Bangka Pos Hari Ini

Tahun 2024 Momen Kebangkitan Harga Lada, Hanya 50 Kg Bisa Dapat Rp6 Juta

Tahun seakan menjadi momen kebangkitan Lada. Setidaknya demikian jika dilihat dari fluktuasi harga jual Lada

Editor: M Ismunadi
Bangkapos.com/Arya Bima Mahendra
Lada putih Bangka yang siap dijual. Foto diambil Minggu (8/12/2024). 

"Faktor cuaca, sekarang kan cuacanya dak menentu, kadang panasnya lama, kadang hujannya yang lama, jadi mudah mereka (lada-red) tadi terkena penyakit," ujar Hendri saat ditemui di kebun ladanya di Bukit Mangkol pada Rabu (4/12/2024).

Kebun Lada milik Hendri, warga desa Air Mesu di kawasan Bukit Mangkol, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (4/12/2024). Kebun ini berada di kawasan yang memiliki ketinggian 395 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Kebun Lada milik Hendri, warga desa Air Mesu di kawasan Bukit Mangkol, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (4/12/2024). Kebun ini berada di kawasan yang memiliki ketinggian 395 meter di atas permukaan laut (MDPL). (Bangkapos.com/Gogo Prayoga)

Hendri merupakan satu di antara petani Lada di Babel yang masih bertahan. Awalnya dia berharap 600 batang Lada yang ditanam dan dirawat sejak dua tahun lalu itu bisa menjadi ladang rezeki bagi keluarganya di kala ekonomi Babel yang sedang sulit. Apalagi mengingat harga jual Lada yang saat ini dalam tren positif, yakni berada di rentang Rp120 ribu sampai Rp130 ribu.

"Padahal sebelum masuk musim panen saya sudah kepikir dapetnya kira-kira berapa, uangnya nanti saya putar kemana. Cuma tahu-tahu gagal panen, rugi besar ya yang ada," ucapnya sambil tersenyum.

Untuk itu, apa yang menjadi kegagalannya saat ini, menjadi alarm tersendiri bagi dirinya apakah akan kembali menanam lada atau tidak untuk ke depan. "Tetap nanam, cuma kayaknya udah dak banyak lagi. Soalnya takut juga kelak gagal panen lagi, duit lah keluar banyak hasilnya dak seberapa," ujarnya.

Belum lagi sifat harga lada yang tak menentu alias dapat terjun bebas di pasaran, membuat dirinya juga dilema apakah akan kembali jor-joran dalam menanam lada kembali.

"Terus masalah harga ni sebenernya juga buat kami takut-takut. Oke mungkin tengah ni harganya bagus, kami petani jadi niat nanam. Cuma siapa yang tahu pas kami panen nanti harganya anjlok lagi (di bawah Rp100 ribu-red). Itu yang sebenernya juga buat kami bimbang," ungkapnya.

Berbagi dengan Sawit

Serupa disampaikan Nomi, petani Lada yang masih bertahan di Desa Air Mesu Timur. Ia menerangkan, produksi lada yang ia tanam saat ini sudah banyak berbeda dibandingkan masa dulu.

"Dulu waktu saya masih bujang, luar biasa kalau yang namanya nanam lada. Lahan semua tu isinya lada semua pokoknya," ujar Nomi.

Namun karena faktor harga lada yang rendah, rentan terkena penyakit, dan hadirnya komiditi kelapa sawit sebagai penunjang baru ekonomi bagi masyarakat, rupanya ikut mendorongnya untuk mulai mengurangi produksi lada dari tahun ke tahun.

"Kalau kebanyakan orang pas sudah tahu sawit, sudah langsung lepas dari lada, langsung beralih ke sawit semua. Tapi kalau saya tidak, saya tetap nanam, cuma memang lah dak sebanyak dulu lagi," ungkapnya.

Kebun Lada milik Hendri, warga desa Air Mesu di kawasan Bukit Mangkol, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (4/12/2024). Kebun ini berada di kawasan yang memiliki ketinggian 395 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Kebun Lada milik Hendri, warga desa Air Mesu di kawasan Bukit Mangkol, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (4/12/2024). Kebun ini berada di kawasan yang memiliki ketinggian 395 meter di atas permukaan laut (MDPL). (Bangkapos.com/Gogo Prayoga)

Itu pun kata Nomi, lahan yang ia gunakan untuk menanam lada semasa dulu sudah ditanam dengan kelapa sawit. "Jadi lahan ladanya tadi sudah saya pakai buat kebun sawit. Cuma saya akali lagi biar lada itu masih ada, saya tumpang sari di sela kebun sawit tadi," jelasnya.

Nomi menjelaskan, alasan ia masih menanam lada sebenarnya tak sepenuhnya untuk dijadikan sebagai penunjang ekonomi bagi keluarganya, melainkan untuk melestarikan komoditi yang memang sudah menjadi warisan baginya selaku warga asli Bangka Belitung.

"Kalau ditanya motivasi, sebenarnya dak sepenuhnya tentang duit ya. Tapi lebih ke melestarikan warisan nenek moyang kita ini. Karena nanam lada ni memang lah jadi budaya masyarakat kita dulu kan. Jadinya sayang kalau sampai lada kita ini hilang," ujarnya.

Meski begitu, sama dengan Hendri, ia juga berharap agar harga lada di Babel dapat konsisten agar tak menjadi bumerang bagi mereka para petani jika sewaktu-waktu harganya kembali anjlok.

Sumber: bangkapos
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved