Harga Sawit

Harga Sawit Anjlok Kapan Naik Lagi? Sri Mulyani Jawab dengan Penghapusan Pungutan Ekspor CPO

Harga sawit anjlok diharapkan bisa naik lagi dengan adanya kebijakan penghapusan pungutan ekspor CPO hingga 30 Agustus 2022

Editor: Dedy Qurniawan
TRIBUNNEWS/Jeprima
ilustrasi- Kapan harg sawit naik lagi? Harga sawit anjlok diharapkan bisa naik lagi dengan adanya kebijakan penghapusan pungutan ekspor CPO hingga 30 Agustus 2022 

"Bukan penurunan pungutan ekspor CPO tapi penghapusan Pungutan Ekspor CPO yang agar harga TBS bisa kembali naik setelah jatuh hingga di bawah Rp 1.000 per kg, di mana sebelum di kisaran Rp 3.500 per kg," kata dia, Rabu (13/7).

Menurut Muhammdyah, jika pungutan ekspor ini masih ada, maka masih akan membebani harga TBS sawit petani. Sebab, pabrik kelapa sawit (PKS) tidak mau memikul pungutan ekspor tersebut sendirian.

"Sebab jika masih ada pungutan ekspor CPO akan tetap dibebankan pada harga TBS petani oleh PKS (pabrik kelapa sawit) nantinya," lanjut dia.

Oleh sebab itu, APPKSI berharap agar Sri Mulyani menghapuskan pungutan ekspor CPO. Terlebih selama ini petani menilai jika pungutan ekspor hanya digunakan untuk mensubsidi Industri Biodiesel yang juga memiliki perkebunan sawit besar dan PKS yang besar.

Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Dr Hamdan Zoelva ikut meminta pemerintah untuk menghentikan sementara pungutan ekspor sawit.

"Petani sawit sudah menjerit dan meminta agar pungutan ekspor dihentikan karena imbasnya ke harga TBS. Hentikan dulu pungutan ekspor dan penggunaan dana yang dihimpun BPD PKS untuk biodiesel," tegasnya.

Selain itu, dia juga menilai alokasi dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ) tersebut perlu dievaluasi.

Menurut Hamdan, Undang-undang no 39 tentang Perkebunan memang membolehkan adanya penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan.

Namun tidak ada peruntukan bagi subsidi biodiesel. Dalam pasal 93 penggunaannya untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan, Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan.

Dalam perkembangan berikutnya, lanjut Hamdan, lahir PP No. 24, tanggal 25 Mei 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.

Dalam pasal 9 diatur penggunaan dana, salah satunya untuk bahan bakar nabati (biofuel). Di luar itu, juga digunakan pengembangan Perkebunan, pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan, dan hilirisasi industri Perkebunan.

"Dari aturan tersebut jelas, dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel. Tapi prakteknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," tegasnya.

Hamdan mengingatkan bahwa tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis pernyataan tentang potensi korupsi pungutan ekspor sawit.

"Subsidinya salah sasaran. Dinikmati oleh korporasi besar yang oknum pejabatnya tersangkut kasus korupsi minyak goreng," pungkasnya.

Baca juga: Harga Sawit Anjlok, Timah Murah, Anak Mau Sekolah, Emak-emak di Bangka Belitung Harus Rela Jual Emas

Sebelumnya, dua organisasi petani sawit yakni Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pemerintah bertindak cepat melakukan pencabutan aturan penghambat ekspor dan kebijakan pungutan ekspor.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved