Berita Pangkalpinang

Marak Anak Berhadapan dengan Hukum, Oktarizal: Optimalkan Program Berbasis Ramah Anak

Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus menyoroti soal maraknya pemberitaan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

|
Penulis: Cici Nasya Nita | Editor: khamelia
ist
Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus menyoroti soal maraknya pemberitaan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

"Akhir-akhir ini banyak mencuat pemberitaan mengenai fenomena anak terlibat kasus kriminal. Publik tidak cukup hanya membaca data kasar statistik saja, misalnya hanya melihat jumlah total kasus. Variabilitas data perlu juga dicermati oleh berbagai pihak.

Variabilitas yang dimaksud seperti: jenis tindakan kejahatannya (modus operandi), level kerugian korban, dampak psikis saksi, kompleksitas tindakannya semisal: pelecehan seksual, menggunakan senjata tajam, bahkan kombinasi dari berbagai tindakan," ujar Oktarizal, Senin (15/5/2023).

Dia menyebutkan dalam hal, menunjuk kasus viral, baru-baru ini belum hilang ingatan  terhadap kasus pembunuhan anak yang terjadi di Bangka Barat.

Kasus ini merupakan kasus yang mempunyai level kompleksitas berbeda: dari penculikan, pembunuhan, sampai meminta tebusan terhadap keluarga korban. Fenomena menjadi unik sekaligus problematis karena melibatkan suatu subjek, yang disebut sebagai anak.

"Di Indonesia, istilah resmi untuk subjek anak yang terlibat hukum disebut dengan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Secara legal-formal, Anak Berhadapan dengan Hukum (selanjutnya disebut ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana," katanya.

Mengenai peradilan anak, diberikan batasan usia anak yang berhadapan dengan hukum sebagai anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berusia 18 tahun (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak /UU SPPA).

UU SPPA ini saat ini merupakan sebuah payung hukum utama bagi anak dengan ruh keadilan restoratif. UU SPPA merupakan “palu hukum” untuk penanganan koersif.

Akan tetapi, perlu pembacaan mengenai penanganan multi-layer dan dan multidimensi sehingga dapat menopang sistem hukum tersebut (juvenile justice system).

"Apakah ini fenomena ABH ini baru atau memang sebenarnya mempunyai akar dalam kehidupan sosial masyarakat kita? Tindakan kejahatan pada mulanya tidak serta merta “jatuh dari langit”.

Dalam Teori Belajar Sosial Bandura, sebuah tindakan/ perilaku (behavior) merupakan bentuk kompleks psikis yang melibatkan interaksi antara faktor-faktor personal (personal factors) misalnya: kognisi, afeksi, dan biologis, dengan faktor-faktor lingkungan (environmental factors) semisal: kebiasaan, norma, nilai-nilai keluarga, lingkaran pertemanan, imitasi sosial di media sosial, dan nilai sosial kultural masyarakat," katanya.

Jadi, suatu tindakan kejahatan dieksekusi oleh subjek anak tidak dapat dikatakan terjadi begitu saja, tanpa sadar.

Melainkan, suatu akumulasi psikis yang terkondisikan sebelumnya (antecedents’ events). Bahwa ada pengetahuan, perasaan, motivasi, model imitasi, kebiasaan respons masalah, serta normalisasi dari lingkungannya dalam suatu tindakan kejahatan yang dilakukan subjek.

Lebih jauh, dia mengatakan secara faktor personal, menurut Erich Fromm dalam karya klasiknya The Anatomy of Human Destructiveness, secara alamiah naluri agresi merupakan bawaan manusia (innate) dalam mempertahankan hidupnya atau kepentingannya.

Sumber: bangkapos.com
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved