunners

Timah, Monasit, dan Thorium: Kedaulatan Energi Bangka Belitung

Dari timah yang menghidupi masa lalu, menuju thorium yang dapat menerangi masa depan itulah harapan bersama

Editor: suhendri
Dokumentasi Luthfi Amrusi
Luthfi Amrusi, S.H. - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba 

Oleh: Luthfi Amrusi, S.H. - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba

KETIKA malam tiba dan cahaya listrik menyinari rumah-rumah di Bangka Belitung, kita jarang bertanya dari mana sebenarnya sumber energi yang menyalakan kehidupan itu berasal? Siapa yang sesungguhnya berdaulat atasnya? Dan apakah setiap warga sudah benar-benar merasakan manfaat dari kekayaan alam yang dianugerahkan di tanah ini?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu sesungguhnya menyentuh hal yang amat mendasar tentang kedaulatan energi dan tanggung jawab negara dalam mengelola sumber daya strategis demi kemakmuran rakyat.

Sebagian orang di kampung sering berkata, “Asak ade listrik, ati pun seneng, Nak. Tapi jangan sampai terangnye sebentar, gelap ngulak pulek.” Kalimat sederhana ini terdengar ringan, tetapi mengandung makna dalam terang sejati bukan hanya berasal dari nyala lampu, melainkan dari kepastian hidup yang adil dan terjamin bagi rakyatnya.

Selama ini Bangka Belitung dikenal sebagai negeri timah. Namun di balik sisa tambang yang mulai menua, tersimpan mineral lain yang justru lebih berharga yaitu monasit, yang mengandung thorium dan unsur tanah jarang (rare earth elements) bahan baku penting bagi pembangkit listrik tenaga nuklir dan teknologi energi hijau masa depan.

Dalam konteks global, thorium dianggap sebagai sumber energi baru yang lebih bersih, aman, dan berkelanjutan. Ironisnya, potensi besar ini masih tertidur di tanah sendiri, menunggu kebijakan yang berani dan berpihak agar bisa memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Konstitusi kita, melalui Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya, pengelolaan energi bukan semata persoalan ekonomi, tetapi amanat konstitusional yang menuntut keberpihakan pada rakyat. Namun dalam praktiknya, kebijakan energi di Indonesia masih sering diwarnai tarik-menarik antara kepentingan publik dan pasar (OECD
(2021).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan memang membuka ruang bagi keterlibatan swasta dan asing dalam penyediaan listrik, tetapi di sisi lain menimbulkan kekhawatiran: jangan sampai peran negara kian menyempit menjadi sekadar pengawas, bukan pengendali utama.

Kini, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBET) tengah dibahas untuk menata arah transisi menuju energi bersih. Harapannya, undang-undang ini bukan hanya mendorong investasi, tetapi juga memperkuat prinsip penguasaan negara atas sumber energi strategis seperti thorium. Sebab, jika transisi energi dilakukan tanpa kendali dan kejelasan tanggung jawab hukum, yang muncul bukanlah kedaulatan, melainkan ketergantungan baru dalam wajah modern.

Maka wajar bila masyarakat bertanya: apakah negara siap mengelola energi baru ini secara mandiri? Apakah daerah seperti Bangka Belitung akan dilibatkan dalam pengelolaannya? Dan sejauh mana rakyat akan ikut merasakan manfaatnya?

Bangka Belitung memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor energi hijau di Indonesia. Daerah ini dapat bertransformasi dari ekonomi berbasis tambang menuju ekonomi berbasis inovasi energi. Pemerintah daerah, dunia usaha, dan lembaga riset seperti BRIN dapat berkolaborasi membangun pusat riset thorium dan energi baru terbarukan.

Namun, langkah tersebut harus disertai kehati-hatian. Pengolahan monasit tak boleh mengabaikan keselamatan, lingkungan, dan kesehatan masyarakat. Sebab, kedaulatan sejati bukan hanya tentang siapa yang menguasai sumber daya, tetapi tentang siapa yang mampu menjaga manusia dan alamnya agar tetap selaras dan berkeadilan.

Peringatan Hari Listrik Nasional tahun ini, yang jatuh pada 27 Oktober 2025, semestinya menjadi pengingat bahwa listrik bukan sekadar terang di rumah-rumah, melainkan simbol janji negara kepada rakyat. Kemajuan sejati bukan diukur dari banyaknya tiang listrik atau kabel yang terbentang, melainkan dari seberapa adil hasilnya dirasakan oleh rakyat kecil. Dari timah yang menghidupi masa lalu, menuju thorium yang dapat menerangi masa depan itulah harapan bersama. Namun, hal ini tidak semudah kita bayangkan karena perlu perjuangan dan dukungan dari semua pihak.

Semoga cahaya yang kita nyalakan bukan hanya mengusir gelap di rumah-rumah, tetapi juga menyalakan hati dan kesadaran bahwa kedaulatan energi adalah bagian dari martabat bangsa. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved