Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah

Kejagung akan Bebankan Kerugian Lingkungan Babel Rp 152 Triliun Kepada 5 Perusahaan Smelter

Kejaksaan Agung akan membebankan kerugian lingkungan sebesar Rp 152 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah kepada lima perusahaan smelter timah.

Editor: fitriadi
Tribunnews.com/Gita Irawan
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin saat mengumumkan 5 perusahaan smelter di Bangka Belitung jadi tersangka kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara Rp 300 triliun. 

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) akan membebankan kerugian lingkungan sebesar Rp 152 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 kepada lima perusahaan smelter timah.

Lima perusahaan smelter timah yang beroperasi di Bangka Belitung tersebut antara lain PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Binasentosa (SB), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Internusa (TIN), dan PT Venus Inti Perkasa (VIP).

Kejagung telah menetapkan lima perusahaan tersebut sebagai tersangka kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara total Rp 300 triliiun.

Total kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam kasus ini mencapai Rp271 triliun berdasarkan hasil hitungan ahli lingkungan hidup yang jadi dasar Kejagung dalam dakwaan jaksa penuntut umum.

Sebesar Rp 152 triliun dari Rp 271 triliun tersebut akan dibebankan kepada lima perusahaan smelter yang saat ini sudah berstatus tersangka yang akan dibuktikan di pengadilan.

Sedangkan sisanya masih dihitung oleh BPKP sehingga belum ditentukan akan dibebankan kepada siapa atau perusahaan mana saja. Kejagung juga masih terus mendalaminya dan akan diungkap pada ekspose berikutnya.

Sebelumnya, 17 dari 22 terdakwa sudah divonis hukuman pidana penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Sebagian dari terdakwa tersebut juga dibebankan membayar denda dan uang ganti rugi kerugian negara yang timbul dari masing-masing perbuatan korupsi terdakwa.

Baca juga: Kejagung Disorot Setelah Tetapkan 5 Perusahaan Smelter di Babel Tersangka Korupsi Rp 300 Triliun

Satu di antaranya adalah Harvey Moeis suami dari aktris Sandra Dewi yang divonis pidana 6,5 tahun penjara.

Selain itu, Harvey juga divonis pidana denda sebesar Rp 1 miliar dimana apabila tidak mampu membayar maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

Harvey juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar.

Vonis itu pun memicu kontroversi di publik.

Sejumlah tokoh bahkan mempertanyakan vonis yang dinilai terlalu ringan jika dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

Bahkan ada juga yang mempertanyakan mengapa jaksa hanya menuntut Harvey mengganti rugi sebesar Rp210 miliar mengingat kerugian negara yang dihasilkan akibat perubatannya dan sejumlah pihak lainnya mencapai sekira Rp300 triliun.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutannya yang dibacakan di persidangan telah menuntut terdakwa Harvey Moeis dengan pidana 12 tahun penjara akibat keterlibatannya dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan keuangan negara Rp 300.003.263.938.131,14 (Rp300 triliun).

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. 

Selain itu, jaksa juga mengungkapkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan mencapai Rp271 triliun berdasarkan hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Selain itu, JPU, juga menuntut Harvey membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tersebut?

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khsusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah pun mengakui ada kesimpangsiuran terkait pembebanan uang pengganti kerugian negara Rp300 triliun itu.

Ia menjelaskan ada tiga klaster perbuatan yang mengakibatkan kerugian.

Pertama, kata dia, mengenai adanya kerja sama sewa alat atau smelter pihak swasta dengan PT Timah. 

Kedua, lanjutnya, adanya perbuatan tentang transaksi timah dari PT Timah yang dilakukan penjualan oleh pihak swasta. 

Ketiga, adalah terkait kerugia lingkungan akibat kerusakan ekosistem.

Terkait kerusakan ekosistem, ungkapnya, hakim sependapat bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup ini adalah kerugian negara dalam kualifikasi tindak pidana korupsi.

Namun, hal yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menanggung kerugian kerusakan lingkungan hidup tersebut.

Oleh karena itu, ujarnya, berdasarkan alat bukti, penyidik memastikan peran dan berapa uang yang diterima masing-masing tersangka. 

Ia mengatakan, hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan pembebanan uang pengganti.

Hal itu disampaikannya saat konferensi pers usai rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait Desk Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola di Kantor Kejaksaan Agung RI di Jakarta pada Kamis (2/1/2025).

"Oleh karena itu, hasil ekspose, Jaksa Agung memutuskan bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup ini akan kita bebankan kepada perusahaan-perusahaan seusai dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh masing-masing perusahaan tersebut. Dan itu juga sudah ada dalam putusan pengadilan," kata Febrie.

Korporasi atau perusahaan tersebut adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Binasentosa (SB), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Internusa (TIN), dan PT Venus Inti Perkasa (VIP).

Kejaksaan pun telah menetapkan kelima perusahaan tersebut menjadi tersangka korporasi dalam kasus itu.

Febrie merinci pembebanan kerusakan lingkungan kepada kelima perusahaan itu berdasarkan alat bukti maupun keterangan ahli yang dilalukan pembuktian di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dan disetujui dalam putusan hakim.

Berikut ini rinciannya:

1.  PT RBT sebesar Rp38,5 triliun.

2.  PT SB Rp23,6 triliun

3.  PT SIP Rp24,3 triliun.

4.  PT TIN Rp23,6 triliun.

5.  PT VIP Rp42,1 triliun.

"Ini jumlahnya sekitar Rp152 triliun. Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan oleh hakim dan itu menjadi kerugian negara, ini sedang dihitung oleh BPKP," ujar Febrie.

"Siapa yang bertanggung jawab tentunya akan kita tindak lanjuti dan tentunya akan segera kita sampaikan ke publik," kata Febrie.

Untuk Perbaiki Lingkungan 

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam kesempatan yang sama menjelaskan titik kerugian yang paling besar dalam kasus tersebut adalah kerusakan lingkungan.

Ia pun bersyukur kerusakan lingkungan itu dapat dibuktikan oleh jaksa di dalam persidangan mengingat biasanya sangat sulit untuk membuktikan hal tersebut.

"Kita bersyukur bahwa kerusakan lingkungan yang selama ini tidak tertanggulangi, Insyaallah dana ini apabila nanti bisa kita ambil dan kita bisa gunakan untuk perbaikan-perbaikan lingkungan," kata  Burhanuddin.

"Kalau teman-teman, misalnya untuk Timah datanglah ke Bangka lihat dari pesawat di bawah itu begitu rusak lingkungan itu. Itulah insyaallah dengan Dana dana yang ada apabila nanti dapat bisa dikembalikan kepada pemerintah untuk perbaikan lingkungan akibat dari pertambangan-pertambangan ini," sambung dia.

Rincian Kerugian Lingkungan

Kejaksaan menggandeng Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo untuk menghitung kerugian kerusakan lingkungan akibat pada kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022.

Untuk menghitung hal tersebut sejumlah instrumen dan metode digunakan, di antaranya melalui citra satelit maupun verifikasi ke lapangan.

Berdasarkan hal itu, ditemukan total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung adalah 170.363.064 hektar.

Namun, luas galian yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya 88.900,462 hektar.

Sedangkan luas galian yang tidak mempunyai izin mencapai 81.462,602 hektar. 

Penghitungan kemudian dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.

Perhitungan dilakukan dengan membagi kerugian lingkungan di kawasan hutan dan luar kawasan hutan.

Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai Rp 271.069.688.018.700 (Rp 271,06 triliun). 

Jumlah tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologi) Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,26 triliun.

Sehingga subtotalnya Rp 223,36 triliun. 

Sedangkan kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan (APL) yakni biaya kerugian lingkungan Rp 25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 6,62 triliun.

Sehingga subtotalnya Rp 47,70 triliun.

Bila semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, maka total kerugian akibat kerusakan lingkungan itu mencapai Rp 271,06 triliun.

MA: Kerugian Negara Pada Kasus Korupsi Harus Bersifat Nyata dan Diumumkan BPK

Terpisah, Mahkamah Agung (MA) menjelaskan kerugian negara yang menyangkut perkara korupsi harus bersifat nyata atau actual loss.

Hal ini dijelaskan Hakim Agung yang juga Juru Bicara MA, Yanto saat ditanya perihal putusan sidang korupsi tata niaga timah yang merugikan negara mencapai Rp300 triliun.

Mulanya Yanto ditanya perihal vonis Harvey Moeis yang belakangan ramai dibicarakan hingga dan disindir publik media sosial. Namun ia enggan menanggapi karena sudah masuk pokok perkara dan setiap hakim terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan hakim lainnya.

"Karena sudah menyangkut materi pokok perkara, hakim itu terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan lain," kata Yanto di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Namun saat ditanya perihal kerugian negara dalam kasus korupsi, Yanto menyatakan acuannya adalah Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Kerugian yang dialami negara harus berbentuk nyata atau actual loss, bukan lagi potensi kerugian atau potential loss. 

Hal tersebut juga sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2016. Selain itu lanjut Yanto, pihak yang berwenang mengumumkan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Ya kalau korupsi itu kan kerugian negara kan kita mengacunya kan di pasal 2, pasal 3. Jadi tidak lagi potensial loss tapi harus actual loss, kerugiannya harus nyata. Itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kalau tidak salah 25, dan declare dari BPK, bahwa korupsi itu harus kerugian nyata," jelas Yanto.

"Tapi kalau di lingkungan hidup kan potensi. Itu tapi saya tidak menyinggung pokok perkaranya ya, tapi kalau secara yang saudara tanyakan tadi kan seperti itu batasannya," pungkas dia.

Sebagai informasi, Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Harvey juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar, subsider 6 tahun penjara jika tidak mampu melunasinya.

Harvey dinilai terbukti membuat negara merugi Rp300 triliun.

Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP, serta terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)

(Tribunnews.com/Gita Irawan, Danang Triatmojo)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved