Tribunners
Automatically Protection Hak Cipta, Apa Maksudnya?
Maraknya pelanggaran terhadap hak cipta, salah satunya disebabkan oleh kesadaran akan kekayaan intelektual yang masih kurang, bahkan sangat rendah
Oleh: Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Anggota Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual (APHKI)
PADA banyak kesempatan dan tulisan, saya sering mengatakan bahwa dari sekian banyak cabang hak kekayaan intelektual atau HKI, pelanggaran terhadap hak cipta merupakan pelanggaran terhadap HKI yang paling sering terjadi. Memang tidak ada data resmi dari pernyataan ini, tetapi fakta yang dengan mudah diamati dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi. Perkembangan teknologi yang selalu menampilkan kebaruan, pada satu sisi memperparah kondisi ini.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah objek perlindungan hak cipta yang paling mudah dijangkau sekaligus yang paling banyak dinikmati. Contoh paling mudah adalah musik, video, dan karya fotografi yang dengan mudah dapat diakses, terutama yang difiksasikan dalam format digital.
Penggunaan karya cipta tanpa izin sering terjadi. Paling anyar misalnya seorang fotografer asal Yogyakarta, Bambang Wirawan, melaporkan dugaan pencurian hak cipta oleh manajemen sebuah hotel di kota yang sama, lantaran menggunakan karya fotonya tanpa izin. Ia mengetahui karya fotonya digunakan oleh pihak hotel November 2024 ketika diminta untuk mengumpulkan portofolio hasil karyanya oleh kawannya. Berkaitan dengan hal ini, pihak Pelayanan Kekayaan Intelektual Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut foto milik Bambang Wirawan sudah memiliki HKI sejak 2016, yakni pada saat diunggah di akun media sosial Instagram. Menurutnya semenjak diunggah di Instagram itu sudah memenuhi perlindungan hukum (www.kompas.com, 30 Januari 2025).
Prinsip automatically protection
Sebagai bagian dari rezim HKI, hak cipta dimiliki dari hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang juga dapat memberikan manfaat dan berguna bukan hanya bagi penciptanya saja, tetapi juga untuk masyarakat yang menikmati. Secara normatif hak cipta disebutkan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari definisi yuridis ini, setidaknya ada dua hal yang membedakan hak cipta dengan cabang HKI yang lain, merek dan paten misalnya, yakni adanya frasa “timbul secara otomatis” dan “prinsip deklaratif”. Apa itu?
Secara garis besar, HKI dibagi ke dalam dua bagian utama, yakni hak cipta dan hak milik industri. Hak cipta yang memberikan perlindungan terhadap karya-karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, sedangkan hak milik industri erat kaitannya dengan invensi atau inovasi yang berhubungan dengan kegiatan bidang industri, di antaranya paten, merek, desain industri, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Mengapa hak cipta ditempatkan pada posisi tersendiri? Hal ini berangkat dari prinsip dasar perlindungan HKI itu sendiri, yakni prinsip deklaratif (first to use) dan prinsip konstitutif (first to file).
Pada rezim HKI, prinsip deklaratif diterapkan pada hak cipta. Maksudnya adalah perlindungan atas hak cipta lahir secara otomatis tanpa perlu didaftarkan. Lalu, kapan perlindungan secara hukum itu dianggap ada? Perlindungan hukum itu ada manakala sebuah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Apabila seseorang membuat sebuah karya fotografi, maka pada saat karya tersebut berwujud nyata (ada objek yang dapat dinikmati secara visual dan sudah selesai), maka pada saat itulah perlindungan hukum melekat pada karya fotografi itu. Bahkan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2024 tentang Hak Cipta (UUHC) tidak mewajibkan untuk didaftarkan terlebih dahulu. Pasal 64 Ayat (2) UUHC dengan tegas menyatakan bahwa pencatatan ciptaan bukan merupakan mendapatkan hak cipta.
Sementara itu, prinsip konstitutif mengandung makna objek HKI baru akan mendapatkan perlindungan secara hukum dengan dilakukan pendaftaran terlebih dahulu. Ini diterapkan pada hak milik industri, seperti merek, paten, dan sebagainya.
Memudahkan penyelesaian sengketa
Ada beberapa poin penting berkaitan dengan prinsip perlindungan hak cipta yang lahir secara otomatis ini. Pertama, perlindungan terhadap hak cipta timbul secara otomatis setelah ciptaan diwujudkan tanpa perlu dilakukan pendaftaran atau pencatatan. Artinya, tanda didaftarkan, sepanjang sudah diwujudkan, maka pada saat itu pula perlindungan hukumnya ada. Jadi, karya cipta seseorang yang sekalipun penciptanya atau pemegang hak ciptanya tidak memiliki sertifikat pencatatan, ia tetap sah secara hukum sebagai pemegang hak cipta. Ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi pelanggaran terhadap karya cipta seseorang dengan dalih ia belum mendaftarkannya ke lembaga yang berwenang. Kedua, meskipun tidak ada keharusan, pencatatan hak cipta diperlukan untuk memperkuat perlindungan hak cipta, terutama apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
Sengketa dalam rezim HKI memang cenderung tak terduga sebelumnya akan terjadi, dan ini terjadi pada jenis HKI apa pun. Padahal, potensi terjadinya sengketa selalu ada, bahkan potensi terjadinya tinggi apabila objek perlindungannya sudah terkenal, misalnya merek yang produk (barang atau jasa) yang sedang laku, atau karya cipta yang sedang diterima oleh publik. Dengan dalih mengambil keuntungan secara ekonomi, peluang itu dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan mengklaim hak kepemilikan. Ini jamak terjadi pada kasus-kasus HKI, seperti perebutan hak merek, klaim hak cipta, dan masih banyak lagi.
Oleh sebab itu, upaya preventif perlu dilakukan, dalam konteks hak cipta adalah dengan melakukan pencatatan. Pencatatan hak cipta di sisi lain tidak akan merugikan pihak mana pun, sekalipun memang ada biaya yang ditetapkan oleh negara. Surat pencatatan ciptaan yang diterbitkan oleh menteri bidang hukum dan dicatatkan dalam daftar umum ciptaan merupakan bukti awal kepemilikan suatu ciptaan, dan selanjutnya menjadi bukti yang kuat apabila sengketa sampai ke pengadilan.
Sebagaimana teori kontrak (contract theory) dalam perlindungan HKI, ada kewajiban negara untuk betul-betul melindungi ciptaan yang sudah dicatat oleh negara apabila terjadi pelanggaran, termasuk pembajakan, meskipun praktiknya hal ini masih jauh dari harapan. Negara, dalam konteks pembajakan misalnya, dengan berbagai dalih, termasuk delik aduan yang dianut oleh rezim UUHC saat ini, selalu berkilah ketiadaan laporan dari pemegang hak untuk tidak bisa bertindak lebih protektif. Ini belum termasuk alasan sumber daya manusia. Lihat saja betapa banyaknya penulis yang selalu bersuara terkait pembajakan buku yang terus terjadi.
Penghargaan terhadap hak cipta
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.