Bangka Pos Hari Ini
Dewan Kesenian Seolah Mati, Seniman Bangka Belitung Tak Punya Panggung
Sudah 36 tahun, pria yang kerap disapa Pak Cik Kario ini menekuni budaya berpantun.
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Sudah 36 tahun, pria yang kerap disapa Pak Cik Kario ini menekuni budaya berpantun.
Dari usia 9 tahun katanya, hingga saat ini, dia masih terus ingin melestarikan budaya pantun,
budaya milik orang Melayu.
Namun, warga asal DesaMKurau, Bangka Tengah ini merasa pelaku seni pemantun kurang menjadi perhatian dari pemerintah daerah.
Hal ini mengkhawatirkannya, sebab dia takut kurangnya perhatian dari pemerintah daerah dapat menurunkan minat pemantun untuk terus berkarya.
“Saya lihat di Bangka Belitung tidak seperti di Kepri (Kepulauan Riau), kita kurang perhatian dari
pemerintah daerah. Kita sebagai seniman pantun itu hanya diperlukan pada waktu tertentu, setelah itu tidak dipakai lagi,” ujar Pak Cik Kario, Kamis (26/1/2023).
Padahal menurut penyiar radio ini, Bangka Belitung adalah suatu rumpun melayu, tentu ada pantun.
“Di mana ada Melayu di situ ada pantun, di mana ada pantun di situ ada melayu, karena kita melayu kepulauan,” kata Pak Cik Kario.
Sejauh ini, dia merasa belum ada panggung yang dapat menampung pemantun dalam berkarya melestarikan budaya pantun.
“Misal di Malaka, saya pernah ke sana, di situ ada perkampungan seni, mereka bisa berkarya.
Kita harap terketuk hati pemerintah daerah kita untuk membuat tempat kita berkarya, tidak hanya pantun tapi seluruh seni,” imbuhnya.
Dia berharap ke depannya budaya pantun tetap terus lestari dan ada penerusnya hingga nanti.
“Saya ingin melestarikan pantun di Babel, menjamur seperti jamur di musim hujan, banyak artinya. Kalau saya meninggal dunia, akan lahir pewaris-pewaris saya atau pemantun,” kata
Pak Cik Kario.
Pak Cik Kario adalah satu dari sekian banyak penggiat seni di Babel yang merasa kurang diperhatikan pemerintah.
Kondisi ini sebenarnya tidak perlu terjadi, apabila Dewan Kesenian Babel sebagai wadah seniman dan pelaku budaya dalam upaya menjaga dan melestarikan sekaligus mewariskan seni budaya kepada generasi penerus, tetap eksis.
Namun saat ini keberadaan Dewan Kebudayaan Babel antara ada dan tiada, karena tidak
adanya kegiatan signifikan yang dilakukan untuk melestarikan dan pengembangan seni budaya daerah.
Meredup Budayawan Yan Megawandi menyebut Dewan Kesenian sejatinya selain memang mengemban tugas untuk melestarikan budaya Babel juga harus mampu mengembangkan
seni dan budaya di Babel.
“Kita sebetulnya berharap Dewan Kesenian itu menjadi wadah berkumpul, wadah berdiskusi antar seniman yang mungkin genre seninya berbeda. Ada yang seni, lukis, musik, pahat,
keramik, dan macam-macam lainnya, dan semuanya itu seniman,” sebut Yan kepada Bangka
Pos, Jumat (27/1/2023).
Menurut dia, yang menjadi alasan utama Dewan Kesenian ini pudar satu di antaranya para seniman masih kekurangan ruang untuk menyalurkan hobi yang disukai.
Bahkan kata Yan, untuk Dewan Kesenian Bangka Belitung belum sempat eksis sama sekali, hanya ada beberapa dewan kesenian di kabupaten yang sempat menonjol.
“Bahasa yang paling bisa mewakili kondisi saat ini saya kira perlu ditingkatkan, karena ada
beberapa kesenian yang menurut saya sudah baik aktivitasnya seperti musik, tarik suara, tetapi ada seni yang lain perlu diperhatikan seperti seni ukiran ga ada sama sekali kalau sekarang,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Yan yang juga menjabat Widyaiswara Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Daerah (BKPSDMD) Bangka Belitung, perlu ada panggung untuk
para seniman di Babel.
“Ini tuh harus dipancing, harus diberikan dulu panggungnya. Dulu di Bangka Belitung itu ada
Festival Serumpun Sebalai yang menjadi icon dan pengikat para seniman, dan sekarang sudah tidak ada lagi. Padahal festival itu lebih dominan seni tari sebetulnya tapi dari tarian itu melibatkan banyak seniman, mulai dari perancang baju, koreografi, tata panggung,
tata musik, cukup banyak melibatkan seniman, akan bagus mungkin untuk diaktifkan kembali,”
paparnya.
Bahkan menurutnya, Festival Serumpun Sebalai kala itu bak menjadi peserta keseniannya Bangka Belitung.
Diakuinya, keahlian dan minat kesenian yang cukup luas sehingga membuat wadah
yang bisa menyamankan para seniman itu yang menjadi tidak mudah.
“Dan apalagi seniman ini kan orang-orang yang sangat kreatif, dan spontan. Tapi bukan berarti tidak mungkin mereka bersatu, kalau mereka punya keinginan untuk membentuk Dewan Kesenian ini pasti bisa dilakukan,” tuturnya.
Jauh dari Budaya
Sementara penulis buku dan pemerhati sosial Bangka Belitung, sekaligus budayawan Ahmadi Sofyan menilai, Dewan Kesenian Babel seperti sudah mati suri.
Menurutnya, pemerintah juga seperti tak peduli dan tidak mau berbuat apapun terhadap seni dan budaya, kecuali menjadikannya sekedar serimonial belaka.
“Kita akui, mati surinya Dewan Kesenian yang ada ini semakin membuat masyarakat kita jauh dari seni dan budaya lokal. Padahal dengan adanya Dewan Kesenian itu bagian dari bagaimana konsep seni dan budaya daerah bisa terakomodir, terkoordinir dan menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat lokal,” tegas Ahmadi Sofyan kepada Bangka Pos,
Sabtu (28/1/2023) malam.
Dia menyebut, kurangnya kepedulian masyarakat itu sendiri terhadap keberadaan seni dan budaya daerah menjadi faktor mati surinya Dewan Kesenian Babel.
Ia menyayangkan, anak-anak muda masa kini sedikit sekali tahu akan keberadaan dewan
kesenian Babel, padahal budaya adalah bagian penting dari peninggalan
para leluhur.
“Dewan kesenian itu bagaikan pepatah, hidup segan, mati dak pati renyek (hidup segan mati tak mau-red), mengapa? Karena kebutuhan dana, sarana prasarana, sangat penting, edangkan kehidupan ekonomi pelaku seni dan budaya itu seringkali kembang kempis (Susahred) lalu kepedulian pemerintah nyaris tidak ada,” tuturnya.
Apalagi, kata Ahmadi Sofyan yang dikenal dengan panggilan Atok Kulop ini, dewan kesenian
kurang canggih dalam memahami dan mengkondisikan perubahan zaman.
Makanya perlu dibangun wawasan kecanggihan dalam menganalisa perubahan zaman
sehingga memiliki konsep mengembangkan seni dan budaya daerah.
“Ruang yang ada saat ini sebetulnya sangat terbuka, apalagi dengan kecanggihan teknologi dantransparannya media, semua bisa berkreasi dan menunjukkan kreativitas diri, salah satu imbasnya adalah sisi ekonomi,” terangnya.
Dia menegaskan, ada tidak ada dewan kesenian, atau lembaga-lembaga lain yang namanya
seni dan budaya itu sangat penting karena ia adalah karakter daerah dan karakter bangsa.
“Negeri yang tidak menghiraukan seni dan budaya adalah negeri yang tidak memiliki karakter,
sehingga pasti mudah ngerasok (kesurupan-red) atau dirasok, baik dari dalam maupun dari luar. Seni dan budaya itu ibaratnya adalah imun tubuh, supaya tidak mudah tamak angen (masuk angin-red),” pungkasnya. (s2/t2)
| Kejati Babel Upayakan Damai, Kasus Dugaan Penipuan Wagub Hellyana Masuk ke JPU |
|
|---|
| Gubernur Riau Terjaring OTT di Kafe, Wahid Datang ke KPK Pakai Sandal |
|
|---|
| Timnas Indonesia U-17 Siap Tempur Hadapi Zambia di Laga Perdana Piala Dunia U-17 2025 |
|
|---|
| Gubernur Riau Abdul Wahid dan 9 Pejabat Lain Diterbangkan ke Jakarta Usai Terjaring OTT KPK |
|
|---|
| Masyarakat Penambang Batalkan Unjuk Rasa, Sepakat Harga Timah Rp300 Ribu per Kg |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20230130-bngkpos.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.