Berita Pangkalpinang

Marak Anak Berhadapan dengan Hukum, Oktarizal: Optimalkan Program Berbasis Ramah Anak

Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus menyoroti soal maraknya pemberitaan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

|
Penulis: Cici Nasya Nita | Editor: khamelia
ist
Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus 

Akan tetapi, semata-mata mengandalkan perspektif ini saja tidak cukup. Belum lagi konsep “penjara anak” yang terus ditinjau dan dikaji termasuk sistem Pendidikan di dalamnya," katanya.

Dengan kata lain,  tidak hanya sudah puas dengan menyidangkan anak, lantas memenjarakan anak.

Perlu usaha berkelanjutan jangka panjang dan komprehensif. Dari perspektif teori di atas, penanganan dari aspek hukum semata hanya menyasar dan menghukumi B dan C nya saja.

"Desain penanggulangannya mesti menggunakan pendekatan ekologi sosial yang multilayer-multidimensional, pendekatan ini dapat menyasar dimensi A, B, dan C dalam kerangka teoretik Bandura di atas. Multilayer artinya tidak hanya bertumpu pada penanganan hukum saja, melainkan berbagai lapis ranah. Misalnya, di ranah yang paling subjektif yaitu pengasuhan keluarga," katanya.

Relasi intersubjektif antara anak dan orang tua yang penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, merupakan modalitas awal menumbuhkan personalitas yang anti-kekerasan. Pada ranah pertemanan dan sekolah, misalnya diterapkan nilai-nilai anti-kekerasan, semisal anti-bully, dan sebagainya yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak.

Di ranah lembaga keagamaan dan pendidikan, dapat menyemai nilai-nilai moderasi beragama yang lebih mengedepankan kasih sayang, kerjasama, toleransi dan anti-kekerasan. Jelas sekali, penanganan multilayer ini mesti juga mensyaratkan multidimensional.

"Artinya, keterlibatan aktif dan kolaboratif dari berbagai pihak seperti: pemerintah, akademisi, LSM/ NGO, peneliti dan pengabdi, masyarakat dalam program integratif, inter, multi, dan trans-disiplin," katanya.

Hanya menyebut contoh faktual, di Pangkalpinang secara resmi sudah mulai digalakkan Sekolah Ramah Anak (SRA).

SRA ini dapat dioptimalkan menjadi program yang multilayer-multidimensional dapat menumbuhkan pilar-pilar yang memberdayakan hak-hak anak sejak dini.

"Pilar ini nantinya akan menubuh menjadi habitus yang baik. Program SRA ini sebenarnya relate dengan kota ramah anak, dengan jargon “kota beribu senyuman”.

Jargon ini dapat menjadi tagline yang dapat diturunkan menjadi program nyata. Mungkin dapat diperluas menjadi Kelurahan Ramah Anak, atau Desa Ramah Anak," katanya.

Program-program berbasis ramah anak ini juga dapat menyasar komunitas muda masyarakat seperti pendampingan-pendampingan komunitas sosial secara kultural.

Singkatnya, pendampingan personal profesional, program-program resmi dari pemerintah, dan pendampingan kelompok sosial kultural dapat memperkuat ekologi sosial multilayer-multidimensional yang disebut di atas.

Dengan demikian, pendekatan-pendekatan sosial kultural jangka panjang yang melibatkan berbagai ranah dan trans-disiplin akan mampu melampaui hukum (beyond the law).

"Melampaui (beyond) bermakna bahwa keadilan restoratif yang menjadi ruh UU SPPA dapat ditopang dan didukung dengan modalitas-modalitas yang lahir dari pendekatan multilayer-multidimensional tersebut. Sehingga akhirnya terstrukturasi sebuah sistem keadilan anak (juvenile justice system)," katanya.

Bangkapos.com/Cici Nasya Nita

Sumber: bangkapos.com
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved