Tribunners
Perundungan di Sekolah, Antara Konflik Wajar dan Kekerasan Terselubung
Bullying di sekolah bukan hanya soal hubungan antaranak, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan intervensi hukum dan kebijakan.
Ada pandangan lama yang mengatakan bahwa ejekan, konflik, bahkan kekerasan ringan membuat anak lebih tangguh. Banyak orang tua yang berkata, “Kita dulu juga sering dipukul atau diejek teman, tapi baik-baik saja.” Pertanyaannya, benarkah demikian?
Psikologi modern justru menunjukkan hasil sebaliknya. Karen Horney (1945), seorang psikoanalis, menyatakan bahwa pengalaman kekerasan pada masa kecil menimbulkan basic anxiety atau kecemasan mendasar yang bisa terbawa seumur hidup.
Craig dan Pepler (2007) menambahkan, korban bullying berisiko lebih tinggi mengalami depresi, isolasi sosial,
bahkan pikiran mengakhiri hidup . Artinya, alih-alih membentuk ketangguhan, bullying justru bisa menghancurkan mental anak.
Lalu, muncul isu apakah generasi sekarang terlalu “cengeng”. Banyak orang membandingkan anak-anak zaman dahulu yang dianggap lebih kuat menahan ejekan dengan anak sekarang yang lebih cepat mengeluh.
Jean Twenge seorang profesor psikologi di San Diego State University yang banyak meneliti soal generasi muda dan perubahan sosial dalam bukunya iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood (2017) menjelaskan bahwa generasi muda sekarang lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dan berani menyebut perilaku kasar sebagai masalah serius. Jadi, bukan karena mereka lemah, melainkan karena kesadaran sosial meningkat.
Selain faktor individu, keluarga dan media sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku anak. Pola asuh keras, penuh bentakan atau umpatan, dapat membuat anak menganggap kekerasan verbal sebagai hal normal. Anak yang tumbuh di lingkungan seperti ini cenderung meniru pola komunikasi kasar pada teman-temannya.
Di sisi lain, televisi dan media sosial juga berperan. Tayangan yang menormalisasi ejekan, konten YouTube yang berisi “roasting” atau bahasa verbal cenderung kasar dan penuh umpatan, hingga komentar kasar di media sosial membentuk budaya verbal yang agresif. Anak-anak meniru gaya berbicara yang mereka lihat, tanpa menyadari dampaknya pada orang lain.
Regulasi dan tantangan sekolah
Bullying di sekolah bukan hanya soal hubungan antaranak, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan intervensi hukum dan kebijakan. Di Indonesia, beberapa regulasi tentang hal ini sudah dibuat. Lengkap dari Undang-Undang dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang diikuti dengan berbagai peraturan di tataran level bawahnya sebagai aturan pelaksanaan dan teknis.
Namun, dalam praktiknya, implementasi aturan itu masih jauh dari optimal. Banyak sekolah yang menganggap ejekan hanya sekadar kenakalan, bukan bullying. Guru kadang memilih menengahi secara informal daripada menindak sesuai prosedur. Akibatnya, korban merasa tidak terlindungi.
Pada tataran ideal, sejatinya sekolah sebagai miniatur masyarakat harus menjadi tempat aman bagi anak-anak. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya akhlak mulia dalam pendidikan. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Jika sekolah gagal menanamkan akhlak berupa empati, menghormati sesama, dan larangan menyakiti, maka fungsi pendidikan sejatinya tidak tercapai. Sekolah, guru, dan orang tua harus mampu membedakan antara konflik wajar dengan bullying. Lebih dari itu, pendidikan akhlak dan empati harus menjadi inti kurikulum.
Mendidik anak tangguh bukan dengan menormalisasi ejekan atau kekerasan, tetapi dengan menumbuhkan rasa hormat, kasih sayang, dan keberanian melawan ketidakadilan. Hanya dengan cara ini, sekolah benar-benar bisa menjadi tempat aman dan nyaman untuk membentuk generasi yang sehat, cerdas, dan berakhlak mulia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.