Tribunners
Pendidikan Berpikir Kritis dan Berkomunikasi Asertif
Di samping berpikir kritis, kita perlu mampu berkomunikasi secara asertif
Oleh: Kristia Ningsih - Penulis Lepas
ALKISAH, ada dua ekor domba yang sama umur, bobot, dan kesehatannya. Kedua domba dikurung dalam kandang terpisah. Domba A bersebelahan dengan kandang seekor serigala. Domba B dikurung tanpa melihat serigala. Domba manakah yang lebih cepat mati?
Ketika sekelompok siswa SMK menjawab, mayoritas memilih jawaban sama: domba yang tidak melihat serigala. Menurut mereka, domba tersebut tak punya motivasi hidup seperti domba yang melihat serigala, yang akan selalu memutar otak untuk mencari cara bertahan hidup.
Hanya ada satu siswa yang memilih jawaban berlawanan. Alasannya, "Ya karena stres lah." Jawaban siswa ini sama dengan kesimpulan sang peneliti eksperimen tersebut, Ibnu Sina atau Avicenna dalam buku Al Najat. Serigala tidak akan menyerang domba karena mereka dalam kandang terpisah. Namun, sang domba hanya melihat sisi menyeramkannya saja. Ia pun mati cepat.
Lantas apakah mayoritas siswa tadi kurang kritis dan hanya satu orang yang kritis? Itu hanya simulasi untuk membangun daya logika, bukan putusan final kadar kritis seorang siswa. Contoh pertanyaan di atas masih tidak tampak betul keuntungannya dalam kehidupan. Namun lihatlah kisah berikut:
Seorang gadis hendak direkrut menjadi pegawai sebuah klinik. Syaratnya, ia mengikuti ritual ilmu pencerahan diri. Gadis ini mulai ragu. Ia diminta tidur di hutan pada malam hari dan sendirian. Ia harus datang sendiri ke suatu gubuk pukul tiga dini hari untuk bertemu seorang perekrut yang mengajarkan ritual 'pembersihan diri'.
Ia makin ragu. Walhasil, keraguannya itu benar. Teman-teman sesama pelamar telah menjadi korban 'rakus' seorang laki-laki. Tidak sedikit korbannya. Tidak sebentar perjuangan untuk menguak kasus ini, dari 2017 hingga 2022.
Pikirkan bagaimana bila seorang gadis ini tidak kritis. Mungkin kebejatan ini akan selalu tertutupi, terlindungi, dan terfasilitasi.
Menurut KBBI Daring, berpikir kritis berarti tajam dalam penganalisisan. Dalam tingkat anak-anak, ilustrasi ini mungkin cukup mewakili: seorang anak kecil, anggaplah usianya dua tahun, ditugaskan untuk menutup pintu. Namun ternyata pintu tak dapat ditutup. Melihat hal ini, ada anak yang akan menyerah. Ada pula yang menganalisis dan tahu apa yang membuat pintu tak tertutup. Ia bisa menarik sapu yang mengganjal pintu. Kemudian, ia kembali mendorong. Misi menutup pintu pun selesai. Berpikir kritis mendorong seseorang mampu menyelesaikan masalah.
Di samping berpikir kritis, kita perlu mampu berkomunikasi secara asertif. Komunikasi asertif dapat dikatakan sebagai komunikasi yang terbuka dengan memperhatikan hak-hak dan perasaan orang lain. Dengan komunikasi ini, perbedaan pendapat tidak harus berujung konfrontasi dan kedua pihak mendapat solusi (Burgon dan Hufner, 2002 dalam lm.psikologi.ugm.ac.id).
Sebagai contoh, ketika Anies Baswedan masih memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta diwawancarai oleh pihak Jakarta Post. Ia ditanyai mengenai kunjungannya ke FPI. Dalam wawancara itu, Anies menjawab dengan, "Sebagai seorang yang tinggal di Jakarta, harus mampu berinteraksi dengan siapa saja tanpa harus dengan ide yang sama. Memenuhi undangan FPI adalah salah satunya."
Ia meneruskan wawancara dalam bahasa Inggris itu, "Contohnya, saya mungkin tidak sepemikiran dengan Anda, tetapi saya bisa duduk di sini dan bicara. Kita butuh kepemimpinan yang mampu menghubungkan berbagai macam kelompok."
Di tengah sentimen publik terhadap FPI dan topik SARA, Anies mampu tidak tersinggung. Ia menjelaskan posisinya dengan lugas tanpa harus menjatuhkan lawan bicaranya atau berlebihan membela diri. Inilah contoh komunikasi asertif.
Dalam menghadapi anak kecil, komunikasi asertif menuntut kemampuan negosiasi tinggi sebab anak-anak belum sempurna akalnya. Bayangkan bila anak merengek minta untuk makan, sedangkan ibunya baru menumis bumbu lauk. Bagaimana agar memasak dapat diteruskan dan anak tidak tantrum? Tentu saja bersepakat.
Orang tua dapat memulai dengan simpati, "Adik ingin makan ya?" Saat ia mengangguk, orang tua dapat mulai menjelaskan situasi, "Tapi lauknya belum masak, Sayang. Adik bisa menunggu sebentar kan?" Ketika ia masih menyanggah, orang tua bisa mengajukan pengalihan dengan hal yang ia suka. "Sambil Ibu masak, Adik juga ikut masak ya?"
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20231014_-Kristia-Ningsih-Penulis-Lepas.jpg)