Tribunners
Fenomena Kotak Kosong Dalam Pilkada 2024: Apa Artinya bagi Masa Depan Demokrasi Lokal?
Pemilih memilih kotak kosong, sebuah simbol dari ketidakterpilihannya terhadap calon yang disediakan oleh partai politik ataupun calon independen.
Menurut Pippa Norris (2011), dalam bukunya Democratic Deficits: Institutions and Accountability, kualitas demokrasi sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pemilih merasa bahwa mereka memiliki pilihan yang memenuhi kebutuhan mereka dan dapat mewakili kepentingan mereka secara efektif.
Ketika kotak kosong memperoleh suara mayoritas, ini menandakan bahwa calon yang ada tidak dapat dipercaya atau tidak dianggap memadai oleh sebagian besar pemilih.
Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah yang gagal memenuhi ekspektasi masyarakat menjadi simbol dari kegagalan dalam memberikan pilihan yang layak dan berkualitas.
Robert Dahl (1989), dalam bukunya Democracy and Its Critics, menyatakan bahwa demokrasi yang sejati tidak hanya terletak pada prosedur yang adil, seperti pemilihan yang bebas dan terbuka, tetapi juga pada kualitas pilihan yang disediakan bagi pemilih.
Kemenangan kotak kosong memperlihatkan bahwa pilihan yang ada tidak memenuhi standar tersebut, yang mengarah pada ketidakpuasan politik. Ini mengindikasikan bahwa sistem pemilihan dan pencalonan yang ada tidak dapat lagi memenuhi harapan masyarakat, dan ini dapat dianggap sebagai kegagalan sistem politik dalam menyediakan calon-calon yang layak dan kompeten untuk memimpin daerah.
Protes Pemilih: Ketidakpuasan terhadap Kandidat dan Sistem Pemilihan
Namun, kita juga perlu mempertimbangkan bahwa fenomena kotak kosong bukan sekadar hasil dari kegagalan sistem, tetapi juga bisa dipandang sebagai bentuk protes dari pemilih.
Dalam konteks ini, pemilih yang memilih kotak kosong dapat dipahami sebagai respon terhadap ketidakpuasan mereka terhadap para calon yang diusung oleh partai politik.
Nancy Bermeo (2004), dalam artikel Participatory and Deliberative Democracy, berargumen bahwa ketidakpuasan terhadap politik lokal sering kali diungkapkan melalui partisipasi negatif seperti abstain atau memilih opsi yang tidak ada (kotak kosong). Ini adalah cara bagi pemilih untuk menunjukkan bahwa mereka tidak menemukan calon yang sesuai dengan harapan mereka, bukan karena apatisme terhadap politik secara keseluruhan, tetapi lebih kepada ketidakcocokan antara calon dan kebutuhan daerah.
Lebih lanjut, Michael Saward (2010), dalam bukunya The Representative Claim, menjelaskan bahwa pemilihan bukan hanya soal memilih individu, tetapi juga tentang legitimasi yang diberikan oleh masyarakat kepada calon-calon tersebut.
Ketika masyarakat merasa bahwa calon yang ada tidak mewakili mereka dengan baik, mereka memilih untuk tidak memberikan suara kepada siapa pun. Ini adalah protes terhadap sistem yang mereka anggap gagal mewakili kebutuhan mereka. Dengan kata lain, memilih kotak kosong bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi politik yang disengaja, yang bertujuan untuk memberikan pesan kepada partai politik dan calon-calon bahwa mereka tidak memiliki kredibilitas atau tidak mampu memenuhi aspirasi masyarakat.
Kegagalan Sistem atau Protes? Menyusun Perspektif
Untuk lebih mendalami analisis ini, kita perlu menggabungkan kedua perspektif di atas, yakni kegagalan sistem politik dan protes pemilih.
Benjamin Reilly (2005) dalam Democracy and Diversity: Political Engineering in the Asia-Pacific menjelaskan bahwa kegagalan dalam menyediakan pilihan yang berkualitas sering kali berakar pada sistem pencalonan yang tidak demokratis, yang terlalu dipengaruhi oleh kepentingan elit politik atau ekonomi.
Dalam hal ini, sistem politik yang ada di Indonesia—terutama dalam proses pencalonan kandidat kepala daerah—memungkinkan adanya dominasi oleh aktor-aktor yang kurang peduli terhadap kebutuhan masyarakat. Ini memunculkan perasaan bahwa sistem politik tersebut tidak cukup memberi ruang bagi calon-calon yang benar-benar mengerti dan mewakili aspirasi rakyat.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.