Tribunners

Laut Terkurung, Nelayan Lumpuh: Analisis Hukum Internasional terhadap Blokade Israel di Gaza

Blokade yang dilakukan oleh Israel bertentangan dengan prinsip military necessity, proportionality, dan distinction

Editor: suhendri
Dokumentasi Janeke Kusherawati
Janeke Kusherawati - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada 

Oleh: Janeke Kusherawati - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

DI penghujung tahun 2025, perhatian dunia tertuju pada insiden di laut wilayah Gaza yang memanas akhir-akhir ini. Isarel telah melakukan blokade laut terhadap Jalur Gaza yang menyebakan terhambatnya aktivitas di wilayah perairan laut tersebut.

Tindakan Israel atas blokade laut terhadap Gaza sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2007 dengan dalih keamanan nasional. Awalnya blokade yang dilakukan oleh Israel bertujuan sebagai bentuk perlindungan diri agar tidak terjadinya penyeludupan senjata terhadap Hamas. Namun, kenyataannya dalam beberapa waktu terakhir, blokade ini malah memberikan akibat pada terbatasnya pasokan bahan makanan, obat-obatan, bantuan kemanusiaan ke wilayah Palestina sampai dengan larangan bagi nelayan lokal untuk melakukan aktivitas.

The Palestinian Center For Human Rights (PCHR) mengatakan bahwa blokade yang dilakukan Angkatan Laut di Jalur Gaza sekarang mulai menghalang akses nelayan ke laut dan mencegah mereka melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya. Hal ini sebagaimana disampaikan pada Sabtu, 12 Juli 2025, Israel Occupation Forces (IOF) atau Angkatan Pertahanan Israel mengumumkan sebuah peringatan pemberlakuan pembatasan keamanan ketat di wilayah laut yang berdekatan dengan Jalur Gaza, yang secara efektif melarang semua
akses ke laut. IOF lebih lanjut menyatakan bahwa setiap pelanggaran terhadap pembatasan ini akan ditanggapi dengan langkah-langkah penegakan hukum.

Walaupun demikian, menurut PCHR, sebenarnya larangan ini dan blokade akses ke laut telah diberlakukan sejak hari pertama agresi berlangsung dan bukan merupakan tindakan baru. PCHR baru-baru ini juga mendokumentasikan pasukan Angkatan Laut Israel yang mengejar para nelayan yang mencoba menangkap ikan hanya beberapa meter dari pantai.

Sejak pengumuman penutupan laut, IOF telah menangkap lebih dari 20 nelayan, membawa mereka ke tempat yang tidak diketahui. Tidak hanya itu, ketika kapal-kapal perang IOF menyerang dan menembaki perahu di beberapa daerah mengakibatkan banyak korban luka-luka dan kerusakan yang signifikan pada peralatan penangkapan ikan warga setempat.

Setidaknya, hingga saat ini sda sekitar 202 nelayan yang telah terbunuh sejak dimulainya perang genosida Israel, termasuk 50 orang yang di tembak di laut. Lebih dari 300 orang lainnya terluka, dan lebih dari 90 persen kapal penangkap ikan, gudang, tempat peristirahatan para nelayan hancur. Mulai dari pelabuhan utama Gaza, beberapa pelabuhan kecil, kamar-kamar nelayan, dan peralatan penangkap ikan yang vital. Akibatnya, lebih dari 85 persen aset sektor perikanan di Gaza telah hancur.

Hal itu menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan bagi ribuan keluarga yang sepenuhnya bergantungan pada penangkapan ikan sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian mereka sehingga 5.000 nelayan tidak memiliki sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka atau mengakses sumber pendapatan alternatif.

Tindakan yang dilakukan oleh Israel menimbulkan krisis kemanusiaan yang mendalam karena blokade tersebut menjadi bagian dari pola yang lebih luas dari tindakan sistematis yang bertujuan untuk memperketat kontrol terhadap warga Palestina, membuat penduduk kelaparan, dan menghilangkan salah satu sumber makanan mereka yang tersisa.

Tindakan Israel  tersebut mencerminnkan kebijakan hukuman kolektif yang sebagaimana seharusnya dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian, dalam hal ini menimbulkan pertanyaan yuridis mengenai legalitas blokade yang dilakukan oleh Israel tersebut dalam perspektif hukum internasional, khususnya hukum laut dan hukum humaniter internasional.

Blokade merupakan tindakan penggunaan kekuatan bersenjata di laut yang bersifat koersif (memaksa) karena termasuk kategori enforcement action. Dalam hukum internasional,  blokade diatur dalam dua pengaturan yakni secara hard law atau perjanjian internasional yang mengikat hukum bagi semua negara anggota PBB yakni Piagam PBB, dan juga dalam soft law yang merupakan sebuah aturan yang merefkelsikan kebiasaan internasional yakni San Remo Manual On Internasional Law Applicable to Armed Conflicts at Sea (1994).

Berdasarkan fakta-fakta tesebut, maka tindakan blokade Israel terhadap laut Gaza perlu dianalisis dari perspektif hukum internasional guna menilai sejauh mana tindakan tersebut benar menurut hukum internasional. Pengaturan mengenai blokade dalam hukum internasional menurut Piagam PBB terdapat dalam Pasal 39 dan Pasal 42 Piagam PBB.

Sebelum melakukan blokade dalam Pasal 39 Piagam PBB, Dewan Kemanan PBB memiliki kewenangan untuk menilai apakah situasi ini merupakan ancaman bagi perdamaian dunia, dan kemudian setelah itu Dewan Keamanan PBB dapat memngambil Keputusan. Selanjutnya dalam Pasal 42 Piagam PBB menyatakan bahwa “may decide what measures shall be taken…. Including demonstrations, blocades, and other operations by air, sea, or land forces….” Yang artinya apabila Dewan Keamanan PBB berpendapat bahwa dibutuhkan untuk mengambil tindakan demi perdamaian dan keamanan internasional barulah dapat mengambil tindakan berupa demonstrasi militer, blokade, atau operasi militer lainnya.

Dengan pernyataan Pasal 39 dan 42 dapat kita garis bawahi bahwa yang dapat menentukan adanya blokade atau tidak ialah Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian,  dalam hal ini negara tidak dapat secara sepihak memberlakukan blokade laut terhadap wilayah lain tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB.

Disisi lain, bila kita bahas menggunaan aturan soft law, blokade laut diakui dalam hukum perang laut sebagai salah satu cara untuk melemahkan kemampuan militer musuh. Namun, blokade hanya sah jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam hukum humaniter internasional sebagaimana yang diatur dalam San Remo Manual On Internastional Law Applicable to Armed Conflicts at Sea (1994).

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved