Tribunners

Sosio-Kultural pada Tradisi Baume sebagai Penguatan Karakter Murid dalam Implementasi P5

Dalam tradisi ba-ume, masyarakat tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja bersama.

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Adi Kusumardi, S.T. - Guru SMKN 1 Muntok 

Oleh: Adi Kusumardi, S.T. - Guru SMKN 1 Muntok

TRADISI merupakan kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai budaya yang masih berkembang. Menurut Koentjraningrat (2009:151) tradisi adalah bentuk jamak dari adat istiadat yang berfungsi untuk mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia dalam masyarakat.

Proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) merupakan salah satu ciri implementasi Kurikulum Merdeka di satuan pendidikan. Dengan adanya proyek P5 ini, murid diharapkan memiliki jati diri sebagai profil Pancasila. Dengan mengambil tema kearifan lokal, dapat memilih topik yang diinginkan yang masih memiliki nuansa tradisional, seperti besaoh dan ganjal pada proses ba-ume. Dengan mengambil tema ini, murid dapat mengeksplorasi budaya lokal Bangka Belitung dari berbagai sisi. Hal ini bertujuan agar tradisi besaoh dan ganjal pada proses ba-ume yang unik ini tidak tergerus oleh era modern karena masih terus diminati dan memiliki penggemar di berbagai kalangan.

Tradisi ba-ume sangat berarti bagi masyarakat Bangka Belitung, bahkan hingga saat ini masih diwariskan secara turun-temurun karena menurut masyarakat di desa, tradisi ini dianggap terhormat karena mampu menghasilkan beras merah yang hanya bisa dimakan oleh raja. Tradisi ini juga dilakukan untuk menghormati warisan nenek moyang terdahulu. Meskipun sekarang di era modern, beberapa orang di desa masih terkait erat dengan tradisi ba-ume, karena mereka percaya bahwa tradisi ini membawa berkah dan keamanan yang baik bagi masyarakat.

Pada tradisi ba-ume terdapat sebuah kegiatan yang disebut dengan besaoh dan ganjal. Besaoh merupakan sekumpulan anggota masyarakat yang merupakan tetangga terdekat di desa, bekerja sama dalam kelompok kerja, bekerja sama dan saling bergantian melakukan suatu pekerjaan, berkeliling ke semua anggotanya sampai semua pekerjaan selesai. Jadi ume yang besar bisa diselesaikan dengan bekerja sama tanpa harus membayar banyak uang. Sementara itu, ibu rumah tangga yang bertindak sebagai tuan rumah dalam suatu pekerjaan wajib menyediakan makanan dan minuman kepada anggota kelompok besaoh.

Tradisi ba-ume

Ba-ume adalah proses penanaman padi di ladang, yang biasa dilakukan masyarakat Melayu di Bangka Belitung. Tradisi ba-ume di ladang telah dipraktikkan oleh orang-orang terdahulu selama ratusan tahun. Sebagian warga berpendapat ba-ume tidak hanya menanam padi, tetapi berbagai tanaman pangan, serta umbi-umbian, seperti talas, labu, dan lain-lain.

Pada zaman dahulu, sebelum ba-ume, hal utama yang dilakukan adalah membaca tanda-tanda alam. Sekitar bulan Juli ada fenomena suara burung kekerah (burung keruak) yang saling berteriak merdu di tengah malam, tanda bahwa masyarakat diperbolehkan melakukan persiapan untuk ba-ume. Namun, tanpa sinyal dari para tetua desa, masyarakat enggan memulai tradisi ini, meskipun tanda-tanda alam telah muncul. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesakralan suci ba-ume dengan harapan mendapatkan hasil yang melimpah.

Pada saat inilah para tetua desa berkumpul dan berunding dalam mempersiapkan tradisi ba-ume. Biasanya masyarakat berkumpul di masjid terdekat atau di rumah kepala desa (dukun desa). Para tetua desa mulai memberi isyarat kepada masyarakat untuk mempersiapkan proses ba-ume. Masyarakat mengikuti saran para tetua desa dengan menyiapkan berbagai alat untuk digunakan. Peralatan utama yang harus disiapkan adalah parang, perahu (kapak), palu, keding, dan lain-lain.

Sementara itu, perangkat desa/tetua desa (dukun desa) menyiapkan proses ritual ceriyak (doa selamat) dengan berbagai bahan, seperti pinang, air, cermin dan sebagainya, sebagai prosesi awal pelaksanaan sebelum bersih lahan/nebas pada tradisi ba-ume. Selama periode perayaan ini, masyarakat tidak diperbolehkan mengeringkan pakaian lebih dari 2 jam. Secara filosofis hal ini berkaitan dengan penyerapan air oleh panas sehingga seolah-olah terjadi perubahan cuaca.

Kedua, masyarakat tidak diperbolehkan membawa kayu dengan cara merangkainya (diikat). Ini mengisyaratkan bahwa tanaman membutuhkan ruang untuk tumbuh sehingga memperoleh hasil yang besar. Ketiga, masa ceriyak ini, masyarakat tidak diperbolehkan bekerja untuk hari pertama. Pada hari kedua ceriyak, masyarakat diperbolehkan bekerja mulai pukul 14.00. Setelah hari ketiga periode ceriyak, penduduk desa diizinkan untuk membersihkan lahan.

Sebelum membuka ladang, biasanya dilakukan pekerjaan mencari lahan atau tempat ba-ume yang disebut nyarik utan. Saat pertama kali menginjakkan kaki ke dalam hutan, biasanya masyarakat menyapa para penghuni hutan. Hal ini dilakukan dengan meratap dan meminta izin untuk mencari lahan untuk ba-ume. Pantangan yang dibuat ketika memasuki hutan adalah menyebutkan makanan lezat seperti cacak (makanan yang terbuat dari ketan), dodol, ayam bakar dan sebagainya karena ada kekhawatiran bahwa mereka akan ketinggalan atau mendapatkan bencana yang tidak terduga saat melakukan pekerjaan.

Tradisi ba-ume tidak dapat dilakukan di lahan yang telah digunakan sebelumnya. Tanah untuk proses ba-ume harus digunakan untuk tanah yang telah ditinggalkan selama beberapa tahun atau tanah baru dari perambahan hutan belantara. Ini mengisyaratkan pentingnya kandungan nutrisi tanah atau kesuburan tanah. Ba-ume dengan lahan yang telah dikerjakan beberapa bulan sebelumnya tidak dapat menghasilkan hasil panen yang maksimal.

Sebelum tradisi membersihkan lahan untuk dibakar (nuno), terlebih dahulu menggali parit di pinggir lahan agar api tidak merambat ke lahan yang berdekatan. Hal ini juga bisa dilakukan dengan membuka tepi lahan yang berbatasan dengan hutan dan lahan tetangga. Setelah selesai terbakar, lahan dibiarkan dalam waktu tertentu sampai kondisi tanah sudah dingin yang ditandai dengan meretasnya rumput-rumput. Hal ini menandakan kondisi lahan sudah siap untuk ditanami.

Tahap menugal /menanam benih

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tugal adalah tongkat kayu dan lain-lain yang runcing untuk membuat lubang di tanah tempat benih akan ditanam. Dalam tradisi ba-ume juga menggunakan tugal sebagai alat untuk melubangi tanah untuk menanam benih.

Namun, kayu sebagai bahan pembuatan tugal tidak bisa digunakan sembarangan. Kayu yang digunakan oleh masyarakat adalah kayu pelawan, kayu khas dan unik dari Bangka Belitung yang memiliki warna merah mulai dari akar, ranting dan kayu. Selain kuat dan tahan lama, kayu ini juga menjadi ikon bagi kapal tugal Bangka Belitung yang terbuat dari kayu pelawan yang lebih utuh dibandingkan jenis kayu lainnya.

Tidak seperti biasanya, jika masyarakat lain memulai penugalan dari ujung atau pangkal suatu lahan, maka masyarakat Bangka Belitung memulai proses penugalan dari tengah. Tugal pertama atau pemula dilakukan di tengah ume yang dibuat sekitar 1 meter persegi, keempat sudut ditanam ditaber di tengahnya digantung cermin atau kace. Pada saat ritual pemula inilah masyarakat menaburkan pinang dan menyiramkan air yang telah didoakan oleh perangkat desa/tetua desa (dukun desa) dan sesepuh desa. Hal ini dilakukan sebagai ritual tradisional dalam memohon kepada Sang Pencipta untuk mencegah ume dari berbagai gangguan, seperti hama pengganggu, hewan pengganggu, dan sebagainya.

Setelah proses menugal, pada akhir Agustus, ume mendapat curah hujan pertama, di mana benih padi telah tumbuh beberapa sentimeter. Sejak saat itu, masyarakat kembali ke tradisi melestarikan benih dengan cara merumput. Setiap sore masyarakat akan melakukan tradisi pengasapan di setiap sudut ume. Pada dasarnya filosofi pengasapan ini adalah untuk memberikan kabar kepada lingkungan baik hewan, seperti burung, babi, monyet, lutung, serta masyarakat bahwa ume/ladang tersebut ada yang dimiliki dan penghuninya. Kemudian secara fungsional dengan adanya pengasapan maka dapat memberikan bau menyengat pada daun padi sehingga serangga pengganggu tidak suka mendarat di daun, memakan bakal buah dan buah padi dan hama akan menjauh.

Menuai/ngetem padi

Menuai menurut KBBI adalah memotong padi (dengan ani-ani); panen padi. Bagi masyarakat, menuai atau memanen padi adalah proses terakhir ba-ume. Senada dengan ungkapan Atok Sahir, sebagai tetua desa yang unik, memanen padi untuk masyarakat dilakukan dengan tangan kosong dengan menarik dan menyortirnya dari pangkal buah padi sampai ke ujung. Buah beras yang diperoleh dari proses ngetem beras dikumpulkan dalam wadah yang disebut keding. Keding ini merupakan hasil dari anyaman daun lais atau daun pandan yang menyerupai suyak. Kemudian setiap keding yang penuh akan dipindahkan ke tempat yang lebih besar yang disebut lanjung.

Ngetem padi bagi masyarakat hanya dilakukan dengan menggunakan tangan kosong tanpa menggunakan alat. Hal ini dilakukan karena ada begitu banyak penghormatan masyarakat terhadap padi yang dipanen dan akan dimakan sebagai makanan pokok. Karena itu, masyarakat tidak mau menggunakan peralatan tradisional seperti ani-ani, sabit, bahkan mesin.

Bagi masyarakat, menginjak, memukul, merontokkan padi untuk dimakan sama saja dengan tidak menghargai makanan. Dengan kata lain, tidak bersyukur atas makanan yang telah dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa. Untuk mempercepat proses nugal dan ngetem mendapatkan beras, sepangkalan kembali melaksanakan proses besoh atau ganjal.

Besaoh dan ganjal

Dalam tradisi ba-ume, masyarakat tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja bersama. Tradisi gotong royong ini dapat dilakukan secara berkelompok yang terdiri atas 2 orang yang disebut besaoh. Adapun gotong royong yang melibatkan lebih dari 2 orang disebut ganjal. Proses besaoh dan ganjal dilakukan secara bergantian untuk masing-masing anggota yang mengikuti kegiatan ini hingga masa rotasi sebanyak mungkin anggota selesai. Jadi ume yang besar bisa diselesaikan dengan bekerja sama tanpa harus membayar banyak uang.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat memiliki ume atau pemilik yang luas yang melibatkan banyak warga, bahkan hingga 20 orang. Beberapa dari anggota ada yang menugal dan beberapa lainnya menabur benih. Beberapa wanita juga menyiapkan berbagai makanan tradisional untuk makan siang saat istirahat. Santapan siang dengan nasi merah dengan lauk lempah darat yang dimasak dengan kayu bakar adalah menu utama yang sangat mewah bagi masyarakat.

Saat terik matahari menguras energi hingga muncul kelelahan, terkadang saat istirahat sejenak, tidak jarang pemuda dan pemudi ikut menampilkan berbagai atraksi seni. Musik tradisional dambus yang diiringi tarian remaja putri terkadang terdengar di tengah hutan belantara untuk melepas penat sejenak. Bahkan untuk para pemuda terkadang mereka melakukan lomba bebiteh (gulat lengan lengan).

Pandangan ekonomis ba-ume

Adalah benar bahwa harga beras merah lebih mahal Rp5.000-Rp6.000 per kilogramnya dibandingkan dengan beras putih. Karena harganya yang mahal maka dahulunya beras ini hanya dikonsumsi oleh warga kelas 1 atau para raja.

Selain harganya yang mahal, kandungan serat beras merah ini juga lebih banyak dibandingkan dengan beras putih sehingga sangat digemari oleh para vegetarian. Hal ini menyatakan bahwa secara ekonomis produksi beras merah dapat dijadikan potensi daerah dalam meningkatkan pendapatan per kapita dan APD.

Penguatan karakter murid dalam implementasi P5

Diaktualisasikan di lapangan bahwa metode yang digunakan oleh masyarakat di proses ba-ume tidak menguntungkan. Namun, prosesi besaoh dan gandal telah menghasilkan karakter gotong royong yang kuat, musyawarah, toleransi, religius. Bagi tuan sepangkalan, memiliki ume mendapatkan kepuasan tersendiri karena bisa menerapkan metode ba-ume yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.

Nilai-nilai budaya asing mulai dengan cepat masuk seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kehidupan ekonomi masyarakat berangsur-angsur berubah dari ekonomi agraris menjadi industri.

Industri berkembang maju dan saat ini tatanan kehidupan lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan karena lebih bersifat materialistis. Dengan demikian, nilai gotong royong dalam masyarakat sudah pudar. Untuk itu, perlu penguatan implementasi karakter budaya lokal dalam pelaksanaan P5.

Gotong royong adalah suatu kegiatan dilakukan secara bersama-sama dan sukarela agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar, mudah, dan ringan. Tidak hanya itu, dengan kesadaran perilaku gotong royong, maka hubungan persaudaraan atau persahabatan akan menjadi lebih erat di tengah masyarakat. Budaya gotong royong bangsa Indonesia sudah ada sejak dahulu kala.

Gotong royong merupakan kepribadian bangsa dan merupakan budaya yang memiliki akar yang dalam pada kehidupan masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong, di antaranya: (1) Rasa kebersamaan; (2) Persatuan; (3) Rela berkorban; (4) Tolong menolong; (5) Sosialisasi. Nilai-nilai karakter gotong royong yang dikembangkan pada tradisi besaoh dan ganjal pada proses ba-ume sudah terbentuk sepenuhnya dan dijelaskan karena tanpa pamrih sehingga hal ini berdampak pada pemahaman parsial siswa terhadap perilaku gotong royong.

Toleransi adalah tindakan yang mengacu pada sikap saling menghormati di antara sesama masyarakat. Toleransi bagian dari sikap hormat yang sangat penting untuk menciptakan lingkungan dengan suasana yang damai dan beragam. Sikap toleransi perlu dipersiapkan sejak kecil untuk menjaga perbedaan yang ada di masyarakat, karena Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama yang dapat memicu diskriminasi.

Toleransi dapat juga diartikan suatu kemampuan individu untuk memperlakukan seseorang dengan baik atau kesadaran untuk menerima dan menghargai perbedaan. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam toleransi, di antaranya: (1) Toleransi beragama; (2) Toleransi berbudaya; (3) Toleransi keragaman suku; dan (4) Toleransi sosial budaya. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved