Tribunners

Idul Fitri dan Transformasi Ramadhan

Ritual Idul Fitri secara etimologis menempatkan diri kita kembali suci tidak serta merta didapatkan bagi semua orang yang menjalankan puasa Ramadhan.

|
Editor: fitriadi
Dokumentasi Pribadi Zayadi Hamzah
Zayadi Hamzah, Direktur Eksekutif KDEKS Provinsi Bangka Belitung 

Oleh: Prof. Dr. Zayadi Hamzah, M.Ag

Direktur Eksekutif KDEKS Provinsi Bangka Belitung

Idul Fitri sebagai rangkaian akhir dari ritual religiusitas Ramadhan telah meninggalkan kita semua baik dalam ruang privat maupun ruang publik dengan menyisakan kenangan mendalam dalam benak hati hambaNya.

Kenangannya yang penuh keindahan tanpa sedikitpun penyesalan telah menyelimuti hambaNya yang optimal memanfaatkan Ramadhan yang penuh rahmat, barokah dan maghfiroh dengan aktif menjalankan ritual religiusitas Ramadhan selama sebulan penuh.

Rangkaian ritual Ramadhan tersebut menjadi instrumen dalam rangka taqorrub kepada Allah SWT menuju hakekat puasa untuk mencapai derajat taqwa atau seorang hamba yang bergelar Muttaqin. Dalam bahasa Al-Qur'an dilafazkan dengan kalimat Laallakum Tattaqun.

Ritual Idul Fitri secara etimologis menempatkan diri kita kembali suci tidak serta merta didapatkan bagi semua orang yang menjalankan puasa Ramadhan.

Kemenangan ini hanya didapati orang-orang yang menjalankan Ramadhan sebagaimana Rasulullah mengapresiasinya dalam sebuah hadits "siapa saja yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu."

Ada dua lafaz yang menjadi setting point dalam hadits ini "Imanan dan Wahtisaaban" yang sering diterjemahkan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah.

Keimaman secara teologis menuntun pengakuan kita bahwa puasa Ramadhan itu adalah hukumnya wajib, sebagaimana informasi al-Qur'an surat al-Baqarah 183 dengan lafadz "Kutiba alaikum As-Shyam".

Makna lain ketika seseorang menjalankan puasa Ramadhan dengan keimanan berarti dia menjalankan ibadah Ramadhan dengan kesadaran bahwa ibadah puasa itu merupakan bagian dari perintah Allah, bukan karena paksaan dan bukan karena yang lainnya.

Sedangkan ihtisaaban mengharap pahala dari Allah atau ridho Allah bermakna bahwa orang yang berpuasa hanya semata-mata mengharapkan pahala dan keridhaan Allah bukan karena riya, ikut tradisi atau ada konteks sosial lainnya.

Inilah yang disebut dengan orang yang kembali ke fitrah kesuciannya yang terbebas dari dosa dan mendapat predikat orang yang mendapat kemenangan. 

Turunan hadits ini boleh dipahami tidak semua orang menjalankan puasa dapat mencapai derajat taqwa atau berpredikat muttaqin. Karena pada sisi yang lain Rasulullah pernah menyatakan disclaimer dalam sabdanya "tidak sedikit orang yang berpusa kecuali hanya mendapatkan lapar dan dahaga." 

Artinya terdapat banyak hal yang dapat menggerus pahala puasa kita, sehingga puasa kita menjadi sia-sia. Konsekuensi logisnya derajat taqwa yang menjadi pointer puasa kita tidak terlampaui.

Makna lainnya derajat "muttaqin" tidak secara taken for granted menjadi milik semua orang yang berpuasa, tetapi mendapatkannya membutuhkan upaya konsisten dan ikhtiar maksimal berkelanjutan untuk mendapatkannya. Karena puasa itu sendiri merupakan transendensi dari iman dan empirismya adalah perilaku berpuasa itu sendiri.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved